Kamu menatapku. Lembut sekali. Tetapi bibirmu tidak mendarat di keningku. Matamu digenangi air. Lalu kamu menoleh seakan-akan menyembunyikan tangis dariku. Padahal aku tahu kamu sedang menyimpan sesuatu. Aku tahu kamu sedang merahasiakan sesuatu.
"Katakan sekarang," cecarku tanpa ampun.
Kamu menghela napas. "Karena dalam darah kita mengalir susu yang sama maka haram bagi kita hidup bersama dalam satu rasa. Kita cuma titik embun di daun yang bergulir jatuh ke tanah tanpa jejak basah."
"Maksudmu?"
"Cinta kita cinta terlarang!"
"Mestinya agama tidak memenjara dua hati yang saling mencinta."
"Tabu bagi kita mengisap tebu pelaminan."
Dulu aku menyusu di payudara ibumu. Begitu garis takdir. Pada mata ibumu kamu larikan perih nasib, pada matamu aku menyembunyikan pedih cinta. Ada duka membayang di matamu, ada luka mengembang di mataku. Luka yang mencucup air mata di pipiku, duka yang mencecap getir di sudut bibirmu.
Kemudian tibalah hari yang paling ingin kulupakan sekaligus paling sulit kulakukan. Kamu mengajakku duduk di beranda rumahmu. Kamu membisu selama beberapa menit, sedangkan aku menunggu saja. Kamu ingin aku tetap di sampingmu. Aku tahu itu dari caramu menatapku.
Suaramu sangat pelan ketika kamu bertanya. "Masih ingat Dubai?"
"Kota yang ingin kita datangi bersama."