Sebuah lompatan yang sangat dahsyat karena pertumbuhan jaringan dan kemudahan mengakses internet melaju amat pesat. Pada era kiwari, seseorang tidak mesti mengeram di kantor atau berkubang di warnet agar dapat meramban internet. Cukup menyalakan gawai cerdas, punya asupan kuota yang memadai, dan dunia segera berada di dalam genggamannya.
Data yang dilansir iPrice dapat memantik decak kagum kita. Pada rentang kuartal pertama 2019, jumlah pengunjung bulanan di situs web Tokopedia menempati peringkat pertama. Tokopedia rata-rata menerima 137.200.900 kunjungan per bulan. Perusahaan bertaraf unikorn lokal lain, Bukalapak, juga mendapat jumlah kunjungan terbesar. Rata-rata jumlah kunjungan situs Bukalapak pada kuartal pertama 2019 mencapai angka 115.256.600 per bulan.Â
Kedua perusahaan rintisan lokal tersebut menembus 5 besar kunjungan web terbanyak di regional Asia Tenggara, bersaing dengan pelaku ekonomi digital regional (Shopee dan Lazada) serta serta Tiki dari Vietnam.
Suguhan data di atas sekadar menampilkan betapa besar prospek ekonomi digital di negeri tercinta ini. Google-Temasek menabalkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi digital tertinggi di Asia Tenggara.
Google-Temasek mengutarakan bahwa perputaran uang melalui aktivitas ekonomi digital di Indonesia pada 2018 menembus angka 27 miliar dolar US atau setara dengan 378 triliun rupiah.Â
Andai kata Otoritas Pajak berhasil menarik pajak dari semua bentuk aktivitas ekonomi digital sebesar 3%, setidaknya pendapatan negara dari sektor pajak akan bertambah sebesar Rp11,340 triliun. Namun, itu baru sebatas "andai kata" karena regulasi pajak untuk pemajakan transaksi ekonomi digital. Akibatnya, pendapatan puluhan triliun pun hilang begitu saja.
Di sisi lain, konsumen selaku penikmat ekonomi digital pun berada di dunia antara, yakni antara nikmat dan sengsara. Nikmat karena tidak terbebani bea cukai saat memesan barang dari luar negeri, sengsara karena tidak mempunyai perlidungan atas produk yang mereka beli.Â
Sekadar menyebutkan contoh, seorang pembeli kosmetik di internet tidak dapat memastikan apakah produk yang mereka beli sudah mendapat label halal ataukah belum.
Sempat merebak polemik di media sosial terkait labelisasi halal tersebut. Sebagian netizen bersikeras bahwa jika di negara asal sudah mendapat label hala maka halal pula untuk digunakan oleh konsumen dari Indonesia.
Sebagian lainnya bersikukuh bahwa mereka menyangsikan kapasitas dan kredibilitas lembaga penjamin halal tidaknya suatu produk.Â
Simalakama bagi penikmat ekonomi digital, sebab mereka diuntungkan pada satu sisi dan dirugikan pada sisi lain. Belum lagi, konsumen belanja daring kesulitan dalam mengajukan komplain terhadap produk yang mereka beli apabila produk tersebut mengandung cacat produksi atau tidak sesuai dengan kondite yang mereka lihat di internet.