Dulu aku menyusu di payudara ibumu. Begitu kehendak takdir. Kita tumbuh dari air susu yang sama. Padahal, aku tidak pernah memohon kepada Tuhan agar ibumu menjadi ibu susuku. Aku juga tidak pernah berdoa agar kita menjadi saudara sesusuan. Kita menangis dan tertawa bersama. Kita bahagia dan terluka bersama.
Entah bagaimana mulanya, diam-diam cinta menyusup ke dalam dada kita. Kala itu, usia kita menjelang remaja. Tiga belas tahun. Lehermu sudah berjakun, dadaku mulai tumbuh susu.Â
Tiap berjauhan denganmu, serasa ada yang kurang dalam diriku. Tiap kauabaikan pesan pendekku, dadaku serasa dihantam palu. Tiap kuprotes kepadamu, kamu malah mencebik. Meledek. Seakan-akan perasaanku bukan sesuatu yang penting bagimu.
Aku masih ingat hari ketika pertama kali kutegur kamu karena seharian aku tidak menemukanmu.
"Kenapa kaumatikan ponselmu?"
Kamu cengengesan. "Lagi ujian!"
"Bisa kaubalas saat istirahat, kan?"
"Takut konsentrasiku buyar."
"Jadi selama ini aku hanya mengganggumu?"
Kamu menggeleng. "Aku suka bibirmu kalau sedang merengut."