Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Lima Resep Menata Cerita ala Seno

2 September 2018   00:33 Diperbarui: 2 September 2018   00:33 1494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bertukar kata, berbagi cerita: sepenuh cinta [Foto: Bamby Cahyadi]

Seno Gumira Ajidarma langsung membuka materi Seni Menata Cerita dengan kalimat menyentak, "Mustahil menghasilkan tulisan yang bernas tanpa banyak membaca."

Saya setuju. Resep pertama dari Papa Seno, panggilan saya pada pengarang kelahiran Boston tersebut, amat sangat tepat. Meskipun bukan resep baru, namun sangat penting dalam meretas jalan kepengarangan. Dengan membaca kita dapat mempelajari gaya menulis, teknik menuang gagasan, cara menciptakan tokoh, serta trik pengarang lain dalam menata plot.

Itulah suasana awal tatkala Papa Seno mengisi Kelas Menulis Fiksi yang digelar oleh Katahati Production. Acara yang dilaksanakan pada Kamis (30/8/2018), di AH Restocafe Melawai, dihadiri oleh 29 peserta. Jumlah yang melebihi ekspektasi saya.

Betapa tidak. Acara diselenggarakan pada hari kerja. Tanggal tanggung pula. Semula saya bayangkan jumlah peserta paling hanya 10 hingga 15 orang. Ternyata lebih. Bukan itu saja. Ada fakta menakjubkan, sekaligus mengharukan, terkait pentingnya kegiatan tulis-menulis seperti ini.

Fakta itu adalah kehadiran peserta dari luar Pulau Jawa. Tidak tanggung-tanggung. Ada dua peserta yang sengaja datang dari jauh demi menghadiri kelas menulis itu. Meiliza dari Kutai Timur dan Yuliyani dari Palembang. Menakjubkan karena mereka pasti mengorbankan banyak hal dan mengharukan melihat kesungguhan mereka untuk menghadiri kelas menulis tersebut.

Bahkan saya masih deg-degan hingga beberapa saat sebelum kelas dimulai. Apalagi saat menyambut kedatangan Papa Seno. Jujur saja, saya sempat grogi. Kalian pasti tahu rasanya mengobrol dengan seseorang yang kita idolakan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. Untung ada Bamby Cahyadi dan Irfan Rizky, rekan di Katahati, yang menemani saya mengobrol sejenak dengan Papa Seno.

Aduh, maaf, saya malah melantur ke mana-mana. Baiklah, kita kembali pada resep Papa Seno dalam menata cerita.

Setelah menegaskan pentingnya membaca bagi penulis, Papa Seno meminta izin kepada peserta untuk membacakan sebuah cerpen. Seperti sekelompok paduan suara yang sudah berbulan-bulan melatih kekompakan, peserta kelas menulis serempak mengizinkan.

Kemudian mengalunlah suara Papa Seno membaca cerpen Gubrak. Cerpen yang selesai beliau anggit pada 31 Desember 2011 itu segera menyapa telinga para peserta. Beliau membaca Gubrak dengan nada suara yang tertata, intonasi yang terjaga, tekanan emosi pada deskripsi dan dialog, serta mimik dan gerak tangan yang elok dipandang.

Saya sudah membaca cerpen tersebut sebelum acara dimulai, namun rasanya berbeda ketika Papa Seno yang membacakannya. Serasa mendengar pendongeng bercerita. Serasa melihat langsung orang-orang yang terpana dan terpesona pada kecantikan tokoh utama dalam cerita itu. Serasa menyaksikan kamerawan dan pemirsa teve yang pingsan karena menatap wajah gadis dalam cerita itu. Serasa menangkap kegelisahan komandan polisi yang gelagapan memberikan komando.

Sampai-sampai tidak berasa satu cerpen telah tuntas dibaca. O, tidak. Sebenarnya dua cerpen. Sebelum Papa Seno mengisi materi, kelas didahului dengan pembacaan cerpen oleh Mas Bamby. Dua cerpen berbeda, tetapi memiliki daya pikat yang kuat karena ditulis dengan kata-kata penuh irama. Dalam istilah Papa Seno, musikalitas kalimat.

