Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kenaikan Upah Minimum (UMP/UMK/UMR) 2025 Sudah Ditetapkan, Bagaimana Sebaiknya?

15 Desember 2024   17:03 Diperbarui: 15 Desember 2024   17:03 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Amidi

 

Setelah melalui pembahasan yang panjang, akhirnya ditetapkanlah Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/kota (UMK), Upah Minimum Regional (UMR) dan termasuklah Upah Minimum Sektoral.


Cnbc Indonesia.com, 04 Desember 2024, memberitakan bahwa Menteri Ketenagakerjaan Yassierli telah resmi mengeluarkan  Peraturan Menteri  Ketenagakerjaan Nomor 16 tahun 2024 tentang Penetapan  Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota  (UMK) tahun 2025 naik sebesar 6,5 persen.


Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tersebut, maka semua UMP yang berlaku pada tahun 2025 nanti telah mengalami kenaikan, tak terkecuali di Provinsi Sumatera Selatan.


Seputar Kenaikan UMP.


Bila disimak, UMP berbagai Provinsi yang ada di negeri ini cukup beragam, sesuai dengan pencapaian kebutuhan hidup layak dan produktivitas serta pertumbuhan ekonomi suatu Provinsi atau suatu wilayah. Ada yang masih berkisar Rp. 2 juta-an, ada yang sudah mencapai Rp. 3 juta-an dan ada yang sudah mencapai Rp. 5 jutaan.

 

Di provinsi Sumatera Selatan, UMP tahun 2025 naik menjadi  Rp. 3.681.571,- sedangkan Upah Minimum Sektoral Provinsi naik menjadi Rp. 3.733.424,-..

Bila diperhatikan kondisi yang terjadi dilapangan, adanya kenaikan UMP tersebut, ada yang sudah merasa  puas dan ada yang merasa belum puas. Dikalangan  pekerja, secara umum, kenaikan UMP tersebut memberi angin segar bagi mereka, apalagi mengingat saat ini kondisi ekonomi dirasakan masih sulit. Namun, dikalangan pelaku bisnis atau pemberi kerja , kenaikan UMP tersebut akan menjadi "momok" bagi mereka,mengapa?

Bagi pelaku bisnis, kenaikan UMP tersebut, akan mempengaruhi besaran pengeluaran mereka, terutama besaran untuk kompensasi. Sehingga, ada yang merasa keberatan dan ada yang menerima begitu saja.

Kemudian, pekerja juga masih harap-harap-cemas. Apakah UMP yang sudah mengalami kenaikan tersebut, benar-benar akan direalisasikan atau hanya sekedar "angin segar" saja.

Haparan !


Bila dicermati, dilapangan, para pekerja memang jauh-jauh hari sudah menantikan akan adanya kenaikan UMP tersebut. Memang dari pengalaman masa lalu, pekerja senantiasa mengharapkan adanya kenaikan dan mereka menunggu berapa besaran kenaikannya.

Jika ditelaah, kenaikan UMP 6.5 persen tersebut, sebenarnya sudah cukup untuk mengimbangi kenaikan harga-harga barang saat ini dan mengimbangan kondisi ekonomi sulit yang tengah dihadapi oleh kalangan menengah dan bawah.

 

Pekerja sudah tidak sabar menunggu realisasi kenaikan UMP tersebut. Para pekerja sudah mempunyai rencana dan telah mengkalkulasi upah dan atau pendapatan yang akan mereka terima setelah adanya kenaikan UMP tersebut.

Para pekerja yang tergolong kelas menengah dan bawah, yang selama ini sudah dihadapkan kondisi "makan tabungan" dan atau "menahan konsumsinya", karena pendapatan mereka konstan ditambah adanya kenaikan harga-harga  barang. Dengan demikian, wajar saja, kalau mereka ada yang merasa  "bahagia" dengan adanya kenaikan UMP tersebut.

Setidaknya mereka bisa me-ngerem untuk menguras tabungannya, jika UMP sudah diberlakukan. Mereka bisa "sidikit bernafas" dengan adanya kenaikan UMP tesebut. Namun, perlu diingat, itu baru suatu "harapan", bagaimana dengan kenyataan dilapangan?

 

Kenyataan Nanti!


Bila disimak, berdasarkan pengalaman masa lalu, kenaikan UMP tersebut tidak serta disambut baik oleh pelaku bisnis atau pihak yang mempekerjakan pekerja.

Ada yang langusung  menjalankan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan tersebut, ada yang belum dapat menjalankannya, dan ada yang memang tidak menjalankannya sama sekali.

Kondisi ini lebih jelas dan nyata bila ditanyakan langsung kepada  para pekerja, karena jika diteliti, jika diobservasi, jika dipantau dilapangan, kita sulit menemukan data apakah UMP tersebut memang benar-benar dijalankan.

