“Ngg..oh ayah sudah bangun?” tanyanya sambil megerjipkan mata. Tak kujawab pertanyaannya. Kuremas kuat bajunya lalu aku menunjuk arah wanita tadi. Nadya kaget.
“Eh, ya Allah Bu Dewi...Susteeer!” teriaknya sambil lari keluar.
Aku tersentak mendengar nama itu. Ah, mungkin hanya kebetulan. Tapi mataku langsung kutujukan pada pelipis kirinya. Tertutup rambut yang sudah memutih.
“Sudahlah, ini biasa saja,” jawabnya tegar.
Aku hanya miris mendengar jawabannya. Sekuat tenaga aku mencoba untuk duduk. Namanya masih menggangguku. Kuraih kotak tisu di meja samping. Kulempar ke pangkuannya. Dia mengusap darah di mulutnya.
“Terima kasih, Anto.”
Lagi-lagi aku terusik. Dari mana dia tahu namaku. Ah, bukankah Nadya sudah mengenalnya? Pasti dia mendengar namaku darinya.
“Sama-sama, Dewi.”
Kini dia mencoba berbaring. Rasanya aku ingin membantunya tapi tak mungkin. Alat-alat rumah sakit ini membatasi gerakanku.
Aku masih terduduk memandanginya. Kuharap rambut putih itu segera menyingkir dari pelipis kirinya. Ternyata, aku masih penasaran. Nadya belum juga datang.
“Nama Anda sama dengan teman masa kecil saya.” katanya terbata-bata.