Nah, itu dia resep kedua yang beliau beberkan ke hadapan peserta. Kalimat ditata dengan baik sehingga pembaca tidak bosan, sebut saja musikalitas kalimat. Cerpen yang beliau baca memang dipenuhi repetisi atau pengulangan. Baik pengulangan kata maupun pengulangan kalimat. Namun, tidak mencuat rasa jemu. 

Resep musikalitas kalimat ternyata manjur untuk mengikat atensi pembaca. Menurut beliau, usahakan ada nada dan irama yang terjaga dan tertata rapi.

Lebih lanjut, beliau membabarkan bahwa nada dan irama itu tidak harus dengan bahasa yang berbunga-bunga atau berbusa-busa. Tidak apa-apa memakai bahasa sederhana yang sering dipakai sehari-hari, asalkan terjaga dan tertata. 

Pada saat membaca ulang, kita merasakan semacam ketukan dalam kepala: trek tek-tek, trek tek-tek, trek tek-tek-tek. Begitu berulang-ulang.

Peserta Kelas Menulis Fiksi, Katahati Production, sedang menyimak pemaparan resep menata cerita [Foto: Bamby Cahyadi]
Peserta Kelas Menulis Fiksi, Katahati Production, sedang menyimak pemaparan resep menata cerita [Foto: Bamby Cahyadi]

Menulis kok mikirin teknik. Begitu tutur sastrawan yang masih enerjik itu. Menulis ya menulis, teknik tergali dari seberapa sering kita menulis.

Begitu jawaban penutup Papa Seno atas pertanyaaan peserta, Eka, tentang teknik beliau dalam menggunakan pengulangan pada kata atau kalimat tertentu. Eka mengajukan pertanyaan tersebut karena, katanya, sering mendengar kritik atas repetisi atau pengulangan.

Format belajar memang sengaja disusun dalam bentuk obrolan. Peserta bertanya dan Papa Seno menjawab. Sebenarnya saya juga punya beberapa pertanyaan yang sangat ingin saya ajukan kepada beliau. Satu di antaranya sudah saya ajukan saat membuka sesi Kelas Menulis Fiksi. Ceritakan kepadaku tentang ketakutan. Pertanyaan tersebut menganjur di benak saya saat menulis Penembak Misterius dan Seno Gumira Ajidarma.

Namun, selaku moderator, saya harus mendahulukan kepentingan peserta. Butuh beberapa jenak menunggu hingga Munir mengacungkan tangan. Munir menanyakan resep Papa Seno dalam menutup cerita, termasuk soal menyusupkan pesan ke dalam cerita.

Cerpenis yang menciptakan tokoh legendaris, Sukab, menjawab dengan lugas terkait pelesapan makna. Pertama, sampaikan secara langsung jika itu keinginan penulis. Kedua, sampaikan secara samar atau tersirat dan biarkan pembaca menemukan makna yang diinginkan. Ketiga, biarkan pembaca merdeka dalam memaknai cerita.

Dalam urusan menutup cerita, beliau sering memakai dua resep. Pertama, kejutan. Harus ada kejutan yang membuat pembaca ternganga atau terkesima. Kedua, kemengaliran. Harus ada kaitan erat antara pembuka dan isi cerita dengan penutup.

Saya segera mencatat dua bagian dari resep ketiga tersebut. Bagaimanapun, menutup cerita sering menjadi momok bagi beberapa penulis. Bahkan, saya pernah mendengar curhat teman penulis yang tulisannya melebar ke mana-mana karena bingung mengakhiri cerita.

Kadang judul sudah ada, tetapi isi cerita belum terpikirkan. Kadang cerita sudah selesai, malah judul belum ada. Santai saja.

Jawaban untuk pertanyaan Ivone itu terdengar bagai seloroh belaka, padahal Papa Seno sebenarnya sedang membuka "aib" banyak pengarang. Pada satu ketika, mendapatkan judul semudah memasak mi instan. Pada saat lain, judul sungguh sukar didapatkan. Itu fakta.

Masih dalam nada berkelakar, Papa Seno mengatakan bahwa beliau tidak pernah memusingkan judul. Jika belum ada, beri judul seadanya. Nanti diganti kalau sudah menemukan judul yang serasi dengan isi. Terlalu lama memikirkan judul justru dapat menghambat aliran imajinasi kita saat menulis.