Suatu institusi yang seharusnya mengerti dan memahami kondisi pekerjanya saja terkadang tidak peduli dengan ketentuan UMP tersebut. Jangan heran, jika ada "oknum" suatu institusi pendidikan tinggi swasta yang membayar kompensasi (gaji pokok) pekerja (tenaga pendidik dan pendidik) masih dibawah UMP,  kondisi ini terkadang sudah berlangsung selama ini. Sedihkan?.

Memang, bila dikalkulasi semua komponen kompensasi yang dibayarkan oleh "oknum" isntitusi pendidikan tinggi tersebut akan sama dengan besaran UMP, beberapa komponen, termasuk tunjangan ini dan itu. Idealnya, gaji pokok yang mereka bayarkan tersebut mengacu pada UMP yang telah ditetapkan.

Belum lagi, bila disimak "oknum" institusi pendidikan menengah dan dasar swasta, maka lebih sedih lagi. Ada pencerdas bangsa yang hanya menerima upah atau gaji dengan hitungan cukup "membeli bedak" (maaf ini yang terjadi dilapangan), ada pencerdas bangsa yang dibayar tiga bulan sekali dan seterusnya.

Singkat kata, besaran UMP selama ini dan UMP 2025 ini, masih "tanda tanya" apakah akan direalisasikan oleh pemberi kerja atau tidak. Para pekerja masih berharap cemas.

Bagaimana Sebaiknya?


Bila diperhatikan kondisi dilapangan, memang tidak semuda membalik telapak tangan para pelaku bisnis atau pemberi kerja tersebut untuk membayar kompensasi pekerja sesuai dengan UMP, apalagi untuk melebihi ketentuan UMP.

Dengan tidak menafikan suatu kondisi, memang masih ada pelaku bisnis  atau pemberi kerja yang kondisi bisnis atau kondisi kantor-nya yang masih "terseok-seok", dan memang sudah ada pelaku bisnis  atau pemberi kerja yang kondisi bisnis atau kondisi kantornya yang memang sudah siap untuk menerapkan besaran UMP.

Kita berharap, pelaku bisnis  atau pemberi kerja "jujur" denga pekerjanya, jika memang unit bisnis pelaku bisnis  atau pemberi kerja masih mengalami kesulitan "keuangan", maka sampaikan dengan baik kepada pekerja, agar mereka memahami kondisi yang ada. Namun, jika kondisi unit bisnis pelaku bisnis atau pemberi kerja memang sudah mapan, sudah maju, sudah baik, mengapa tidak mereka harus mentaati besaran UMP tersebut.

 

Jangan jadikan senjata "kondisi yang ada".  Misalnya, jika Anda tidak mau dibayar "sekian", silakan mencari tempat kerja lain, jika Anda tidak mau dibayar "sekian", maaf saja, kami tidak bisa menerima Anda. Jika kata-kata "pamungkas" ini sudah diutarakan mereka, maka para calon pekerja dan pekerja akan "keder", akan "ciut".

Sehingga, dilapangan, yang ada, berapa saja saya dibayar, yang penting saya bisa bekerja. Inilah suatu keadaan dilapangan yang sepertinya sudah menjadi "buah simalakama". DIlapangan, memang tidak sedikit calon pekerja atau pengangguran yang "antri" untuk bisa bekerja, sehingga persoalan kompensasi terkadang mereka letakkan pada urutan nomor 10, yang penting dapat bekerja.

 

Bagaimana sebaiknya?

Dalam menghadapi fenomena ini, kita harus bijak, kita harus mengambil kebijakan yang bijak dan proporsional. Jika memang, kondisi unit bisnis pelaku bisns atau pemberi kerja tersebut memang dalam kondisi yang belum mapan, maka agar  mereka dapat menerapkan besaran UMP tersebut, mereka perlu uluran tangan, perlu diberi incentif  dan berbagai bantuan lainnya.

Apalagi, mengingat "rational expectation" pelaku bisnis cepat sekali mereka "mainkan", sehingga UMP belum dinaikkan pun, mereka sudah  menaikkan harga-harga barang.

Saya ingat dalam mengatasi kelesuan pasar akibat krisis ekonomi tahun  1998 lalu, pmerintah memberikan incentif bantuan upah atau gaji kepada pelaku bisnis agar tidak melakukan PHK selama lebih kurang dua tahun dengan besaran dan ketentuan yang disekapati antara pemerintah dengan pelaku bisnis. Pada saat itu saya ingat betul, karena saya salah satu diamanahi sebagai konsultannya.

Kemudian, kebijakan yang kita ambil, yang akan  "menyulitkan pasar dan konsumen" seperti kenaikan PPN 12 persen tersebut, perlu ditunda dan atau ditinjau ulang. Begitu juga dengan kebijakan  lain yang serupa.


Terkahir yang tidak kalah pentingnya adalah, bagaimana kita bisa memulihkan kondisi ekonomi dan mengembalikan kondisi ekonomi sebagaimana kondisi sebelum pandemi, dan berupaya mengoptimalkan SDA yang kita miliki,  agar kita tidak membebani pelaku bisnis bahkan sebaliknya kita dapat membantu pelaku bisnis dan pekerja. Selamat berjuang!!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun