Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Penembak Misterius dan Seno Gumira Ajidarma

9 Agustus 2018   11:30 Diperbarui: 24 Agustus 2018   20:43 1875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang yang semula dikungkung oleh rasa takut lalu merasa bebas lepas karena yang ditakuti sudah mati, kemudian kehilangan cinta kasih--sesuatu yang tadinya terasa sangat jelas dan mereka junjung tinggi--menjadi asing dan meninggalkan hati nurani mereka. Persis seperti yang disitir Heidegger. Dalam rasa cemas, seseorang mengalami eksistensinya yang lain.[1]

Sekalipun begitu, saya lebih tertarik pada kesunyian Sawitri. Ia perempuan yang setia pada kasih sayang. Ia tidak menyumpahi, mencaci maki, apalagi menghina dina si mayat. Ia bertahan di dalam rumahnya dan mengenang-ngenang gambar yang dirajah pada tubuh mayat-mayat.

Sawitri merasa nasib mereka lebih buruk dari binatang yang disembelih. Mayat-mayat itu tergeletak di sana dengan tangan dan kaki terikat jadi satu ... Lubang-lubang peluru membentuk sebuah garis di punggung dan dada, sehingga lukisan-lukisan tato yang indah itu rusak.

Sawitri kadang-kadang merasa penembak orang bertato itu memang sengaja merusak gambarnya. Sebenarnya mereka bisa menembak hanya di tempat yang mematikan saja, tetapi mereka juga menembak di tempat yang tidak perlu.

Mata saya tetap berkelana dari kata ke kata, dari kalimat ke kalimat, hingga tiba di akhir cerita. Saya ingin bangkit dan berjalan ke luar kamar, tetapi punggung saya seakan terpacak ke kasur. Bunyi hujan di luar kamar begitu deras. Titik hujan di genting begitu derau.

Begitulah pengalaman saya berjumpa untuk kesekian kalinya dengan Papa Seno. Tidak. Papa Seno tidak sekadar mengisahkan kepedihan Sawitri yang kehilangan Pamuji, tetapi sekaligus mengeluhkan sikap penembak misterius yang main dor begitu saja seolah-olah nyawa preman bertato sama sekali tidak berharga.

Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Ingatan saya menyimpan dengan baik enam kata itu. Papa Seno yang mengatakannya, beliau pula yang melakukannya. Semacam satunya kata dan tindakan. Semacam menyatunya kata dan karya. Beliau tetap berbicara lewat sastra.

Bagi saya, membaca sebuah cerpen berarti menyelami tanggapan si cerpenis terhadap sesuatu. Dengan kata lain, cerpen merupakan tanggapan seorang cerpenis terhadap dunia di sekitarnya. Adapun Bunyi Hujan di Atas Genting merupakan tanggapan Papa Seno atas "si petrus".

Empat tahun lalu, setelah merampungkan Bunyi Hujan di Atas Genting, saya ingin sekali bertemu langsung dengan Papa Seno. Ya, bertemu langsung. Dua hari lalu, Selasa (7/8/2018), harapan empat tahun lalu itu dikabulkan oleh kenyataan.

Akhirnya saya bisa bertemu beliau, menyalami tangan beliau, bercakap-cakap dengan jarak hanya dibatasi sebuah meja, dan saya gugup sekali. Hawa sejuk di ruangan beliau di gedung rektorat IKJ ternyata tidak membantu apa-apa. Tetap saja keringat dingin menitik di kening saya.

Padahal, saya punya aneka rupa pertanyaan buat Papa Seno. Ceritakanlah padaku tentang ketakutan. Saya ingin seperti Alina menanyakan hal sama kepada Papa Seno, tetapi saya tidak bisa berkata apa-apa hingga lima menit pertama berlalu. Saya lebih banyak menunduk dan mendengar kata-kata beliau yang mengalir seperti air. Saya suka tawa lepasnya. Sejuk dan menyejukkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun