Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengapa Mereka yang Berpendapatan Besar Masih Merasa Belum Cukup?

21 Januari 2025   06:04 Diperbarui: 21 Januari 2025   10:02 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Koruptor (KOMPAS/DIDIE SW)

Oleh Amidi

Pendapatan dan atau penghasilan anak negeri ini sebagian besar masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan anak negara tetangga, seperti Malaysia. Pendapatan per kapita negeri ini pada tahun 2024 lalu diperkirakan mencapai US$. 271-5.300. Dengan asumsi kurs Rp, 16.244, maka pendapatan per kapita negeri ini setara dengan Rp. 85,6 juta -- Rp. 89,1 juta. Sedangkan pemerintah menargetkan pendapatan per kapita negeri ini pada tahun 2024 berada di rentang US$.300-5.400 (Ringkasan AI). Sedangkan pendapatan per kapita Malaysia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 12.253 USD. Bank Dunia mengklasifikasikan Malaysia sebagai ekonomi berpendapatan menengah ke atas. (Ringkasan AI)

Belum lagi bila ditilik dari pendapatan pekerja yang tidak sedikit masih dibawah Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Regional (UMP/UMR). Masih ada yang memperoleh pendapatan dan atau dibayar pemberi kerja di bawah angka Rp. 2 juta per bulan. Inilah faktanya!.

Secara kasat mata saja, saya menyaksikan di lingkup daerah (kota) tempat saya tinggal tidak sedikit pekerja yang dibayar pemberi kerjanya di bawah UMP/UMR.

Fenomena ini, sudah berlangsung sejak lama, jangankan merek akan menerima pendapatan sesuai ketentuan UMP/UMR tahun 2025, terkadang masih ada pekerja yang hanya dibayar pemberi kerja belum sampai separuh jumlah besaran UMP/UMR tahun 2025 ini.

Bila dicermati, pekerja yang sudah dibayar atau memperoleh pendapatan masih dibawah UMP/UMR, mereka bisa hidup dan bisa memenuhi kebutuhan. 

Memang mereka yang memperoleh pendapatan, katakanlah pas-pas-an tersebut, masih cukup atau di cukup-cukupkan untuk memenuhi kebutuhannya dalam satu bulan.

Pendapatan Kecil VS Pendapatan Besar!

Memang bila ditelusuri di lapangan, ada sebagian besar pekerja yang memperoleh pendapatan pas-pas-an tersebut merasa cukup, ada pekerja yang berpendapatan pas-pasan tersebut hanya di cukup-cukup kan saja untuk memenuhi kebutuhannya dan ada pula pekerja yang memperoleh pendapatan pas-pas-an selalu merasa kekurangan, sehingga untuk mencukupi pengeluarannya sebulan terkadang mereka harus mencari pinjaman atau utang sana utang sini.

Di lain pihak, ada yang sudah memperoleh pendapatan sudah besar, justru selalu merasa kekurangan. Sebut saja, misalnya saudara kita yang menduduki jabatan terhormat di negeri ini yang memperolehnya melalui pemilu, menduduki jabatan manajer BUMN, manajer perusahaan swasta besar dan atau menduduki jabatan pada institusi pemerintah dan swasta yang bergengsi lainnya, termasuk unit pelaku bisnis atau pemilik bisnis yang sudah mapan.

Namun, di lapangan, terkadang mereka selalu merasa kekurangan, sehingga mereka berusaha mencari tambahan, entah dengan jalan baik atau dengan jalan tidak baik alias "maling" (maaf-maaf-maaf).

Ini terbukti, dengan merajalelanya kasus korupsi, ada yang menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, ada yang menerima gratifikasi, dan bentuk lainnya.

Entah uang tersebut, akan mereka gunakan untuk menumpuk kekayaannya atau mereka akan gunakan untuk kepentingan memperoleh jabatan yang lebih "gede" lagi yang notabene untuk mendapatkannya membutuhkan uang atau modal yang tidak kecil atau mereka akan gunakan untuk mempertahankan jabatan atau untuk mendapatkan jabatan yang sama atau lebih tinggi pada periode berikutnya, dan ini bukan rahasia umum lagi!.

Bila disimak, aspek kekurangan yang dirasakan pekerja yang memperolah pendapatan pas-pasan tersebut, memang wajar, karena pendapatan yang mereka peroleh tidak mencukupi.

Namun, bagi mereka yang berpendapatan besar, masih merasa kurang untuk memenuhi kebutuhan normal (primer,sekunder dan tersier), selayaknya lah tidak demikian, karena pendapatan besar yang mereka peroleh tersebut justru bisa lebih jika hanya untuk memenuhi kebutuhan normal mereka.

Namun, karena ada unsur "mau cepat kaya", "mau menimbun kekayaan secara instan", dalam rangka untuk mewujudkan tujuan tertentu agar dengan pendapatan yang diperoleh dari hal-hal yang tidak baik tersebut dapat mewujudkan tujuan tertentu tersebut.

