Ami menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dengan kesal. Ia kesal karena kantuk tak juga datang sedang malam telah larut bahkan nyaris pagi. Berbagai cara sudah dicobanya agar bisa tidur. Â Ia paksakan lagi matanya terpejam seraya membelai-belai rambutnya.
Makin lama makin terasa seolah orang lain yang membelai rambutnya. Menasihatinya agar melepaskan semua kegundahan hati, mengikhlaskan segala yang telah terjadi, menghalau pikiran buruk dan berusaha untuk tenang agar bisa tidur nyenyak.
Ami mengira Ia masih terjaga meski matanya terpejam ketika belaian tangan di rambutnya dan suara orang lain yang menasihatinya terasa semakin nyata. Bahkan setelah tangannya terkulai di sampingnya belaian itu masih terasa.
Ia merasakan kehadiran orang lain di dekatnya. Tapi ketenangan yang dirasakan olehnya membuat Ia enggan mencari tahu. Dibiarkannya saja dan pasrah apapun yang terjadi.
"Aku akan menemanimu" ujar suara itu pelan dan hangat. "Aku akan selalu ada untukmu dalam malam-malam sepimu"
"Kamu siapa?" Tanya Ami masih dengan mata terpejam seolah takut orang itu pergi jika Ia membuka matanya.
"Aku adalah ksatria sepi mu" jawabnya
"Apakah kamu nyata?"
"Hanya jika kamu menginginkan aku nyata"
Dari jawaban itu tahulah Ami jika ksatria sepi ini hanyalah bayangan yang Ia ciptakan sendiri. Ia senang khayalannya terasa begitu nyata. Dan Ami menikmatinya hal itu. Meski miris, Ami mengakui jika dirinya membutuhkan seseorang yang bisa membuatnya merasa nyaman, tak perduli jika itu hanyalah imajinasinya saja.Â
"Apa kamu punya nama?"
"Namaku Ayaz, Ayaz artinya angin malam yang sejuk" jawabnya "aku ingin bisa menyejukkan hatimu dengan hadirku"
Ami penasaran mendengar orang itu menyebutkan namanya. Ia membuka matanya dan melonjak terkejut melihat seorang lelaki duduk di pinggir ranjang di sebelah kepalanya. Ia menoleh cepat kearah pintu yang masih terkunci. Lelaki itu tersenyum.
"Aku hadir karena pikiranmu, aku tak memerlukan pintu untuk bisa berada di dekatmu"
Lelaki itu begitu mempesona, gagah tapi suaranya begitu lembut berkarisma. Lagi-lagi Ami mengagumi imajinasinya yang bisa menciptakan khayalan senyata itu. Ia tersenyum pada Ayaz
"Baiklah, Ayaz...temani aku dan bantu aku tertidur"
"Tentu, Ami.. pejamkan matamu" jawab Ayaz seraya membantu Ami merebahkan tubuhnya lagi.
"Apakah kamu hanya datang kali ini saja atau..."
"Aku akan datang kapan saja kamu inginkan" jawab Ayaz meyakinkan.
Ami tersenyum senang dan mulai memejamkan mata. Ayaz membelai-belai rambut Ami dengan lembut. Nafas Ami perlahan-lahan mulai teratur dan akhirnya Ia pun terlelap.
              *******
Pagi-pagi seperti biasa alarm yang diatur Ami berbunyi riuh saling bersahutan dengan panggilan adzan subuh. Ami membuka matanya dan terheran-heran melihat beberapa kuntum bunga kemuning di pinggir bantalnya. Ia mencoba mengingat-ingat kapan Ia memetik kemuning yang memang sedang berbunga di depan jendela kamarnya dan meletakkannya di pinggir bantal.
Lalu Ia teringat pada Ayaz dan menganggap Ayaz adalah mimpi manisnya semalam. Bergegas Ia bangkit mengabaikan kemuning dan melupakan Ayaz. Dibasuhnya wajah lalu menggosok gigi, mengambil air wudhu dan pergi sholat.
Hari itu Ami menjalani kehidupannya seperti biasa. Membereskan rumah tua milik keluarganya. Ia tinggal sendirian. Anak-anaknya tinggal di luar kota melanjutkan sekolah. Kakak-kakaknya sudah memiliki rumah masing-masing dan tinggal berjauhan. Walaupun rumah itu cukup besar dan luas tapi Ami memilih merawatnya sendiri tanpa mempekerjakan orang lain.
Sejauh ini Ia berhasil membuat rumah dan halamannya jadi lebih rapi, bersih dan indah. Kebun belakang rumahnya yang sebelumnya gelap karena banyak pepohonan sekarang jadi lebih terang dan jadi taman yang asri dengan banyak bunga terawat. Teman-teman tetangganya sering datang berkunjung. Rumah yang sebelumnya selalu tertutup sekarang lebih terbuka dan ramah.
Selalu saja ada yang bisa dikerjakan di rumah itu. Memangkas ranting pohon, menanam tanaman, memindahkan pot-pot bunga, memungut daun-daun kering dan membakarnya, mengendalikan rumput liar, banyak lagi. Hingga kadang Ami merasa hari begitu singkat. Tahu-tahu saja hari sudah sore lalu malam pun menjelang. Barulah Ami merasa kakinya sangat lelah ketika ia mulai berbaring istirahat. Meskipun lelah Ia tidak pernah bisa tidur sore. Selalu saja kesulitan karena Ia menderita insomnia.
