Mohon tunggu...
Ami Abeb
Ami Abeb Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Anak Rantau

Nulisnya nunggu mood.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jodoh

7 Oktober 2017   14:21 Diperbarui: 7 Oktober 2017   14:53 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Betapa susahnya menjadi orang gendut. Mau jalan, lamban. Ingin makan, dibilang rakus. Ngantuk, dikata doyan tidur. Buang air besarpun harus menggunakan kloset duduk, sebab kesusahan jongkok. Dan yang paling menyedihkan, tak satupun lelaki yang mau menengok, apalagi menjadikannya pacar. Mungkin itu yang ada di kepala Titik siang ini. Sambil bertopang dagu, pandangannya tertuju ke lapangan. Beberapa siswa terlihat menahan tawa saat lewat di hadapannya. Titik sudah lelah jika harus tersinggung dengan pandangan mengejek seperti itu. Bully-an dari teman-teman sekelasnya sudah menjadi makanannya setiap hari.

"Buset si truk sampah duduk sini, alamat sial nih gue," ceplos Ari yang hendak lewat.

Titik hanya melirik dan meneruskan lamunannya. Meskipun dalam hati dia mengharap suatu saat bisa membalas.

***

"Aduh... "

Totok mengeluh kesakitan. Baru duduk dua puluh menit saja, pantatnya sudah lelah. Tubuh yang seperti pasien busung lapar itu benar-benar menyiksanya. Mungkin tiga kali sudah dia berganti posisi. Sesekali dia menyandarkan punggungnya ke tembok. Terasa tulang rusuk yang menonjol, menghalangi kenyamanan. Umur baru 17 tahun, tapi wajah sudah mirip seperti Pak Tile dalam sinetron Si Doel. Wanita mana yang mau dengannya. Pernah sekali dia memandangi Sinta, si bunga SMA beberapa saat. Sinta yang menyadari dirinya sedang diperhatikan langsung mendatangi Totok dan menamparnya.

"Ape lu liat-liat gue? Dasar bambu runcing, pergi gerilya aja lo sono!"

Kejadian itu selalu terbayang di kepala Totok. Perlahan dia mendengus kesal, matanya masih ke arah lapangan. Kembali dia mendesah, entah karena lelah duduk terlalu lama, atau lelah dengan nasib yang ada.

***

Sudah lama diam-diam kuperhatikan kedua orang ini. Meski bukan teman sekelas, aku yang mempunyai kebiasaan mencari informasi tentang seseorang berniat untuk menjodohkan mereka berdua. Kasihan, bagaimana mereka bisa percaya diri jika dunia selalu meremehkannya. Salah satu solusi adalah menemukannya dengan seseorang yang bernasib mirip atau sama. Kemudian membuat berpikir bahwa di dunia ini kalian tidak sendiri. Hal itu pasti akan muncul apalagi didukung dengan perasaan yang bernama cinta.

***

Titik duduk di meja kantin yang sudah ditempati Totok sebelumnya. Celingukan, mencari seseorang.

"Cari siapa lo?" Totok bertanya sekaligus terheran melihat makhluk sebesar Titik. Sangat berlawananan sekali dengan tubuh super cekingnya.

"Nggak tahu, ada yang manggil gue kesini, lo juga ngapain di sini?"

"Sama, gue lagi nyari orang yang katanya ada perlu."

Sedikit menahan tawa melihat tubuh Totok, dia duduk kemudian menimbulkan bunyi krietpada kursi, yang kemudian membuat Totok nyengir.

"Napa ketawa lo?" Sewot Titik.

"Lah, lo juga ketawa."

"Lo sih, badan ceking amat, jauh banget sama gue."

"Sama, gue juga ngetawain betapa makmurnya lo."

Mereka mendadak terbahak bersama. Mungkin menertawai takdir yang menimpa.

"HEY WAYANG GOLEK!"

Sebuah suara keras memecah keriangan mereka berdua. Oki, pembullynomor satu di kelas Totok tiba-tiba datang. Totokpun paham yang dimaksud tadi adalah dirinya. Entah berapa julukan yang dia punya, setiap hari selalu ada yang baru.

"Lo naruh apa di tas gue, hah?" Bentak Oki sambil menarik kasar kerah Totok.

"Apaan, bukan gue!" Totok membela diri.

"Nggak usah ngelak deh lo, siapa lagi kalau bukan lo!"

"Woy, lepasin!" Mendadak jiwa empati Titik keluar. Hatinya ikut sakit mendengar cacian Oki tadi. Teringat akan dirinya yang juga korban bully setiap hari.