Inilah faktanya! Apa yang mau dikata? Namun, setidaknya dengan mencermati fenomena dan dengan berbagi solusi ini, paling tidak kita akan menyadarkan mereka yang belum terlanjur melakukan hal tersebut.

 Mengapa Harus Demikian?

Bila ditilik dari pemenuhan kebutuhan, pendapatan besar yang mereka peroleh tersebut, idealnya "sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bahkan lebih dari itu". Tetapi, kenyataannya tidak sedikit dari mereka yang mau kaya raya, mau hidup bermewah-mewahan dan atau menjadi kalangan "jet-zet".

Tidak heran, jika ada anggota keluarga mereka dan mereka sendiri, berbelanja saja harus ke luar negeri. Sebagian besar dari mereka dalam berpakaian lebih mengutamakan aspek gengsi tinggi ketimbang kebutuhan layak, membeli pakaian dengan harga ratusan juta, membeli kendaraan mewah lebih dari satu dan seterusnya.

Singkat kata gaya hidup glamor dan hedonis sudah melekat pada mereka yang sudah menduduki jabatan ini dan itu yang mendatangkan pendapatan besar tersebut.

Bila disimak, angka pendapatan yang mereka peroleh ratusan juta per bulan tersebut, sebenarnya untuk memenuhi berbagai kebutuhan (needs) yang layak dari sisi kapasitas mereka tersebut, sudah cukup.

Namun, bila mereka akan memenuhi berbagai keinginannya (wants) yang cenderung menampilkan kemewahan, dan gagah-gagahan tersebut, memang tidak cukup. 

Nah, yang demikian, biasanya mendorong mereka untuk mencari tambahan, walaupun pendapatan mereka sudah besar.

Sebenarnya sah-sah saja, jika kita ingin menambah pendapatan yang sudah besar tersebut, namun dengan jalan normal, misalnya membuka suatu bisnis, atau melakukan berbagai investasi ini dan itu.

Namun, yang menjadi persoalan itu, bila kita ingin menambah pendapatan yang sudah besar tersebut dengan jalan tidak baik atau tidak wajar alias maling.

Memang perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau kelompok/golongan, namun merugikan orang lain bahkan merugikan bangsa dan negara. 

Tidak hanya itu, terkadang hal tersebut merugikan pekerja pada pemberi kerja, karena uang selayaknya bisa digunakan untuk pengembangan unit bisnis bagi pemberi kerja yang berdampak pada peningkatan pendapatan pekerja "di makan" untuk hal tersebut, atau uang yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan anak negeri ini, "kita makan" atau "kita gunakan" untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok/golongan.

Bagaimana Sebaiknya?

Mencermati fenomena ini, sebenarnya, bisa saja kita tidak menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan atau kelompok/golongan, dengan jalan hidup apa adanya. Artinya, menyesuaikan pengeluaran dengan kebutuhan.

Misalnya, jika kita baru mampu membeli mobil dengan merek tertentu, mengapa kita harus memaksakan membeli mobil mewah itu bahkan lebih dari satu. Misalnya, jika kita baru mampu memenuhi kebutuhan dengan layak atau memenuhi kebutuhan pada hirarki atau tingkatan tertentu, mengapa kita harus memaksakan diri untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dengan memburu uang dengan jalan tidak wajar atau tidak baik tersebut.

Masih banyak jalan yang bisa kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sederhananya saja, misalnya kita baru mampu membeli mobil merek tertentu tersebut, sementara kita ingin membeli mobil mewah, mungkin kita harus melakukan kegiatan bisnis atau investasi dari pendapatan yang kita peroleh. 

Misalnya, kita ingin mengaktualisasikan diri, tidak harus dengan jalan memburu jabatan yang membutuhkan uang "tidak berseri" tersebut, tetapi gunakan saja ilmu/pengetahuan/kapasitas yang kita miliki.

Kemudian yang tidak kalah pentingnya, untuk meminimalisir kerugian bangsa dan negara atas perbuatan yang tidak baik yang kita lakukan untuk mendapatkan suatu jabatan tertentu tersebut, adalah merubah/mengembalikan sistem pemilu yang sudah berlangsung atas perubahan sistem yang sudah kita rubah sebelumnya.

Untuk itu, apakah tidak sebaiknya sistem pemilu lama tersebut kita kembalikan lagi, sehingga yang menjadi bidikan kita yang akan mendapatkan jabatan tersebut sudah tidak sebanyak jumlah pemilih seperti saat ini.


Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah jika kita ingin memenuhi kebutuhan, penuhilah dengan jalan normal sesuai dengan pendapatan yang kita peroleh dan jika kita ingin memburu suatu jabatan strategis tersebut, apakah mau jadi petinggi negeri ini atau daerah ini, maka orientasinya adalah "pengabdian", "niatkan untuk membantu umat" dan atau "memperbaiki negeri ini atau daerah ini", bukan untuk memburu rupiah yang "gede" tersebut. Selamat Berjuang!!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun