Beberapa hari ini media massa dan publik ramai-ramai menyoroti gelar doktor kehormatan atau doktor Honoris Causa (HC) yang diberikan kepada Raffi Ahmad.
Raffi Ahmd mendapat gelar doktor HC tersebut dari Universal  Institute of Professional Management (UIPM) di Thailand, gelar itu diberikan atas peran  Raffi di Industri hiburan. Gelar kehormatan yang didapatkannya merupakan gelar  kehormatan di bidang Event Management and  Global Digital Development.
Pemberian gelar tersebut dipertanyakan oleh publik. Ada yang mempersoalkan lembaga yang memberikan gelar tersebut, ada yang mempersoalkan tentang pendidikan yang disandang saudara Raffi Ahmad  dan beberapa sorotan lainnya.
Seperti yang diberitakan oleh Kompas.com, 1 Oktober 2024, tidak sedikit nitizen  mempersoalkan gelar doktor HC  Raffi Ahmad yang didapatkannya dari UIPM. Ada yang mempertanyakan kampus yang memberikan gelar kehormatan tersebut, dan termasuk mempertanyakan apakah Raffi Ahmad yang tidak lulus S1 boleh mendapatkan gelar tersebut.
Kemudian seorang  Hotman Paris ikut menyorotinya, ia menyindir dengan memposting di Instagram pribadinya; "sahabatku DR Raffi Ahmad! dulu Hotman dapat gelar DR Cumlaude  dari Unpad dengan disertasi: Kapailitan Multy  National Companies,", tulisnya
Dari informasi yang berkembang, bahwa UIPM juga ada di Bekasi, setelah ditelusuri kampus itu hanya menyewa  ruangan kecil dan tak menunjukkan adanya aktivitas  perkuliahan. Nama kampus itu tidak terdaftar  rangking Webometrics dan Financial Times.Â
Sedangkan di sisi lain, tim kuasa hukum UIPM mengeluarkan surat serta somasi  seiring dengan ramainya kabar pemberian gelar kepada Raffi Ahmad. Dalam surat yang diposting akun @uipmun.Deputy of Legal  Affairs  of UN Ecosoc. Helena Pattirane  menerangkan jika UIPM adalah lembaga perguruan tinggi resmi.Â
Kampus tersebut mengklaim  sepenuhnya  menjalankan sistem pembelajaran online. Namun hasil pantauan, akun @uipmun beserta postingannya tidak dapat diakses. (Suara.com, 3 Oktober 2024.)
Pro-Kontra Harus Diakhiri!
Terlepas dari pro dan kontra atas gelar kehormatan doktor HC yang diberikan kepada Raffi Ahmad tersebut, yang jelas persoalan yang satu ini bukan persoalan baru, tetapi ia merupakan lagu  lama yang mengalun kembali, dan sebaiknya harus diakhiri.
Tidak sedikit anak negeri ini yang memperoleh gelar doktor HC bahkan ada yang memperoleh gelar profesor. Mungkin hanya fenomenanya saja yang berbeda. Fenomena Raffi Ahmad menarik untuk dicermati, karena beliau sosok publik pigur, artis muda yang terkenal, kaya dan ada kedekatan dengan artis lain dan berbagai tokoh, termausk kedekatanya kepada petinggi  di negeri ini.
Atas dasar ini lah, seorang Raffi Ahmad mendapat sorotan, ditambah lagi persoalan gelar doktor HC yang diperolehnya tersebut. Sehingga, tidak perlu "kaget" jika sosok yang satu ini, sering mendapat sorotan, termasuk sorotan atas gelar doktor HC tersbut.
Namun, fenomena ini dan atau dinamika ini, harus kita cermati dan telaah lebih mendalam, agar kita memperoleh pemahaman yang utuh atas persoalan yang satu ini. Mengapa anak negeri ini gandrung dengan gelar akademik (gelar sarjana, gelar doktor, gelar doktor HC) dan gelar  jabatan fungsional akademik (profesor)?
Gelar Masih Diagungkan.
Bila disimak di negeri ini, gelar, apakah gelar akademik maupun gelar jabatan funhsional akademik tersebut, memang sangat digemari, karena banyak faktor yang mendorongnya.
Maaf, jika analisis ini kurang tepat. Bila kita telusuri, anak negeri ini memang masih mengagungkan gelar tersebut, ditambah sering adanya unsur persyaratan "formalitas" yang kita kedepankan, dibandingkan dengan unsur ke-profesionalan yang dimiliki anak negeri ini.
Belum lagi, adanya kebanggaan jika menyandang gelar ini dan itu, di tambah rasa "gengsi" yang sudah terpatri disanubari anak negeri ini. Jika menyandang gelar ini dan itu tersebut, rasa gengsi "naik". Terlepas gelar ini dan itu tersebut terkadang  tidak begitu dibutuhkan mereka dalam menjalankan atau melakoni profesi atau pekerjaan mereka.
