"Mengunjungi bangunan yang kita sempat bayangkan akan menyeruput teh di lantai seratus enam puluh atau berdoa pada ketinggian enam ribu meter biar Tuhan lebih mendengar permintaan kita?"
"Aku harus pergi, Alzena Mehrin!"
Aku terpana. Tidak pernah kausebut namaku selengkap itu kecuali kamu sedang marah atau terluka. "Kamu tidak boleh ke mana-mana, Denish Farshad!"
"Aku tidak bisa membohongi diriku. Aku ingin menikahimu, tetapi itu mustahil terjadi."
"Kita bisa tetap bersama tanpa harus menikah."
Kamu menggeleng-geleng.
"Tidak ada alasan. Kamu tidak boleh pergi."
Dulu aku menyusu di payudara ibumu. Begitu alir takdir. Orang-orang menyangka kamu ke kota megapolitan, yang kerap kita bincangkan, demi meraup rezeki. Andai kamu tahu, ada yang berderak di dadaku.
Aku tidak tahu bagaimana bisa kamu memilih pergi, menjauh, menjauhiku, menjauh sejauh-jauhnya, hanya gara-gara ngilu sendu. Kamu sakiti hatimu sendiri. Kamu lukai hatiku. Mana mampu kita membendung banjir rindu. Pohon cinta di dada kita tumbuh rimbun dan rindang.
Aku sedih membayangkan kamu berangkat sendiri. Kupalingkan dukaku dari matamu sesaat sebelum pesawat membawamu pergi. Pukul dua dini hari kamu tergugu di pelukan ibumu, pukul dua dinihari aku tersedu di pelukanmu. Aku tidak tahu kapan kamu akan kembali. Aku tidak tahu kapan kamu kembali untuk mengecup keningku.