Papa Seno menuturkan pengalaman beliau saat menulis cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Judul yang lama dicari-cari, yang ditemukan tanpa sengaja, yang punya rima dan enak dibaca atau dieja, ternyata dipangkas begitu saja saat dimuat di koran. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi malah dimuat dengan judul singkat: Kamar Mandi.

Kemudian beliau menganjurkan hal-hal yang penting dipikirkan sebelum menentukan judul. Pertama, mencerminkan isi cerita. Artinya, judul dipilih karena dianggap mewakili cerita. Kedua, menarik minat pembaca. Dengan kata lain, judul dibuat semenarik mungkin supaya pembaca merasa gatal atau penasaran kalau tidak membaca cerita.

Sebagian peserta mengangguk-angguk, sebagian lainnya sibuk menggaritkan pulpen di atas kertas, sebagian lagi tengah mengetik di gawai. Sepertinya resep keempat ini mewakili kegelisahan setiap peserta. Tanpa terasa, obrolan soal seni menata cerita sudah  hampir satu setengah jam. Saya pun segera mempersilakan penanya terakhir.

Poster elektronik
Poster elektronik

Bentuk penting, isi juga penting. Keduanya mesti diperhatikan. Keduanya saling bantu dalam membangun keutuhan dan kepaduan cerita.

Begitu jawaban Papa Seno atas pertanyaan Daniel tentang mana yang mesti didahulukan di antara bentuk atau isi. Kemudian, pengarang sekaligus akademisi di IKJ tersebut bercerita tentang seorang pengarang yang khawatir pada cerita karangannya sendiri.

Lantaran tidak sanggup menanggung beban pikiran, si pengarang membawa bukunya ke sebuah kafe. Akibat banyak pikiran, manuskrip bukunya tertinggal di kafe. Keesokan harinya ia kembali ke kafe untuk mengambil manuskrip tersebut. Sayang, bukunya diamankan oleh seorang pelayan.

Pengarang itu kembali keesokan harinya. Kali ini ia mujur. Si Pelayan ada, tetapi buku ia pinjamkan kepada temannya. Pelayan itu mengatakan bahwa ia sangat ngeri membaca manuskrip itu, malah sampai termimpi-mimpi.

Keesokan harinya si Pengarang kembali ke kafe. Si Peminjam sudah ada dan mengembalikan manuskrip dengan mata berbinar-binar. Ia juga berterima kasih karena ia dan keluarganya sangat terhibur setelah membaca manuskrip tersebut.

Memang begitulah adanya. Tanggapan seorang pembaca pasti berbeda dengan pembaca yang lain. Kalaupun ada pembaca yang mencaci-caci tulisan kita, tersenyum saja. Tidak perlu sakit hati lalu berhenti menulis. Kendatipun ada pembaca yang memuji-muji tulisan kita, tersenyum saja. Tidak perlu menepuk dada lantas berhenti menulis.

Dan, resep kelima sudah tuntas.

Cacian dan pujian hanya riak kecil di tengah samudra kepenulisan. Tidak perlu terlalu diambil hati, nanti malah makan hati.

Selesai sudah sajian resep menata cerita ala Chef Papa Seno. Peserta kembali melanjutkan materi latihan menulis, sementara beliau pindah ke belakang untuk melayani permintaan tanda tangan dan foto bersama.

Saya tetap dengan gemuruh pertanyaan di kepala yang seperti gumpalan awan ingin segera menumpahkan hujan. Sebagaimana tersebut dalam tulisan saya sebelumnya, Penembak Misterius dan Seno Gumira Ajidarma, saya masih punya tiga pertanyaan untuk beliau.

Pertama, bagaimana nasib Pamuji dan mempertanyakan mengapa belum ada kelanjutan cerpen Bunyi Hujan di Atas Genting. Kedua, bagaimana beliau memindahkan fakta atau peristiwa ke dalam cerita. Ketiga, apakah beliau tidak takut menulis cerita sarat kritik pada orde yang dikomandani oleh seorang tiran.

Sayang sekali, beliau harus segera meninggalkan lokasi kelas. Ada jadwal lain yang harus beliau penuhi. Semoga masih ada kesempatan lain. Semoga Katahati Production kembali berjodoh dengan beliau untuk kelas menulis berikutnya.

Pada akhirnya, terima kasih Papa Seno. []

Amel Widya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun