Bukan rahasia lagi, akal-akalan perusahaan digital dunia sangat moncer dalam menghindari kewajiban membayar pajak di negara tempat mereka memasarkan produk-produk digital. Akal-akalan penghindaran pajak itu lazim disebut base erosion and profit shifting atau BEPS.
Alhasil, mereka dengan mudah meraup keuntungan besar tanpa harus hadir secara fisik di negara sasaran pemasaran. Jelas untung bagi mereka dan buntung bagi negara sasaran pemasaran.
Andai kata perusahaan-perusahaan multinasional tersebut hadir secara fisik di negara tempat mereka memasarkan produk digital, di Indonesia misalnya, kemudian mempunyai Badan Usaha Tetap, maka upaya pemajakan dapat dengan mudah dilakukan.Â
Faktanya tidak demikian. Inilah celah sempit yang dimanfaatkan dengan jitu oleh pelaku pengemplang pajak pada era digital. Mereka benar-benar memanfaatkan pakem "menggunakan kesempatan dalam kesempitan".
Tentu kita semua menyadari bahwa transaksi ekonomi digital tidak mengenal batas, baik batas daerah, wilayah, maupun negara. Selama jaringan internet dapat diakses oleh konsumen, selama itu pula transaksi dengan mudah terjadi.Â
Dengan demikian, penjual dan pembeli tidak perlu bertemu, bertatap muka, atau berhadapan langsung. Tawar-menawar saja dilakukan di ranah internet. Sistem pembayarannya pun beragam. Ada yang memakai pola transfer sebelum pesan, ada yang menggunakan bayar di tempat (cash on delivery).
Transaksi barang pun variatif, dari barang murah seharga puluhan ribu hingga yang jutaan. Rentang usia pembeli pun bermacam-macam, mulai remaja hingga dewasa. Â
Bersandar pada perilaku transaksi tersebut, aturan tentang hak pemajakan atas laba yang timbul dari perusahaan multinasional seyogianya diperbaharui. Baik Konvensi Model Pajak OECD (OECD Model Tax Convention) maupun Konvensi Model Pajak PBB (UN Model Tax Convention) sudah lapuk atau tidak pas dengan kondisi terkini.Â
Sebagai contoh, tersebut secara tersurat pada Pasal 5 dan 7 dalam KMP OECD bahwa sebuah perusahaan multinasional dapat dikenakan pajak atas laba usahanya di suatu negara hanya apabila berstatus BUT.Â
Mari kita ulik fakta terkini. Sebuah perusahaan multinasional di Kanada, misalnya, leluasa menjual produknya di Indonesia walau tidak berstatus BUT di Indonesia.
Kenyataan ini sungguh memedihkan karena menggerus potensi pendapatan negara dari sektor pajak. Lebih memedihkan lagi, bahkan OECD sendiri, melalui Aksi 7 BEPS (BEPS Action 7), Â sudah menyadari bahwa definisi BUT harus disegarkan atau diperbaharui demi menghindari penyalahgunaan kewajiban membayar pajak.