Inilah novel cinta sepanjang masa. Sebuah kisah cinta abadi melintasi abad dalam emosi-emosi yang sangat unik, sekaligus paling kuat yang bisa dirasakan oleh manusia, di balik fragmen demi fragmen tentang cinta dan keniscayaan yang menghanyutkan.
Begitu keterangan pembuka di sampul belakang. Saya terbiasa membaca sinopsis atau simpulan kisah di sampul belakang, sebab di situlah saya dapat mereka-reka atau menerka-nerka apakah sebuah novel menarik atau tidak untuk dibaca, meskipun saya paham bahwa sinopsis di sampul belakang adalah bagian dari promosi untuk memancing hasrat para pembeli buku.
Dua hari lalu saya kembali membaca novel setebal 672 halaman tersebut. Kemudian, terlintas pikiran untuk menulis ulasan atas hasil pembacaan itu. Maka, mengalirlah tulisan ini.
Meski sudah tiga kali membacanya, sensasi yang saya rasakan ketika pembacaan pertama pada 2010 dan pembacaan kedua pada 2014 masih sama. Tidak berbeda, tidak berubah. Kekuatan narasi, jalinan alur, dan ketegangan konflik masih membetot mata saya hingga akhir kisah.
Gaby, yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa, mengisahkan berbagai bentuk cinta di dalam novel ini.Â
Ada cinta monyet, cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta platonik, cinta membosankan dalam sebuah pernikahan, cinta yang marah, cinta yang berhias api cemburu, cinta yang berbahaya, cinta yang terkekang, cinta jarak jauh, cinta yang berselingkuh, cinta yang berlangsung sesaat dalam satu persanggamaan saja, dan diakhiri dengan cinta yang bertahan hingga usia senja.
Gaby menulis dalam Cinta Sepanjang Derita Kolera, "Orang-orang tercinta seharusnya membawa serta semua miliknya ketika mereka mati."
Kalimat itu dirangkai Gaby jauh sebelum saya lahir. Namun, kebenaran yang tersirat dalam kalimat tersebut masih terasa hingga sekarang. Tidak bisa dimungkiri, kehilangan karena kematian selalu menyisakan sesak berkepanjangan bagi yang ditinggalkan.
Kenangan atas orang yang meninggal bisa muncul dari pelbagai pintu: pakaian, bau keringat, kebiasaan remeh, lagu kesukaan, buku favorit, atau apa saja. Ketika kita melihat peninggalan-peninggalan tersebut, kenangan pada yang sudah pergi serta-merta mencuat dan menguat. Makin ditahan makin mencuat, makin ditekan makin menguat.
Kalimat itu tercantum di halaman 95 dalam bagian ketika Fermina Daza, si tokoh perempuan yang dicintai dua lelaki, menyaksikan kematian suaminya, Juvenal Urbino, ketika usianya kian senja.
Kalimat tentang kuasa kenangan pada yang sudah pergi tersebut muncul karena kehadiran lelaki lain semasa Fermina masih perawan, semacam cinta remaja yang kuat dan menggairahkan, namun terhalang karena tidak disetujui oleh orangtua Fermina.