Namun kami tetap berusaha supaya saya tidak putus sekolah. Sebelum masuk ke SMA unggulan di kota baru ini, sebenarnya ayah saya mengajak saya untuk mencoba mendaftar ke SMA lain yang letaknya cukup dekat dengan SMA tersebut. Namun setelah bertemu dengan pihak Kepala Sekolah, ayah saya langsung mengajak saya pulang karena ternyata pihak sekolah tidak menerima siswa pindahan yang tidak mampu membayar uang pangkal.
Akhirnya ayah saya pun mendatangi SMA unggulan yang merupakan sekolah almamaternya dulu. Dan dengan bermodalkan embel-embel "alumni" itulah dan janji akan membayar uang pangkal nanti setelah saya diterima sekolah di sana, akhirnya saya pun bisa diterima pindah ke sekolah tersebut.
Saya yang tidak terbiasa lagi mandi subuh sebelum berangkat sekolah, harus menggigil kedinginan di kamar mandi. Hal itu terjadi karena suhu udara di kota baru ini jauh lebih dingin dibandingkan dengan kota sebelumnya yang termasuk jalur Pantura. Dan "ritual baru" tersebut harus saya alami setiap habis mandi.
Lalu ketika saya pertama kali masuk ke SMA baru, saya juga seperti merasa "jetlag". Bangunan sekolah di mana saya belajar jauh lebih kecil dan sempit dibandingkan dengan sekolah lama saya yang begitu luas dan besar. Dada saya seperti merasakan "sesak".
Tak lama saya masuk ke dalam kelas yang diarahkan oleh seorang Guru TU. Saat itu kalau tidak salah sedang berlangsung pelajaran Fisika. Seorang guru pria berkacamata minus dan berwajah sinis (menurut saya) sedang sibuk menjelaskan pelajarannya di papan tulis. Kegiatan belajar terhenti sejenak saat saya masuk kelas. Suasana hening dan semua mata di dalam kelas tertuju kepada saya.
Namun hal itu hanya sebentar saja, setelah saya duduk di bangku paling depan yang kebetulan kosong dua-duanya, guru Fisika tersebut kembali melanjutkan kegiatannya. Ia tidak banyak berbasa-basi kepada saya.Â
Saya yang saat itu duduk sendirian mencoba bersikap wajar. Saya mengeluarkan buku catatan dan berusaha memahami penjelasan sang guru, walaupun hal itu hanya "kamuflase" saja. Karena yang sebenarnya terjadi, kepala saya pusing karena saya sama sekali tidak memahami apa yang dijelaskan oleh guru Fisika tersebut.
Selain saya telah ketinggalan materi pelajaran sebelumnya karena telat menjalani masa ajaran baru sekolah, saya pun seolah alergi dengan pelajaran berbau Eksak. Di sekolah saya sebelumnya pun nilai saya tidak pernah baik bahkan matematika harus beberapa kali menjalani remedial.
Barulah saat jam istirahat tiba, saya merasa agak lega. Ada beberapa anak perempuan di kelas itu yang mendekati saya dan mengajak saya mengobrol. Saya pun mencoba bersikap akrab dan ramah, meski semuanya terasa canggung.Â
Dan hari-hari selanjutnya yang saya alami, seperti "siksaan" buat saya. Setiap hari saya duduk sendiri di bangku paling depan, seperti OHIDA (Orang Hidup dengan Aids) yang diasingkan oleh banyak orang. Meski akhirnya ada anak perempuan lain yang juga anak pindahan (namun ia hanya pindah sekolah saja dan masih tinggal di kota ini) yang duduk sebangku dengan saya.
Ia sempat bertanya kepada saya berapa membayar uang pangkal untuk pindah ke sekolah, dan saya jawab tidak tahu karena ayah saya yang membayarnya (padahal aslinya tidak membayar sepeser pun). Sedangkan ia katanya diminta uang sebesar 500.000 rupiah, ukuran yang cukup besar pada saat itu.