Saya masih gugup. Padahal saya ingin sekali menanyakan bagaimana nasib Pamuji dan mempertanyakan mengapa belum ada kelanjutan cerpen Bunyi Hujan di Atas Genting.
Saya ingin pula menanyakan bagaimana beliau memindahkan fakta atau peristiwa ke dalam cerita. Saya ingin mempertanyakan apakah beliau tidak takut menulis cerita sarat kritik pada orde yang dikomandani oleh seorang tiran.Â
Tetapi rasa gugup menguapkan nyali dan pertanyaan-pertanyaan yang saya susun sebelum menemui beliau akhirnya tidak berarti apa-apa.
Memang saya tidak gagap ketika menjawab pertanyaan beliau "apa yang dapat saya bantu", tetapi rasa gugup masih terasa. Entah mengapa, tawa lepas beliau membuat saya berasa tenang.Â
Mengalirlah cerita tentang Kelas Menulis Fiksi yang digelar oleh Katahati. Dan, gugup kembali melanda hati tatkala saya meminta kesediaan beliau untuk menjadi pemateri.
Empat tahun menanti akhirnya terbayar tunai. Setengah jam di ruangan beliau ternyata sungguh menyenangkan. Percakapan ringan berakhir sesuai harapan. Beliau setuju mengisi materi di Kelas Menulis Fiksi dengan tema Seni Menata Cerita.
Kemudian saya tergelitik untuk membuka jendela, menengok ke kanan, menatap mulut gang, dan berharap semoga tidak ada mayat bertato yang tergeletak di situ.
Saya tetap menyanyikan lagu Ibu Sud ketika dada saya bergemuruh. Pada akhir Agustus nanti, saya akan menjadi moderator dan duduk di samping Papa Seno--yang bertindak selaku pemateri. Akan tersedia banyak waktu bagi saya untuk menanyakan banyak hal kepada beliau.
Ah, tidak. Saya ingin menanyakan satu hal saja. Apakah Pamuji dan Sawitri bertemu lagi?
Amel Widya