Di sinilah perlunya negara hadir. Pemerintah harus sigap, tangkas, dan cekatan. Dunia ekonomi digital melaju, sementara aturan bergerak seperti siput. Kasus odar--ojek daring--sempat memantik demonstrasi besar-besaran, sekalipun sempat terdengar selentingan bahwa unjuk rasa pelaku transportasi konvensional mengandung rekayasa.
Meski demikian, setidaknya pemerointah bisa becermin dari kasus tersebut. Aturan main ekonomi digital harus segera dirancang, diputuskan, dan diberlakukan. Pelaku, baik konsumen maupun pebisnis, mesti mendapatkan perlindungan.
Kata "perlindungan" ini pula yang dapat dijadikan "senjata pemikat" agar pelaku ekonomi digital berkenan membayar pajak atas kesadaran mereka sendiri. Dengan kata lain, pajak atas ekonomi digital sejatinya diberlakukan secara persuasif. Kalau bisa, pelaku ekonomi digital menyadari bahwa membayar pajak adalah kebutuhan mereka, bukan semata-mata kewajiban.
Pada Akhirnya: Dibina atau Dibinasakan?
Dalam laporan termutakhir yang dijuduli e-Conomy SEA 2018, Â Google-Temasek meramalkan nilai ekonomi digital di Indonesia pada 2025 mendatang akan menyentuh kisaran Rp1,400 triliun.Â
Angka yang sangat fantastis. Apabila dikenakan pajak sebesar 3% saja, maka potensi pendapatan negara bertambah sebesar Rp42 triliun. Alangkah banyak bangunan sekolah yang bisa dibangun; alangkah banyak fasilitas laboratorium dan bengkel kerja yang bisa dipunyai; alangkah banyak rumah sakit yang diperbaiki; alangkah banyak fasilitas sosial yang bisa dimiliki dari pendapatan tersebut.
Jika 91 tahun lalu para pemuda dari seantero Nusantara berkumpul di Batavia demi kemerdekaan bangsa tercinta, sekarang pemerintah tidak perlu ragu-ragu untuk menggugah dan menggugat kesadaran pelaku ekonomi digital lokal. Termasuk, para konsumen ekonomi digital di seluruh penjuru Nusantara.Â
Pemerintah harus mengajak mereka untuk duduk bersama, berembuk demi memerdekakan negara dari "potensi kehilangan pendapatan", dan bersatu demi kemajuan bangsa.
Jadi, dibina atau dibinasakan? Tentu saja kita semua dapat bersikap bijak dan arif.
Amel Widya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H