Seperti biasa Ami sudah bulak-balik merubah posisi tidur, tapi tetap saja tak juga mengantuk. Ditutup matanya dengan kain. Tiba-tiba Ia merasakan kehadiran seseorang. Dibukanya kain yang menutupi wajahnya. Seorang lelaki berdiri di ujung ranjang tidurnya. Ami terperanjat. Ia yakin tadi sudah mengunci seluruh pintu.
"Sudah kubilang, aku tak butuh pintu" ujar lelaki itu seolah tahu apa yang dipikirkan Ami.
"Aku Ayaz"
Ami kembali terkejut. Ia ingat mimpinya kemarin malam tentang Ayaz. Tapi bagaimana bisa mimpi itu sekarang tampak nyata bahkan sebelum Ia tidur. Ayaz tersenyum lagi-lagi seolah tahu apa yang dipikirkan Ami. Ayaz mendekat dan duduk di samping Ami. Ditepuknya punggung tangan Ami.
"Aku akan menemanimu" ujarnya sambil menatap mata Ami lembut.Â
"Tapi kamu bilang akan datang jika aku menginginkan kamu datang.. sedangkan barusan, kamu tiba-tiba datang padahal ingat padamu pun aku tidak"
Ayaz tak berkomentar, Ia hanya tersenyum tenang. Dibantunya Ami berbaring meluruskan tubuhnya, memasang selimut dan memberikan bantal untuk dipeluk. Ami meraih bantal dan memeluknya membelakangi Ayaz yang duduk di sampingnya sambil membelai rambutnya, sesekali mengusap-usap punggungnya.
Setiap kali pikiran Ami berkecamuk memikirkan siapa Ayaz, tangan Ayaz mengusap wajahnya dan memijat pelipisnya seolah mengisyaratkan agar Ami jangan banyak berpikir. Akhirnya memang begitu, Ami jadi lebih tenang dan berhasil mengosongkan pikiran. Beberapa menit kemudian Ia pun masuk ke dalam tidur lelapnya.
Malam itu Ami bermimpi pergi ke suatu tempat yang belum pernah dilihatnya. Ayaz menuntun tangannya meniti pematang sawah yang terhampar luas dengan latar belakang gunung Tanggamus yang indah, melalui jalan setapak yang kiri kanannya dihiasi tanaman semak berbunga-bunga cantik aneka warna.
Semakin jauh mereka berjalan rasanya langkah kaki Ami semakin ringan. Perasaannya pun semakin bahagia. Hingga mereka tiba di depan sebuah rumah kayu dengan halaman luas berumput hijau. Di terasnya berbaris aglonema berbagai warna yang menarik.
"Rumah siapa ini?" tanya Ami sambil menyentuh lembut daun aglonema bidadari yang segar terawat.
"Rumah kita" jawab Ayaz tersenyum menatap Ami.
Ami heran mendengar jawaban Ayaz. Tapi keheranannya terabaikan oleh rasa penasarannya untuk melihat-lihat rumah itu. Ayaz mengajaknya berkeliling melihat bagian dalam dan belakang rumah.
Rumah itu tidak terlalu besar tapi sangat rapi dan cantik. Tidak terlalu banyak ruang  dan perabotan hingga terkesan luas. Seluruh materialnya terdiri dari kayu termasuk plafon dan atapnya.
Di pinggir jendelanya ditanami kemuning yang saat itu sedang berbunga, wanginya menyeruak ke seluruh ruangan ketika Ayaz membuka jendela. Dipetiknya beberapa ranting yang dipenuhi bunga-bunga putih harum dan diberikannya pada Ami. Ami menerimanya dengan senang.Â
Ketika sedang mencium aroma wangi kemuning sambil memperhatikan lukisan di dinding papan dekat perapian Ayaz memeluknya dari belakang. Ami diam saja menikmati hangatnya dekapan tangan Ayaz yang kokoh. Dipejamkannya matanya, beberapa waktu Ia merasakan ketenangan.
Dari kejauhan terdengar suara ayam berkokok nyaring. Ami merasa tubuhnya dingin, tak ada lagi tangan Ayaz yang mendekapnya. Ia menoleh ke belakang, tak ada Ayaz. Diedarkannya pandangan, tak ada Ayaz. Ami mulai panik dan mencari kemana-mana sambil memanggil-manggil Ayaz.
Suara kokok ayam terdengar semakin jelas. Ditambah suara adzan. Ami pun terbangun dari tidurnya. Ia menghela nafas menyadari Ia baru saja bermimpi. Tapi lagi-lagi Ia terkejut melihat setumpuk kemuning di pinggir bantalnya.
Mimpi-mimpi itu berulang lagi di malam-malam selanjutnya. Terutama jika Ami merasa sulit tidur. Lama kelamaan Ami menikmati hadirnya Ayaz dalam kehidupan malamnya. Ia menganggap itu adalah khayalan paling panjang dan berkesinambungan yang pernah diciptakan oleh pikirannya. Dan kemuning yang kadang tergeletak di pinggir bantalnya tidak lagi dia peduli bagaimana bisa terjadi, karena Ami memang sering meletakkan kemuning di kamarnya.Â
Kehidupannya berjalan seperti biasa. Ami masih sering berkumpul dengan teman-teman sekitar rumahnya. Hanya saja Ia mulai membatasi waktu, kalau sudah lebih dari jam sepuluh malam maka Ia akan meminta teman-temannya bubar dan pulang ke rumah masing-masing.
