Mereka tetap memilih jalan yang tak mereka ketahui kapan akan sampai di mana. Melompat riang bergandengan tangan di antara bunga bermekaran di sana-sini, atau terluka dan menangis sembunyi dalam goresan luka semak dan onak. Bertahan di titik yang kosong dan berpegang pada pohon tanpa daun. Berharap musim semi akan selamanya dan bunga mekar mewangi senantiasa.
Tapi tak ada bunga yang mekar selamanya. Tak ada kisah yang tak akan berakhir. Tak ada yang akan tetap sama. Menggenggam yang nyata saja masih ada kalanya terlepas, apalagi hanya menggenggam khayalan. Kabut pagi perlahan akan membumbung pergi disibak mentari. Teriknya akan melayukan kesegaran kelopak mawar yang kehilangan wangi.
Lalu adakah gunanya air mata untuk sesuatu yang tak pernah jadi milikmu? Kehilangan sesuatu yang tak pernah kau miliki haruskah membuat langkah mu tersungkur? Tapi air mata tetap lah bisa membasahi hati agar tak mengering. Agar hatimu tetap lembut.Â
Sebaris demi sebaris garis pemisah yang tergores kian menebal. Genggaman tangan mulai terburai. Menciptakan dinding ragu yang membuat kisah jalan itu semakin semu. Langkah sepi kian tertatih merintih pada kenangan manis yang terkecap. Lalu jalan itu menjadi lengang. Kosong dan datar. Tak ada lagi bunga, tak ada lagi belukar. Tak ada lagi jemari bergenggaman.Â
Dan Ayaz hanya bisa menatap Ami dari kejauhan, Â yang berjalan sendirian dengan air mata menggenang. Mengenangkan ruang yang kembali kosong itu. Ayaz masih bisa melihat Ami jika Istari mendampinginya, karena Istari yang bisa menembus batas yang dibuat pamannya. Hanya melihat tapi tak terlihat dan tak bisa melakukan apa-apa. Cukup baginya memastikan Ami dalam keadaan baik-baik saja. Dan Ia harus mencukupkan rindunya dengan itu.
           ******************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H