HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Amadhea Rahmadani Assittah (212121047 - HKI 4B)
Â
BOOK REVIEW
Judul          : Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
Penulis        : Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih
Penerbit       : Gama Media Yogyakarta
Tahun Terbit  : 2017
Cetakan       : Pertama
      Â
Buku Tulisan Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih (selanjutnya penulis) yang berjudul "Hukum Perkawinan Islam di Indonesia" mendiskripsikan dengan lengkap dan rinci tentang hukum yang mengatur bagaimana hukum perkawinan Islam di Indonesia, mulai dari sejarah hukum perkawinan di Indonesia, proses menuju perkawinan, pelaksanaan perkawinan, berakhirya perkawinan, hingga kajian mengenai permasalahan hukum perkawinan masa kini.Â
Oleh karena itu pengkajian hukum perkawinan Islam dalam buku ajar ini akan menitikberatkan persoalan perkawinan dengan mendasarkan pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang kemudian akan ditambahkan dengan kajian perkawinan Islam kontemporer. Hal ini menjadi penting, karena konteks buku ajar ini memang diperuntukan bagi mereka mahasiswa program studi ilmu hukum di fakultas hukum
Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia
      Hukum perkawinan di Indonesia sendiri pada awalnya terjadi pluralisme peraturan tentang perkawinan,1 hal ini bahkan terjadi setelah Indonesia merdeka. Terdapat 5 kategori ketentuan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai masalah perkawinan bagi warga di Indonesia. Kategori itu didasari atas 3 golongan penduduk seperti golongan eropa, golongan timur asing, golongan pribumi yang kemudian dibagi menjadi :
- Hukum perkawinan bagi golongan eropa dan timur asing
- Hukum perkawinan bagi golongan pribumi dan timur asing yang memeluk agama Islam
- Hukum perkawinan bagi golongan pribumi yang memeluk agama kristen
- Hukum perkawinan bagi golongan bukan pemeluk agama Islam maupun kristen
- Hukum perkawinan bagi golongan yang melakukan perkawinan campuran
Terhadap pluralisme hukum diatas, menjadi suatu persoalan bagi masyarakat pribumi yang menuntut adanya perubahan terhadap pengaturan masalah perkawinan. Hal ini penting untuk menjaga agar perilaku asing tidak masuk kepada warga pribumi dan mempengaruhi budaya perkawinan warga pribumi khususnya yang beragama Islam.Â
Singkat cerita, Presiden Republik Indonesia mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan dengan no. R.02/PU/VII/1973 tertanggal 31 Juli tahun 1973 untuk disampaikan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Upaya ini tidak luput karena melihat gerakan masyarakat, yaitu maraknya gerakan dan saran-saran pemikiran oleh masyarakat Indonesia yang peduli pada materi hukum perkawinan yang kebanyakan adalah organisasi Perempuan Islam.
Rancangan Undang-Undang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah ternyata secara garis besar masih mengutip dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgelijk wetbook). Bahkan ada beberapa pasal yang secara jelas rumusanya hanya menterjemahkan dari burgelijk wetbook dan Huwelisk ordonantie christen inlanders.
Itu semua memancing pertentangan dari para ulama dan masyakat Indonesia khususnya umat Islam bahwa RUU itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat (1) tentang kebebasan beragama. Pertentangan didasari atas materi norma pada RUU Â perkawinan yang jauh keluar dari konsep yang ada pada Al-Quran. Materi yang dimaksud secara garis besar adalah tentang norma perkawinan dan waris, perkawinan beda agama, pengaturan mengenai anak angkat, masa iddah bagi perempuan, larangan poligami, dan larangan mengawini saudara.
