Menyikapi Akal-Akalan Pelaku Ekonomi Digital
Apakah yang mesti dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini Otoritas Pajak, dalam menghadapi akal-akalan pelaku ekonomi digital semacam itu?Â
Celah. Inilah solusi sementara. Jika pelaku ekonomi digital mahir mencari celah untuk berkelit dari tarikan pajak, wajar pula adanya jika pemerintah berinisiatif mencari celah agar kemungkinan memajaki pelaku dan transaksi ekonomi digital dapat dilakukan.
Pemerintah Indonesia seyogianya tidak limpung apalagi linglung. Pemerintah kita bisa berkaca pada pemerintah India yang akan mengenakan pajak baru, equalization levy, sebesar 6% atas penghasilan dari transaksi layanan internet, seperti iklan daring.
Regulasi serupa akan segera berlaku di Prancis, service tax, dengan pemajakan sebesar 3% atas penghasilan perusahaan berbasis digital dengan batasan jumlah penghasilan. Malahan, di Inggris, akan berlaku kebijakan kena pajak sebesar 25%, diverted profit tax, terhadap keuntungan yang dialihkan oleh perusahaan digital multinasional.
Tentu saja regulasi pajak baru seperti di tiga negara tersebut bukan sesuatu yang mudah dipraktikkan. Butuh kejelian, kegesitan, dan ketanggapan atas pertumbuhan dan perkembangan ekonomi digital.
Butuh pula keseriusan, kesungguhan, dan ketangguhan dalam menghadapi trik--jika kita menghindari istilah licik--yang digunakan pelaku ekonomi digital, terutama perusahaan multinasional.Â
Sebagai pertimbangan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengakui bahwa memajaki ekonomi digital memang sulit dilakukan selama belum ada rembuk pajak yang menghasilkan kesepakatan resmi antarnegara. Â Di sisi lain, ekonomi digital terus menggeliat dan menghasilkan keuntungan yang tidak tanggung-tanggung.Â
Pemerintah tidak mungkin terus berpangku tangan, menunggu hingga ada kesepakatan pajak internasional, sebab menunggu adalah pekerjaan sulit dan sungguh menguras energi.
Di luar itu, potensi kehilangan pendapatan negara semakin besar, ibarat "perangkap keren" berupa lubang menganga lebar yang pasti sangat merugikan apabila pemerintah tidak bergegas keluar dari sana.
Benteng Virtual bagi Penikmat dan Pelaku Ekonomi Digital
Semua bermula pada 1970-an tatkala inovasi bernama electronic fund transfer (EFT) mulai hadir, kemudian disusul dengan kehadiran electronic data interchange (EDI), dan dipungkasi oleh kemunculan transaksi niaga digital (electronic commerce).
Pada 2012, sebuah lembaga riset niaga digital yang berpusat di Universitas Texas, melansir bahwa nilai transaksi niaga digital sudah melewati angka 1 triliun dolar US.Â