Ini lah fenomena yang ada dan atau ini lah dinamika  yang ada. Apa mau dikata, tinggal bagaimana kita secara bijak memandang persoalan yang satu ini.
Bila kita berada pada pihak pengelola Perguruan Tinggi (PT), baik yang akan memberikan gelar, yang menerima gelar, maupun yang akan menggunakan gelar tersebut.Â
Bagaimana kita menyikapinya, apakah kita menerima  begitu saja atau perlu ada semacam "penepisan" atau mempertanyakan terlebih dahulu sebelum gelar atau pemilik gelar tersebut kita terima.
Jika saja, dalam PT tersebut menerima pemberian gelar ini dan itu tersebut, maka ada konsekuensinya. Jika lembaga yang memberikan gelar tersebut tidak kredibel.
Maka baik gelar yang diterima oleh penerima tersebut maupun PT yang mempekerjakan insan akademik yang menerima gelar tersebut, akan dipertanyakan atau  diragukan oleh publik. Kemudian, akan berpengaruh terhadap "kepercayaan" publik kepada PT itu sendiri.
Namun, jika gelar tersebut diberikan kepada anak negeri ini yang bukan insan akademik, lain lagi persoalannya. Penerima gelar saja yang akan menerima cemoohan publik. Bisa saja, dianggap "angin lalu"!
Siapa Salah Siapa Benar.
Bila mau dipertanyakan siapa salah dan siapa yang benar dalam persoalan ini, maka sebenarnya jawabannya sudah ada dalam "benak" kita masing-masing.
Dalam ilmu ekonomi sederhana, pasar atau interkasi atau transaksi ekonomi terjadi karena ada dua pelaku yang sama-sama melakukannya atau sama-sama mengehendakinya, yakni KONSUMEN DAN PRODUSEN ATAU PENJUAL.
Pihak yang memberikan gelar adalah pihak yang menjual atau produsen. Pihak yang menerima gelar adalah pihak yang membutuhkan gelar atau yang akan meminta gelar. Jika salah satu pihak tidak ada, atau jika salah satu pihak tidak menerima, maka pasar atau transaksi tersebut tidak terjadi. Inilah unsur bisnisnya.
Artinya, kita tidak boleh juga sepenuhnya menyalahkan lembaga yang memberikan gelar alias memproduksi gelar, Â Â Â Â Â Â dan kita tidak boleh juga menyalahkan si penerima gelar. Mengapa?, karena penerima gelar, dilatari berbagai unsur yang dikatakan di atas.Â
Bisa saja, karena mau mengangkat "gengsi atau prestise", bisa saja untuk memenuhi syarat "formalitas" di atas kertas yang harus mereka penuhi, karena kita sering terjebak dengan formalitas di atas kertas, bukan?. Tingkat ke-profesionalitas seseorang terkadang kita nomor sepuluhkan.
Maaf, maaf, maaf, hanya mempertegas saja. Contoh, salah satu daerah di negeri ini, mungkin saja di daerah lain juga, disinyalir ada tenaga pencerdas bangsa pada lembaga pendidikan tinggi  yang getol memburu gelar doktor karena orientasinya mau mengejar jabatan ini dan itu.Â
Sehingga, terkesan, gelar yang diburunya  bukan untuk menambah ilmu dan penerapan ilmu pasca mereka sudah memperoleh gelar tersebut.
Untuk itu, dalam menyikapi persoalan atau fenomena atau  dinamika ini, kita harus bijak. Sedapat mungkin menseleksi lembaga atau PT yang akan kita buru untuk memperoleh gelar doktor dan lainnya tersebut, baik yang kita buru secara formal maupun kita buru untuk mendapatkan gelar doktor HC dan lainnya tersebut.
Kemudian, kelaziman kita menetapkan syarat harus ber-gelar doktor dan atau ber-gelar profesor tersebut, sah-sah saja. Namun, asal jangan terjebak dengan gelar "an sih", tetapi gelar tersebut hendaknya diikuti keprofesionalannya.
Publik, sebaiknya merubah pola pikir dan pola pandang, jangan memandang gelar, jangan mengutamakan gelar saja, tetapi pandang juga mereka dari sisi keprofesionalannya, panjang juga mereka dari sisi karya nyatanya dan pandang juga mereka dari sisi kontribusinya.
Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah, mari kita membenahi  kualitas pendidikan kita, mari kita terus meningkatkan sistem penilaian atas pendidikan kita yang selama ini sudah baik, dan mari kita mulai "meng-agung-kan" ke-profesionalan anak negeri ini. Dengan demikian,  diharapkan tidak ada lagi fenomena seperti yang kita "hebohkan" saat ini. Semoga!
Oleh Amidi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H