Jika tidak maka hatinya akan gelisah teringat Ayaz sedang menunggunya. Atau kadang kalau sore mereka sudah berkumpul maka malamnya tidak lagi. Ia lebih suka menghabiskan waktu malamnya bersama Ayaz. Pola tidurnya jadi lebih teratur dan lebih rajin bangun pagi.
Sudah hampir tiga bulan Ayaz menemaninya. Ia bahkan hadir walaupun Ami tidak sedang kesulitan untuk tidur. Mengajak Ami mengarungi mimpi ke tempat-tempat yang tidak dikenal Ami di dunia nyata. Lebih sering mereka mengunjungi rumah yang katanya milik mereka berdua. Menghabiskan waktu seharian di sana.
Hingga suatu ketika dalam mimpi itu Ami bertemu seorang wanita bernama Istari yang mengaku sebagai calon istri Ayaz. Perempuan cantik berbaju kurung dipadu celana panjang, seperti perempuan Melayu. Ia berdiri diambang pintu dengan tatapan sayu.
"Kakak cari siapa?" Tanya Ami menghampiri dirinya.
Perempuan itu diam saja sambil mengalihkan tatapannya pada Ayaz. Sekejap Ayaz terkesima lalu ikut menghampiri.Â
"Istari..."
Ayaz memegang erat tangan Ami yang agak heran memandang mereka berdua. Lalu Ayaz mengajak Istari masuk ke dalam.
"Ada apa mencariku?" Tanya Ayaz memulai percakapan
"Mereka mulai menekan keluargamu tentang perjodohan kita" jawabnya pelan.
Ami terkejut tapi tetap menahan diri. Ayaz menarik nafas dalam dan terlihat kurang senang.
"Maafkan aku, Istari. Bukankah aku sudah menolak perjodohan itu"
Istari tertunduk. Sementara tanpa disadari Ami menarik nafas lega. Ayaz menggeser duduknya lebih dekat dan memeluk bahu Ami.
"Aku mencintai Ami, Is.. kuharap kau bisa mengerti"
Istari mendongakkan kepalanya menatap Ayaz dan Ami. Mata beningnya mengerjap terkejut.
"Tapi... dunia kalian berbeda..kalian tidak bisa...." Istari tidak melanjutkan kata-katanya
Mereka bertiga terdiam dengan pikiran masing-masing. Tak lama kemudian Istari mundur perlahan dari hadapan Ayaz dan Ami sambil tetap memandangi mereka berdua dengan datar.
Ami menatap Ayaz, ada banyak pertanyaan yang ingin diajukannya tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Ayaz menatap mata Ami seolah berusaha meyakinkannya untuk tenang. Diraihnya tubuh Ami dan ditenggelamkannya dalam dekapannya. Ami diam saja, kalimat Istari tentang dunia yang berbeda tadi masih berkecamuk di pikirannya. Ayaz lalu mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di tempat tidur.
"Kosongkan pikiranmu, mi" katanya seraya memijat lembut dahi dan pelipis mata Ami.
"Berbaringlah di sisiku, Ayaz" pinta Ami.
Ayaz pun mengambil tempat di sisi Ami,Â
"Tidurlah di sini" katanya sambil menepuk lengannya
Ami meletakkan kepalanya di lengan Ayaz yang kemudian mendekapnya dengan lengan satunya lagi. Sesekali Ia mengusap-usap punggung Ami atau menepuk-nepuk bahunya pelan sampai Ami terlelap. Dan keesokan paginya ketika Ami terbangun Ia tak lagi mendapati Ayaz di sampingnya. Tak lagi heran karena sudah terbiasa, Ami tak lagi mencari Ayaz.
Setelah pulang dari masjid dekat rumahnya Ami menyempatkan diri untuk bersepeda. Satu jam setiap hari cukup membuatnya tetap bugar di usia yang tidak muda lagi. Baru setelah selesai bersepeda Ia minum kopi di bale-bale samping rumahnya. Budi yang sering membantunya membereskan halaman datang menghampiri.
"Bud...buat kopi tuh" sapanya sambil menawari Budi minum kopi.
Budi tersenyum saja sambil menghidupkan teko pemanas air dan meracik kopi.
"Semalam nyanyi sama siapa?" Tanya Budi
"Aku nggak keluar semalam, tidur cepat" jawab Ami.
Budi menoleh memandang Ami heran.
"Serius?"
"Lah?? Ya serius"
Budi menuang air yang sudah panas ke gelas kopinya. Mengaduk-aduk dan duduk di dekat Ami.
"Jadi siapa yang nyanyi di sini semalam" gumamnya pelan
"Bukan di sini mungkin" jawab AmiÂ
"Di sini!" Tegas Budi
"Gimana kamu bisa yakin?"
"Semalam aku main gaple di pos ronda, teman-teman yang lain juga dengar kok" kata Budi, "karena sudah terlalu malam kami penasaran terus melihat-lihat kesini, awalnya suara nyanyinya hilang, kami tunggu, terus ada lagi, dan yakin itu dari sini" terang Budi
Ami bengong, matanya membulat.
