Di kala mentari datang menyapa, sinarnya merambat pada setiap celah sudut. Di ujung Desa terdapat rumah sederhana yang terbuat dari kayu. Rumah ini sudah cukup tua namun masih layak dihuni.  Aldo tinggal di rumah ini bersama neneknya, pasalnya ayahnya sudah meninggal saat  berusia tujuh tahun. Hal ini membuat ibunya terpaksa bekerja demi menafkahi keluarganya.
Di Minggu pagi yang cerah, suara gemercik air terdengar di bilik kamar mandi. Tak lama Aldo keluar menggunakan baju dengan rambut tersisir rapi, menandakan siap memulai harinya. Saat menyusuri ruang tamu, ia bertemu neneknya yang sedang duduk.
"Nek, aku pergi main dulu ya," kata Aldo dengan tersenyum. Walau hanya tinggal bersama neneknya, senyum Aldo terukir dengan kuat di wajahnya, menolak luntur.
Tentu saja, Nenek Aldo merasa senang atas keceriaan cucunya dan menjawab, "Ini masih pagi, bukankah kamu belum sarapan?"
"Nanti sajalah, Nek. Aku mau bermain," jawab Aldo cepat, lalu berlari keluar menuju lapangan.
Di dalam lapangan, terdapat beberapa anak yang berkumpul. Terlihat salah satu dari anak tersebut menangis.
Dengan heran, anak berkuncir dua bertanya, "Mengapa kamu menangis Rina?"
"Ayahku belum lama ini pulang setelah tiga Minggu lamanya di luar kota," jawab Rina dengan tersedu-sedu.
"Lantas, apa yang membuatmu menangis? Bukankah kau seharusnya senang dengan kedatangan ayahmu?" tanya salah satu teman lainnya.
"Aku mengajaknya bermain, namun ia malah menghiraukan. Tak hanya itu, keesokan harinya ia langsung pergi keluar kota tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku. Kurasa ia sudah tak menyayangiku," kesah Rina dengan sedih. Tak lama air keluar dari kedua matanya.
"Mengapa kamu begitu sedih akan masalah remeh itu? Lihatlah aku walau ayahku telah meninggal, tapi aku tidak nangis sama sekali tuh," sebut Aldo dengan bangga, lalu melanjutkan, "Jadi, lebih baik kita bermain saja."
Raisa yang marah menyela, "Ada apa denganmu! Kita seharusnya mendukung Rina yang sedang sedih, bukan membanding-bandingkan. Pergilah jika kamu ingin bermain, bermain sendiri saja!"
"Baik. aku akan pergi!" ucap Aldo sambil mendengus dan meninggalkan teman-temannya, melangkah pergi.
Ia pulang ke rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dengan wajah kesal, ia duduk di kursi.
"Kenapa kau pulang begitu cepat, Nak?" tanya nenek heran. Doni yang kesal menghiraukan pertanyaan neneknya.
"Apa kamu mau sarapan?"
"..."
"Baiklah jika kamu tidak mau menjawab, maka nenek akan diam saja."
"Begini Nek, Tadi aku ke lapangan. Sesampainya di sana aku melihat Rina menangis. Setelah ditanyai, Rina mengatakan bahwa ia menangis karena merasa ayahnya tidak menyayanginya lagi. Aku pikir itu alasan remeh untuk menangis, jadi aku bilang untuk bermain saja. Namun, bukannya memulai permainan, teman-teman lain malah memarahi karena alasan tak jelas," jelas Aldo dengan cepat, ekspresi marah terpancar dari wajahnya.
"Baiklah, kalau begitu kita sarapan dulu. Nenek sudah membuat telur dadar dengan kecap di atasnya," jawab nenek dengan lembut, mencoba menenangkan Aldo.
"Baiklah," jawab Aldo singkat, karena masih merasa kesal dengan kejadian di lapangan tadi.
waktu berlalu kini perut Aldo telah terisi dengan makanan yang lezat. Dengan sukarela Aldo mulai mencuci piring untuk membantu neneknya yang duduk tenang di kursi. Setelah selesai membersihkan piring-piring tersebut, Aldo mengelap tangannya yang basah ke kain lap di sebelahnya. Tiba-tiba suara lembut nenek memanggilnya dari kursi.
