Mereka berteriak-teriak sambil mengerumuni mayat yang tergeletak itu meskipun kadang-kadang hujan belum benar-benar selesai dan anak-anak berteriak hore-hore.
"Lihat! Satu lagi!"
"Mampus!"
"Tahu rasa dia sekarang!"
"Ya, tahu rasa dia sekarang!"
"Anjing!"
"Anjing!"
Kadang-kadang mereka juga menendang-nendang mayat itu dan menginjak-injak wajahnya. Kadang-kadang mayat itu mereka seret sepanjang jalan ke kelurahan sehingga wajah orang bertato itu berlepotan lumpur karena orang-orang kampung menyeret dengan memegang kakinya.
Bayangkan bagaimana orang-orang yang semula takut dan ngeri melihat preman, tiba-tiba bisa berpesta pora merayakan kemerdekaan dengan menendang-nendang atau menyeret-nyeret mayat "si juru ancam" yang selama ini menghantui hidup mereka.
Bayangkan bagaimana orang-orang kampung memperlakukan mayat dengan sesuka hati selayaknya mereka memperlakukan mainan, menjadikannya tontonan dan bahan cemoohan, lalu mensyukuri hilangnya nyawa orang lain.
Bayangkan bagaimana rasa kemanusiaan orang-orang terkikis dan tergantikan oleh kebencian, sampai-sampai mereka menyeret-nyeret sepasang kaki mayat di sepanjang jalan menuju kelurahan. Mereka abai pada belas kasihan. Mereka tidak peduli pada kemungkinan si mayat punya keluarga, bisa istri bisa anak.