"Tadinya kami pikir kamu, tapi suaranya beda. Makanya aku tanya kamu sama siapa semalam"
"Suara perempuan?" Tanya Ami
"Iya, lagunya nggak jelas lagu apa, seperti nembang, seperti lagu campursari gitu... Suaranya lirih dan sedih"
"Kenapa nggak masuk untuk memastikan?"
"Ya itu, karena nyanyinya sedih jadi nggak enak mau masuk takutnya kamu lagi ada teman yang curhat terus diajak nyanyi, gak enak takut mengganggu"
Ami diam saja, tak ingin melanjutkan obrolan tentang suara bernyanyi itu. Diseruputnya kopinya. Selintas Ia teringat akan Istari tapi cepat ditepisnya.Â
Dulu juga ada temannya yang indigo bilang melihat anak kecil di halaman sedang main saat tengah malam. Kadang perempuan main ayunan yang digantung di batang alpukat. Jadi Ami tidak lagi heran untuk hal-hal seperti itu.
Baginya mahluk yang berbeda dimensi itu ada. Tapi Ami percaya Ia tak akan diberi penampakan-penampakan karena menurut Ayahnya mata batinnya sudah ditutup. Pertanyaan Budi pun tidak terlalu digubrisnya lagi.Â
Setelah kopi paginya habis Ami pun sibuk dengan pekerjaan rumahnya seperti biasa. Ia tidak akan berhenti sebelum adzan Dzuhur berkumandang.
           *******
Hujan sedari sore membuat udara sudah sangat dingin padahal belum terlalu malam. Ami menarik selimut yang jarang-jarang dikenakannya. Karena masih gerimis teman-temannya pun tak ada yang datang berkunjung. Masing-masing berlindung di bawah selimut.
Ami memijat lembut kepalanya yang terasa sangat sakit. Dirabanya lambungnya, biasanya kalau maghnya kambuh Ia juga merasa sakit kepala yang hebat. Tapi kali ini lambungnya aman. Mungkin karena cuaca, pikirnya.
Ami berharap Ayaz segera datang dan membantu memijat kepalanya agar Ia bisa lebih cepat tidur. Tubuhnya lelah sekali habis bekerja seharian tadi.
"Ayaz.... Ayaazz..." Panggil Ami lirih.Â
Matanya terpejam menahan sakit kepalanya. Tubuhnya dingin. Dan Ia merasa lemas. Tak lama kemudian Ayaz datang
"Ami..."
Ami menoleh ke pintu. Tak seperti biasanya Ayaz tampak ragu untuk mendekat.Â
"Kepalaku..."
Dengan perlahan dan berat Ayaz mendekat tapi tubuhnya terlonjak kaget seperti disengat listrik ketika menyentuh tubuh Ami.
Ayaz menjauh, menatap Ami sendu. Sekali lagi tangannya terjulur untuk menyentuh tapi tubuhnya malah terpental ke belakang. Ia tertunduk tak berdaya. Ami terpana heran menatapnya. Perlahan-lahan tubuh Ayaz mengabur dan akhirnya hilang.
Ami terkejut berusaha bangkit tapi Ia merasa sangat lemas hingga tubuhnya terhempas lagi ke tempat tidur. Nafasnya tersengal, kepalanya serasa berputar, pandangan matanya gelap. Ia merasa tubuhnya seperti melayang, tersedot melintasi lorong gelap hingga akhirnya terhempas di dalam sebuah ruangan berdinding tanah dengan teralis kayu Ulin di hadapannya.
Ami berpikir keras sedang berada di mana. Kenapa Ia terkurung. Di luar ruangan, seorang lelaki tua berperawakan tinggi dan gagah memperhatikannya. Wajahnya dingin dan datar.Â
"Paman,... lepaskan dia"Â
Istari memegang lengan lelaki itu, memandanginya dengan wajah memelas, sesekali pandangannya beralih pada Ami yang terlihat kebingungan dan wajahnya menahan sakit. Lelaki itu diam saja. Istari mengguncang lengannya, merengek agar pamannya melepaskan Ami. Sang paman tak perduli malah pergi menjauh. Istari kecewa tak berdaya membujuk pamannya.
Dalam tidurnya Ami tampak gelisah. Berkali-kali tangannya menggapai ke udara atau mengerang menahan sakit sambil menekan kening dan mencengkeram rambutnya. Bulir keringat tampak membasahi dahinya.Â
Ayaz menelungkupkan wajah di meja makan rumahnya. Beberapa orang lelaki datang menghampirinya. Ayaz mendongakkan kepala,Â
"Ayah..."Â
Suaranya terdengar sedih. Seorang lelaki yang tampak lebih berwibawa dari yang lainnya berdiri di seberang meja memandangi Ayaz.
"Nasib klan kita bergantung padamu, nak. Terima perjodohanmu, kita tak bisa mengelak. Mousa terlalu kuat untuk dilawan. Menjadikannya kawan adalah solusi terbaik. Dan itu hanya terjadi jika kita memenuhi syarat yang Ia minta, menikahkan kamu dengan keponakannya" lelaki itu berkata pelan dengan suara yang lembut berwibawa namun tegas.