"Siapa lo? Oh, si kawat jemuran uda punya bodyguardsekarang." Belum kering bibirnya mencela, julukan Totok sudah berubah lagi.

Buk! Sebuah kepalan tangan dari Titik melesat ke muka Oki. Darah segar mengalir dari hidungnya.

"Brengsek! Berani juga lo ama gu... "

Belum selesai bicara, pukulan kedua melayang ke pipi kiri Oki, membuatnya terpelanting ke lantai dan mengeluarkan bunyi bumm.

 

Oki segera bangun tertatih lalu lari terbirit-birit. Beberapa anak di situ ketakutan melihat kemarahan monster sebesar Titik, pura-pura tidak melihat kejadian. Totok membenahi kerahnya, sedangkan Titik terduduk lagi di kursi, kriet.

"Lo nggak apa-apa?" Mereka saling tanya, bersamaan. Dan itu membuat mereka tersipu kemudian kikuk.

"Makasih, ya." Kata Totok.

"Nggak apa-apa, gue tahu kok rasanya dikatain kaya gitu."

"Nama lo siapa?" Tanya Totok.

"Gue... "

"BADAK BENGKAK!"

Lagi-lagi suara cacian didengar. Itu membuat Totok mendengar julukan Titik dulu sebelum namanya. Siapa lagi kalau bukan Ari, dengan beberapa temannya, salah satunya adalah Oki dengan muka lebam bekas tinjuan Titik. Rupanya, Oki mengenal Ari dan langsung lapor apa yang barusan terjadi.

"Jadi lo dapet pekerjaan baru ya, jadi tukang pukul ni orang? Lo kira terus bisa sok kuat gitu? Lo kira gue takut?"

Titik hanya terdiam menunduk. Diam-diam Totok melepas sepatunya, melemparkannya tepat ke mulut Ari. Bibirnya berdarah.

"Bedebah lo, serang!" Geram Ari.

Ari dan teman-temannya menyerbu Totok. Titikpun menyeruak, memeluk Totok sekaligus melindunginya dari injakan dan pukulan. Hingga ditinggalkannya mereka berdua setelah para preman sekolah itu puas.

Baju Titik sampai koyak. Mereka berdua sama-sama terkulai dan terluka. Anak-anak lainpun mulai datang menolong, termasuk aku yang memperhatikannya dari tadi di kejauhan. Dan akulah dibalik semua kejadian ini.

"Gue Titik," katanya sambil terengah-engah pada Totok yang dibopong.

"Gue Totok."

Pandangan mereka bertemu kemudian saling senyum. Aku menemukan benih cita di mata mereka. Berhasil.

***

Kusalami mereka berdua di pelaminan. Siapa sangka cinta SMA mereka berlanjut hingga ke pelaminan. Semua teman-teman se-angkatan diundangnya. Termasuk Ari, Oki, dan mereka semua yang pernah menghajar sepasang pengantin ini dulu. Ini adalah undangan pernikahan sekaligus reuni. Kita terbahak ketika mengingat peristiwa jaman SMA. Tentu sudah tak ada lagi dendam. Nostalgia.

"Kalian inget nggak, pertama kali dua orang ini ketemu?" Aku mengingatkan, "sebenernya itu akal-akalan gue."

Mendadak mereka terdiam sesaat, termasuk Oki dan Ari.

"Oh, jadi gara-gara lo ya," Ari menyiramku dengan air mineral yang diikuti oleh yang lain. Pasangan pengantin juga ikut-ikutan mengguyurku. Kami terbahak bersama.

"Jodoin orang mulu, dia ndiri kapan?" Celoteh Titik.

Aku meringis. Ya, hingga saat ini diriku masih saja sendiri. Meski kebiasaanku adalah menjodohkan orang.

"Hai,"

Seorang wanita cantik datang membawa buket bunga, menyalami Totok kemudian berpelukan dengan Titik. Aku terbelalak, dia adalah Diva. Wanita yang pernah menolakku jaman SMA dengan alasan ingin fokus belajar. Mendadak aku salah tingkah, sekaligus malu karena jas yang kupakai basah.

"Sam, lo sama Diva aja!" Totok nyeletuk. Dan itu membuatku makin grogi. Yang lainpun ikutan bersorak dan bersuit.

Diva hanya tersenyum kemudian mendatangiku.

"Apa kabar, Sam? Aku udah nggak fokus belajar lho sekarang."

"Eh?" Aku tertegun. Tubuhku kaku ketika menerima buket bunga dirinya, yang kukira adalah hadiah untuk pengantin. Mimpikah aku?

Sorak teman-teman mendadak tak kudengar lagi. Aku hanya melihat senyum indah Diva.

Mekah, 6 Oktober 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun