Alasan Lorenzo Daza, ayahnya, melarang Fermina menerima dan membalas cinta Florentina Ariza, lelaki penyuka biola dan puisi, sangatlah sederhana. Masa depan Florentino amat muram dan tanpa jaminan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan penuh cinta. Fermina dan Florentino akhirnya menjalin cinta diam-diam lewat surat yang disampaikan secara sembunyi-sembunyi.
Namun, Fermina tahu alasan sesungguhnya di balik penolakan ayahnya pada Florentino. Lelaki yang mahir mendeklamasikan puisi itu, yang menggesek dawai biola bagai menyayat hatinya sendiri itu, yang mencintai sastra sebesar cintanya kepada dirinya sendiri itu, adalah putra tunggal seorang pelacur yang sudah tobat dan membuka toko kelontong.
Alasan Lorenzo tersebut ternyata tidak pernah termakan oleh perubahan zaman. Hingga sekarang masih banyak sepasang manusia yang menjalani cinta terkekang, sedikit lebih lunak dibanding cinta terlarang, dan dipaksa takdir untuk menggigit jari dan menelan duka sepanjang hidup.Â
Malahan setelah era sudah secanggih ini, perbedaan status sosial atau agama atau suku masih kerap dijadikan alasan oleh orangtua untuk mengekang cinta anak-anak mereka.
Pada bagian lain Gaby menulis, "Masalah dalam kehidupan bersosial adalah belajar mengatasi ketakutan; masalah dalam kehidupan berumah tangga adalah belajar mengatasi kebosanan."
Gaby sudah melahirkan pernyataan itu jauh sebelum saya lahir, namun kebenaran yang tersurat dalam kalimat tersebut masih berasa hingga hari ini.
Alangkah banyak pasangan yang cinta mereka sangat membara selama masa pendekatan, tetapi berakhir pada episode menjemukan setelah memasuki pernikahan. Sebagian di antara pernikahan menjemukan itu terancam bubar, sebagian kecil malah berantakan dan terpesai-pesai atau tercerai-berai.
Kalimat sakti tersebut diungkap Gaby pada halaman 407 ketika Fermina menemukan rasa bosan menyelimuti rumah tangganya dengan dokter terpandang pilihan ayahnya, pilihannya juga.Â
Pada halaman lain, 427, Gaby menggambarkan kejenuhan itu lewat dialog Dr. Juvenal Urbino ketika mendorong piring berisi makanan. Masakan ini diolah tanpa cinta, katanya. Saat mencerup teh, dokter dari kalangan elite itu mengeluh. Teh ini rasanya seperti daun jendela, katanya.
Ketika saya tiba pada kalimat ini, saya teringat pada percakapan dengan Ibu. Kata Ibu, perempuan harus mahir memanjakan lidah lelakinya. Percakapan itu kemudian saya tumpahkan ke dalam puisi yang berjudul Tungku Berahi di Dapur Ibu.
Ketika fajar menyingsing, ketika suaminya masih meringkuk memeluk lutut, Fermina menggerutu. Kebiasaannya mengendus pakaian yang baru dipakai suaminya ternyata mengantarnya pada kenyataan pahit.Â