"Tapi, Ayah..."
"Lupakan perempuan itu, kamu tak akan bisa bersamanya, bahkan alam tak mendukungmu" sergah Ayah "Ingat Ayaz, kalian berbeda dimensi, beda dunia, berbeda alam!"Â
Tubuh Ayaz bergetar, wajahnya tertunduk. Ayahnya dan beberapa lelaki lain itu berbalik pergi meninggalkan Ayaz yang masih terduduk dan tertunduk tak berdaya.
Sayup-sayup telinganya mendengar erangan dan rintih kesakitan Ami yang sesekali memanggil namanya. Ia tak bisa berbuat apa-apa karena kekuatan Mousa menguasai Ami dan Ayaz tak bisa menembusnya. Bahkan untuk mendekat pun sulit karena ada banyak penjaga di sekitarnya.
Fatih melanjutkan ceritanya, Ia mengatakan tentang Ami yang menjerit kesakitan saat Ia menekan jarinya pagi itu. Fatih melihat kilat aneh di mata Ami yang buru-buru menghindari tatapan Fatih.
"Teh Ami dalam bahaya..." Ujar Ustadz mengingatkan. "Dia sudah bersinggungan dengan entitas dari dimensi yang berbeda dengan kita, hingga akhirnya membuat masalah"
"Gimana solusinya, tad?" Tanya Budi dan Fatih khawatir.Â
"Ruqyah" jawab Ustadz Nung singkat.Â
Mereka sepakat besok akan bersama-sama menemui Ami untuk menyadarkannya tentang apa yang sudah terjadi. Mereka harus membujuk Ami untuk bersedia di ruqyah dan rumahnya 'dibersihkan'.
             ******
Ami membaringkan tubuhnya yang terasa sangat lemas. Malam belum terlalu larut tapi udara sudah dingin sekali. Hatinya sedih karena tak melihat Ayaz. Tiba-tiba dia merasa dadanya seperti ditumbuk dengan keras. Ia terbatuk-batuk.
Nafasnya sesak, perutnya panas, seluruh tubuhnya sakit. Ia mengerang, dipikirnya magh-nya kambuh. Ia menahan sakit sampai berguling-guling dan megap-megap. Nafasnya tersendat, setiap kali Ia menarik nafas ulu hatinya seperti dicengkeram dan dipilin.
Sementara Ayaz tegang membatu memandangi dari jauh Ami yang sedang dijambak, dipukul, ditendang hingga terbatuk-batuk dan muntah darah. Ayaz tak mampu menolongnya. Kekuatan dan kekuasaan Mousa tak mampu ditembusnya. Sementara disisi lain, Istari menangis, teriak, memohon pada pamannya untuk menghentikan anak buahnya menyakiti Ami.
"Dia tidak bersalah, paman, jangan siksa dia,... kumohon lepaskan Ami, paman" teriaknya nyaris putus asa.
"Kesalahannya adalah masuk ke dunia kita dan menjadi penghalang bersatunya klan kita yang hanya bisa diwujudkan dengan menikahkan kamu dengan Ayaz" ujar Mousa pelan dan dingin.
"Hanya Ayaz yang bisa membuatku berhenti, atau perempuan itu mati dan kita berperang melawan klan Ayaz"
Istari terduduk lemas dan memucat. Ia tak ingin lagi melihat pertumpahan darah merobek ketenangan mereka. Ia tak ingin membayangkan porak porandanya tempat tinggal mereka. Itu sangat menyakitkan dan melelahkan. Belum lagi jika Ami sampai mati maka mereka juga akan berhadapan dengan entitas dari dimensi yang berbeda dengan mereka. Istari mengepalkan tangannya berusaha menguatkan tekad dan bangkit pergi. Ia harus bertemu Ayaz.
"Kamu harus membuat keputusan sekarang, nak"Â
Ayah Ayaz berdiri memandangi puteranya dengan sedih. Ia berusaha membujuk puteranya untuk mengalahkan ego sendiri demi orang banyak. Bukan saja dari klannya dan klan Mousa tapi juga orang-orang dari dunia yang berbeda dengan mereka, yang selama ini sudah hidup damai berdampingan.
Ayaz bersandar lemas di kursinya. Dipejamkannya mata. Setitik air mata yang sedari tadi mengambang  jatuh di pipinya. Tak tega Ia melihat siksaan yang dialami Ami. Hatinya perih, jiwanya marah, tapi sungguh tak berdaya untuk melawan.
"Ayaz...." Istari memanggilnya dari ambang pintu.
Ayaz dan Ayahnya menoleh. Istari memberi salam hormat pada Ayah Ayaz yang pamit pergi setelah membalas salamnya.
Ayaz menghapus air matanya. Tubuhnya bergetar menahan sedih dan marah. Istari berusaha memberi pengertian dan menceritakan apa yang dikatakan pamannya. Ia juga menyampaikan kekhawatirannya jika Ayaz tetap ngotot menolak perjodohan mereka.Â
"Kita semua bisa saja hancur. Dan cinta yang kamu pertahankan juga akan hancur... Tapi jika kamu menerima perjodohan kita, aku berjanji takkan menghalangimu menjaga cintamu pada Ami" ujar Istari.
Ayaz menatap Istari, mencari kesungguhan di matanya.
