Pada akhir tahun 2020 dalam  menyikapi terhambatnya penerapan sanksi pidana tembahan tentang kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah NOMOR 70 THUN 2020 yang mengatur tentang Teknis Pelaksanaan Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap anak.
Tidak hanya di Indonesia terjadi mengenai pro dan kontra mengenai tindakan kebiri kimia. Penggunaanya sejak penggunaanya pertama kali di tahun 1944 yang diberikan pada patologis untuk mengurangi perilaku seksual, pada tahun 1960 dokter asal Jerman menyuntikkan anti endrogen dalam upaya untuk menggekangperilaku menyimpang paraphiliac laki-laki, tahun 1966 pemberian medroxyprogesteron acetate dalam rangka pengobatan pelanggar seks yang sedang dalam terapi umtuk perilaku pedofil dengan putranya yang berusia enam tahun (Charles L Scott, MD and Trent Holmberg, MD, 2003). Melihat dari hal tersebut bahwa chemical castration telah diterapkan
NegaraRepublik Indonesia bukan negra yang menggunakan  kebiri kimia sebagai hukuman atau perlakuan bagi pelanggar sekai sual. Beberapa negara pun sudah mengizinkan pengggunaan kebiri kimia sebagai sanksi pelanggar kekerasan seksual. Â
Pada 1996 California sebagai negara bagian pertama di Amerika Serikat yang menggunakan kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual yang berulang kali sebagai syarat pembebasan bersyarat.Â
Keputusan ini pada akhirnya diikuti oleh negara bagian lainnya, seperti Georgia, Jowa, Lousiana dan Montana. Pada tahun 2011, kebiri kimia diterapkan terhadap pelaku seksual dengan korban anak-anak dibawah usia 14 tahun (The Print, Tuesday, 23 February 2021).
Kondisi yang sangat memprihatinkan tentang perkembangan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dan pro kontra penerapan sanksi kimia terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak inilah yang akan menjadi fokus analisis dalam essay ini.Â
Apakah sanksi kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak adalah sanksi yang progresif dalam upaya pencegahan anak sebagai korban kekerasan seksual dan mencegah pelaku kekerasan seksual untuk mengulangi lagi kembali perbuatannya atau justru kebali kepada masa penerapan sanksi pada masa prmitif yang lebih mempriotaskan pada unsur pembalasan
Pemidanaan merupakan konsekuensi logis terhadap pelaku tindak pidana. Pemidanaan memiliki dimensi tujuan yang ingin dicapai dari jenis pidana yang dijatuhkan.Â
Seiring dengan perkembangan kejahatan pemidanaan pun juga berkembang dari waktu ke waktu. Lembaga yang berwenang menjatuhkan pidana melalui prosedur yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang. Perkembangannya teori pemidanaan berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dari penerapan pidana tersebut.
Dari waktu ke waktu, teori hukum pidana berkembang. "Teori pemidanaan yaitu teori retributif, teori relatif (deterrence/utilitarian), teori integratif, teori treatment/tindakan dan teori perlindungan sosial (social defence)" (Dwija Priyanto, 2009). Teori ini adalah pengembangan dari teori klasik.Â
Seiring dengan perubahan jenis snksi dan falsafah penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana, perkembangan teori tersebut berubah. Teori klasik pemidanaan terbagi menjadi teori pembalasan / retributif, teori tujuan dan teori gabungan.