"Aldo, kemari Nak."
"Ada apa Nek?" tanya Aldo dengan heran.
"Bawakan baskom dan gelas yang berisikan air, Nak."
Walau heran, Aldo menjalankan perintah neneknya, sementara nenek mengambil sebungkus garam.
Aldo memandang neneknya, seolah menanti petunjuk selanjutnya. Sementara neneknya duduk di atas lantai berkarpet, sambil mengarahkan pandangannya ke depan, memberikan isyarat jelas untuk meletakkan baskom dan gelas di sana.
Dengan hati-hati, tangan keriput menjumput segenggam garam dan meletakkannya di baskom, lalu mengambil lagi dan menaburkannya ke dalam gelas. Dengan tatapan heran, Aldo bertanya-tanya dalam benaknya. Tiba-tiba, nenek menoleh ke arahnya lalu mengatakan.
"Apakah kamu ingin mencicipi ini?"
Aldo menatap jijik pada hidangan di depannya lalu mengucapkan, "Tidak! Terima kasih."
"Baiklah jika kamu tidak mau, maka amatilah. Perbedaan pada air pada kedua wadah ini, ketika diberi garam," kata nenek dengan lembut, menatap ke depan.
"Airnya menjadi keruh," jawab Aldo mantap, lalu diam mengamati dan melanjutkan, "Air pada gelas lebih keruh daripada pada baskom."
"Bagus sekali jawabanmu, sekarang ikuti nenek," ucap nenek seraya bangkit dan melangkah menuju halaman belakang.
Di belakang halaman, terdapat sebuah kolam yang cukup dalam. Beberapa ikan koi berenang di dalamnya. Nenek berjongkok di pinggiran kolam, ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh air. Namun ketika ia mendekat, ikan-ikan itu berenang menjauh merespons kehadiran seseorang.
" Tuangkan sisa garam tadi kedalam kolam," perintah nenek sambil menyerahkan sisa garam dalam bungkusan. Tangan Aldo meraih bungkusan tak lama ia menuangkan semua garam nya kedalam kolam, tatapan nya melekat pada genangan di hadapannya.
"Apakah ada yang berubah?" Tanya nenek tiba tiba tiba membuat kefokusan Aldo pecah dan menoleh ke arahnya.
"Tidak ada yang terjadi airnya tetap jernih" ucap Aldo sambil memandang kedepan.
Nenek menoleh kearah kumpulan ikan yang menari di genangan air lalu berbicara "jadi apa kesimpulannya? "
Aldo diam sejenak lalu membuka mulut "ketika wadahnya semakin besar, maka garam yang ditaburkan tidak akan membuatnya keruh."
Nenek tersenyum  dan berkata " Sama seperti air yang melambangkan hati manusia, pengalaman sebagai wadah, dan masalah sebagai garam. Setiap individu memiliki perjalanan hidup yang unik, membentuk ukuran hati mereka sesuai dengan pengalaman yang mereka alami, respons terhadap masalah pun beragam. Seperti baskom dan gelas, setiap orang memiliki ukuran hati yang berbeda, sehingga cara mereka menanggapi masalah juga berbeda. Sebuah masalah yang sepele bagi satu orang, mungkin besar bagi yang lain. Oleh karena itu, bijaklah untuk tidak membandingkan permasalahan yang dihadapi orang lain dengan yang kita alami."
Aldo merenung dengan memandang ikan yang menari di depannya.
Nenek meletakan tangannya di bahu cucunya sambil tersenyum dan mengatakan "mari masuk dahulu, Â jangan lupa minta maaf pada teman teman mu besok."
Aldo menengok ke arah neneknya, tatapan halusnya mengisyaratkan kekhawatiran yang dalam. Saat matahari terik diatas kepala, kaki mereka perlahan bangkit dan mulai melangkah maju dengan tangan yang terjalin kuat. Memasuki sebuah bangunan tua yang mereka sebut rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H