            ******
Pagi-pagi sekali Budi sudah mangkal di perempatan jalan. Sambil mengobrol dengan sesama pengojek sesekali Ia melihat ke arah rumah Ami. Beberapa kali Ia membawa penumpang lewat depan rumah Ami pasti menoleh untuk melihat apakah Ami sudah bangun atau belum.
Tapi sampai jam sebelas siang jendela kaca kamar Ami belum juga terbuka. Begitu juga gordennya terlihat dari lobang angin masih belum tersingkap. Ketika Fatih datang menghampirinya di pangkalan ojek Budi segera mengajaknya ke rumah Uyi yang letaknya di seberang gerbang rumah Ami.Â
"Yiii... cepetan Ning umah Ami sedelet" ujar Budi
"Ane ape?"
"Uwes cepetan!"
Uyi memandang Fatih yang mengangguk meyakinkan agar Uyi menurut. Akhirnya Uyi ikut ke rumah Ami. Dia juga heran melihat rumah Ami masih tertutup tidak seperti biasanya. Khawatir Ami sakit atau kenapa-napa. Mereka mengetuk pintu dan jendela kaca, tapi tak juga ada jawaban. Inayah yang bersebelahan rumah dengan Ami datang menghampiri.
"Liat Ami, Nay?" Tanya Uyi
"Kayaknya mah belum keluar dari pagi. Tadi sempat dengar suara batuknya." Jawab Inayah sambil ikut memanggil Ami dari jendela kamar.
Setelah berunding akhirnya mereka memutuskan untuk mendobrak masuk. Budi yang biasa mengurusi rumah Ami tahu sisi mana yang bisa didobrak tanpa banyak merusak dan menimbulkan kehebohan. Maklum kalau pagi perempatan jalan depan rumah Ami selalu ramai selain pangkalan ojek juga tempat tetangga ngobrol. Mereka tidak ingin menarik perhatian orang banyak sementara belum tahu apa yang terjadi dengan Ami.
Mereka berempat pergi memutar ke halaman samping. Budi mengambil tangga dan meletakkannya di ujung halaman yang bersebelahan dengan halaman belakang. Ia naik menyeberangi tembok yang memisahkan halaman. Andai waktu itu Ia tak menutup celah di atas tembok pasti akan lebih mudah masuk ke halaman belakang.Â
Setelah berada di halaman belakang Ia mendorong kuat-kuat pintu menuju ke dalam rumah. Lagi-lagi Ia menepuk jidat saat kesulitan mendobrak pintu. Dia juga waktu itu yang mendandani pintu belakang agar lebih kuat.
"Tiih!!.. Fatih!" Teriaknya
"Ape, pak" sahut Fatih dari halaman samping.
"Pinjem linggis, pak!" seru Budi
Fatih bergegas pergi ke rumah Uyi mengambil linggis lalu memberikannya pada Budi. Tak lama kemudian Budi berhasil membuka pintu. Ia segera membukakan pintu samping menyuruh Uyi dan Inayah ke kamar Ami. Ia juga membuka lebar pintu depan.
Uyi dan Inayah segera menuju kamar Ami sambil mengucap salam dan memanggil Ami. Sesampainya di kamar Ami yang masih tertutup pintunya, mereka mencoba mengetuk. Karena tak ada jawaban mereka sepakat membukanya dan terpekik ngeri.Â
"Amiiiiii!!!!" Teriak mereka berbarengan merangsek mendekati Ami yang tergeletak melintang di sudut ranjang.Â
Uyi menarik kain pantai yang tersampir untuk menutupi paha Ami yang hanya memakai celana tidur pendeknya. Fatih dan Budi berlari ke kamar begitu mendengar teriakan Uyi dan Inayah. Mereka sama terkejutnya melihat keadaan Ami dan darah yang membasahi tilam putih dan kaos yang dikenakan Ami. Budi memperbaiki posisi tidur Ami dan Fatih memeriksa denyut nadinya yang sangat lemah.
"Cepetan panggil Ustadz Nung!" Perintahnya pada Budi.
Budi segera keluar tapi baru sampai pintu Ia melihat Ustadz Nung di pintu gerbang bergegas masuk ke dalam diiringi tiga orang muridnya. Budi menunjukkan arah kamar Ami.Â
Ustadz Nung meminta agar Ami dipindahkan keluar kamar. Uyi dan Inayah menyiapkan tempat di ruang tamu. Sebelum dibaringkan Ustadz menyuruh mereka memakaikan mukena pada Ami dan membersihkan darah kering di wajah dan di pinggir mulutnya. Setelah itu Ustadz mengajak muridnya membacakan doa-doa dan ayat-ayat ruqyah.      ******Istari mengawal Ayaz memasuki kediaman Pamannya. Para penjaga yang bersiaga menunduk memberi hormat. Istari membawa Ayaz menghadap Mousa setelah berhasil meyakinkan Ayaz untuk menerima perjodohan mereka.Â
"Paman,...kami datang memberi salam" Sapa Istari pada Mousa yang sedang berdiri membelakangi mereka, menghadap ke jendela besar, memandang keluar ke arah tempat di mana Ami berdiri, kepalanya tertunduk lunglai dengan tangan terikat tali yang menggantung diatasnya.
Mousa  diam saja, hanya menggerakkan bola matanya sedikit menyadari kedatangan keponakannya. Pandangannya masih tetap ke arah Ami.
"Paman,.. Â aku Ayaz, terimalah salamku" ujar Ayaz menunduk takjim menekapkan kedua telapak tangannya.
Mousa masih diam. Menggerakkan kepalanya menoleh sedikit. Lalu kembali memandangi Ami.Â
"Kumohon, sudahilah, paman" suara Ayaz terdengar bergetar. Ia tak ingin melihat keadaan Ami yang mengenaskan.
Mousa membalikkan badannya dan beranjak ke tempat duduk. Istari menarik Ayaz mengajaknya bersimpuh di hadapan Mousa.
"Seharusnya kau tak perlu terlalu keras kepala pangeran kecil" kata Mousa pelan. Suaranya serak dan kasar.
Ayaz menunduk dengan wajah datar.Â
"Kau tahu kesalahanmu? Kamu sudah melanggar kodrat dengan berhubungan secara emosional dengan entitas lain. Kau sadar sudah menipu orang yang katamu kau sayangi dengan membuatnya berpikir kau cuma tokoh yang diciptakan oleh imajinasinya? Kau memanfaatkan ketidakstabilan perempuan itu, kesepiannya, kekecewaannya untuk rasamu sendiri!"Â
"Kau bilang mencintainya dan menolak keponakanku, lalu lihat apa yang terjadi pada perempuan itu...dia tersakiti hanya karena ego mu, kau bilang itu sayang? Cinta? Omong kosong!!!" Maki Mousa kesal.
Ayaz hanya diam. Mousa kehabisan kata-kata dan ikut terdiam. Seorang anak buahnya datang membisikkan sesuatu.
"Suruh masuk dan terima dengan baik" seru Mousa menanggapi anak buahnya.Â
Anak buahnya berbalik pergi dan datang lagi bersama Ayah Ayaz dan beberapa lelaki pengawalnya. Mereka memberi salam hormat, Mousa membalasnya dan dengan sopan mempersilahkan Ayah Ayaz duduk di kursi di sebelahnya. Sementara lelaki pengawalnya duduk bersimpuh agak jauh di belakang Ayaz.
"Aku datang untuk meminta maaf atas kekhilafan yang dilakukan Ayaz. Ia sudah menyadari kesalahannya dan bersedia melanjutkan perjodohan yang sudah diatur sebelumnya" kata Ayah Ayaz.
Mousa menarik nafas lega. Sebelum melanjutkan pembicaraan Ia memerintahkan anak buahnya melepaskan Ami. Juga memerintahkan menarik orang-orangnya dari area istimewa di halaman rumah Ami. Anak buahnya memberi tahukan usaha Ustadz Nung di luar sana.
"Jangan menimbulkan masalah dengan bentrokan" perintahnya tegas.
                *******
Lebih dari dua jam Ustadz Nung dan murid-muridnya membacakan doa dan ayat-ayat ruqyah. Tubuh Ami beberapa kali terguncang hebat. Kadang Ia teriak, meronta, menangis, mengerang dan menggeram. Keringat membasahi dahinya. Hingga akhirnya Ia memuntahkan darah kental kehitaman. Lalu terbatuk-batuk.
Ustadz memberikan air minum. Mengusap wajahnya dan meniup ubun-ubunnya. Mereka yang hadir disitu menarik nafas lega ketika Ami mulai membuka matanya.Â
"Sebisa mungkin jangan membiarkan Ami sendirian" pesan Ustadz Nung sebelum pamit pulang.
Budi dan Fatih mengantarkan Ustadz ke pintu. Berterima kasih sudah datang dan minta maaf  tidak menjemput Ustadz sebelumya. Ustadz Nung menatap Budi dan Fatih ingin mengatakan sesuatu tapi diurungkannya. Ia tersenyum saja dan pergi.
Subuh tadi sepulang bertugas menjadi Imam shalat di desa tetangga Ia dicegat perempuan berbaju kurung yang pernah dilihatnya di halaman rumah Ami. Perempuan itu menatapnya memelas seperti meminta pertolongan sambil membisikkan nama Ami.
Ustadz Nung mengerti kalau Ia harus segera ke rumah Ami seperti yang sudah direncanakan bersama Budi dan Fatih. Itulah sebabnya Ia bergegas datang tanpa menunggu jemputan lagi.
            ********
Tubuh Ami bergetar ketika genggaman itu terlepas perlahan. Salam perpisahan dan janji bertemu kembali terucap diiringi sebuah kecupan.Â
Dan lambaian tangan terakhir menutup sebuah temu yang entah kapan terulang lagi. Â Lalu desir aneh menjalari sekujur tubuh mendesak air matanya menggenang. Ia mulai kehilangan.
Tiba-tiba semua terasa senyap. Ada yang terampas darinya. Hening sesaat seolah mati. Tak satupun suara terdengar. Hanya bunyi berdenging yang menyayat.
Lalu satu-satu kisah manis membayang, pelukan hangat dan kecintaan membujuknya untuk berdamai. Dan langkah tegak kembali pasti dengan mantap berbalik pergi. Meninggalkan gerbang yang memisahkan mereka.
"Selamat jalan lelakiku."
Bisiknya sembari melangkah cepat menjauh dari bayangan Ayaz yang perlahan memudar dan hilang.
"Getaran rasa yang menggila ini akan kusimpan menjadi sesuatu yang manis. Jadi cadangan energi yang akan kunikmati sembari menunggumu datang lagi"
Meski Ia tak yakin bisa bertemu lagi dengan Ayaz. Area istimewa di halaman samping rumahnya sudah 'dipagari' oleh Ustadz Nung agar tidak lagi menjadi tempat yang bisa ditembus oleh entitas dimensi lain. Selain itu Mousa juga dengan kekuatan nya membuat tabir penghalang untuk memastikan Ayaz tak bisa berhubungan dengan Ami.Â
            ********
Awan gelap yang menggantung di langit yang mulai redup akhirnya jatuh berderai tumpah ruah ke bumi. Angin kencang yang berhembus sedari tadi rupanya tak mampu membuyarkan rindu langit kepada bumi yang kian berat setelah tertahan terik mentari sekian lama. Kerontang bumi dengan tanah pecahnya telah menyayat hati langit. Teriakan dedaunan yang mengering telah menggugah tebalnya awan untuk segera mencair.
Ami duduk di bale-bale halaman samping menikmati hujan yang mengguyur tanaman-tanamannya. Seolah bisa merasakan mereka tersenyum sumringah, tertawa dan memekik riang. Tanah-tanah basah, rumput hijau berkilauan di bawah cahaya temaram lampu taman, batu-batu yang terhampar di teras segar merona.
Gemericik air dari cucuran atap terdengar seperti musik yang mengiringi tarian ranting-ranting Alpukat. Hempasan air dari pancuran menggapai membasahi kaki Ami. Ami diam saja membiarkan ujung celananya basah. Sudah lama sekali sejak musim hujan tahun lalu berakhir.
"Apakah di tempatmu juga sudah turun hujan?" Bisik Ami dalam hati, Â "Aku ingin membagikan momen ini denganmu, meski kita berada di bawah langit yang sama tapi belum tentu hujan yang sama telah tiba kepadamu." Â Pikirannya melayang teringat Ayaz.
Ami masih duduk diam meski hujan mulai reda. Angin bertiup dingin menyelusup ke pori-pori. Â Ia bebaskan khayalannya tentang Ayaz, khayalan tentang Ayaz yang tiba-tiba datang menyampirkan selimut di bahunya. Melingkarkan lengan memeluknya. Dan mereka sama-sama berdiam menikmati sisa-sisa hujan. Mungkin pikiran Ayaz akan dipenuhi kenangan masa kecilnya tentang hujan sementara Ami menikmati hangatnya kebersamaan mereka tanpa memikirkan apa-apa.
Segaris rasa sakit di belakang kepalanya merobek lamunan Ami. Membawanya pada kenyataan.Â
Di sudut lain halaman yang terlindung bayangan pohon alpukat, Ayaz berdiri mematung menatap Ami.Â
Ketika Ia menawarkan jalan itu dan Ami menerimanya, Â Ia sudah tahu resiko yang Ia tempuh. Jalan yang mereka lalui penuh bunga namun ada kalanya mereka temui semak belukar dan berduri.
Mereka tetap memilih jalan yang tak mereka ketahui kapan akan sampai di mana. Melompat riang bergandengan tangan di antara bunga bermekaran di sana-sini, atau terluka dan menangis sembunyi dalam goresan luka semak dan onak. Bertahan di titik yang kosong dan berpegang pada pohon tanpa daun. Berharap musim semi akan selamanya dan bunga mekar mewangi senantiasa.
Tapi tak ada bunga yang mekar selamanya. Tak ada kisah yang tak akan berakhir. Tak ada yang akan tetap sama. Menggenggam yang nyata saja masih ada kalanya terlepas, apalagi hanya menggenggam khayalan. Kabut pagi perlahan akan membumbung pergi disibak mentari. Teriknya akan melayukan kesegaran kelopak mawar yang kehilangan wangi.
Lalu adakah gunanya air mata untuk sesuatu yang tak pernah jadi milikmu? Kehilangan sesuatu yang tak pernah kau miliki haruskah membuat langkah mu tersungkur? Tapi air mata tetap lah bisa membasahi hati agar tak mengering. Agar hatimu tetap lembut.Â
Sebaris demi sebaris garis pemisah yang tergores kian menebal. Genggaman tangan mulai terburai. Menciptakan dinding ragu yang membuat kisah jalan itu semakin semu. Langkah sepi kian tertatih merintih pada kenangan manis yang terkecap. Lalu jalan itu menjadi lengang. Kosong dan datar. Tak ada lagi bunga, tak ada lagi belukar. Tak ada lagi jemari bergenggaman.Â
Dan Ayaz hanya bisa menatap Ami dari kejauhan, Â yang berjalan sendirian dengan air mata menggenang. Mengenangkan ruang yang kembali kosong itu. Ayaz masih bisa melihat Ami jika Istari mendampinginya, karena Istari yang bisa menembus batas yang dibuat pamannya. Hanya melihat tapi tak terlihat dan tak bisa melakukan apa-apa. Cukup baginya memastikan Ami dalam keadaan baik-baik saja. Dan Ia harus mencukupkan rindunya dengan itu.
           ******************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H