      Terhadap pertentangan itu, maka diambil beberapa kesimpulan untuk bisa mengakomodir kepentingan umat islam di Indonesia yang isinya terdiri :
- Hukum agama Islam mengenai perkawinan tidak akan diubah atau dikurangi dengan segala sistem pelaksanaannya;
- Norma yang bertentangan dengan kaidah islam dihilangkan;
- Rumusan pasal 2 disetujui dengan bunyinya" Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku"
- Pelaksanaan perkawinan, perceraian, dan poligami harus diatur untuk mencegah tindakan sewenang-wenang
      Pada akhirnya RUU perkawinan dapat disahkan pada 2 Januari 1974 melalui forum paripurna Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan pemerintah Indonesia dengan nama Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara kongkrit Undang-Undang Perkawinan ini baru dapat diterapkan apabila peraturan pelaksanaannya sudah ada. Baru pada tahun 1975 pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan efektif berjalan ketika Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah ada. Sejak adanya peraturan perundang-undangan ini, maka segala ketentuan mengenai perkawinan yang sebelumnya ada menjadi tidak berlaku lagi sepanjang tidak diatur secara khusus.
      Pengaturan hukum perkawinan tidak berhenti pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tetapi persoalan perkawinan diatur juga pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Persoalan perkawinan yang ada pada KHI ini lebih kepada pegangan para hakim di lingkungan Pengadilan Agama.9 Lahirnya KHI ini didorong sebuah kebutuhan teknis yudisial yang dimana Mahkamah Agunng sebagai penanggung jawab peradilan di indonesia. Dengan keberadaan KHI, maka kebutuhan teknis yudisial peradilan agama dapat dipenuhi
      Kompilasi Hukum Islam telah dirancang sejak berdirinya Pengadilan Agama pertama kali pada tahun 1957 yaitu tepatnya sejak dibentuk PP tentang pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah diluar jawa dan madura melalui Peraturan Pemerintah No. 1945 Tahun 1957. Pada PP ini semua hakim dianjurkan untuk menggunakan kitab fiqih yang telah dianjurkan oleh pemerintah sebagai pedoman memeriksa dan memutus perkara.
      Materi yang ada pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) lebih terkait pada persoalan hukum perkawinan, kewarisan, dan hukum perwakafan. Saat ini KHI sering disebut dengan fiqih ala Indonesia yang disusun mengikuti kondisi dan kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia. KHI ini bukan pembentukan mahzab atau aliran baru dalam pemahaman hukum Islam, tetapi ini lebih kepada menyatukan (unifikasi) berbagai mahzab yang ada di Indonesia guna menyatukan persepsi para hakim di Pengadilan Agama. Lahirnya KHI ini secara yuridis diwadahi oleh Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991.
 Secara kesimpulan Yahya Harahap mengungkapkan bahwa pembentukan KHI ini merupakan upaya untuk mempositifkan hukum Islam di Indonesia.Â
Penulis sendiri berpendapat bahwa kehadiran KHI ini tidak hanya mencerminka hukum islam, tetapi juga menyesuaikan dengan kondisi di masyarakat Indonesia. Walaupun KHI dibuat berdasarkan hukum Islam, tetapi penyusunan mengenai hukum perkawinan tetap mengacu pada hukum perkawinan yang pernah ada seperti halnya mengacu pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1946, Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 Tentang pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk untuk wilayah Jawa Madura dan untuk wilayah Jawa Madura, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Artinya KHI ini tetap menjabarkan persoalan perkawinan dengan merujuk pada Undang-Undang perkawinan yang sudah ada.Â
Oleh karena itu dengan keberadaan KHI jelas segala pendapat ulama yang dulunya hanya ada pada kitab fiqih menjadi hukum Islam yang dipositifkan di Indonesia. Indonesia adalah negara hukum, konsekuensi dari negara hukum adalah setiap tindakan yang menimbulkan akibat hukum harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi hukum.
Pengertian Perkawinan
      Dijelaskan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Undang-Undang ini tidak hanya mengatur masalah hubungan perdata saja, tetapi peraturan ini menjadi dasar hukum yang sangat erat kaitannya dengan hak-hak dasar seorang anak manusia, atau lebih kepada perikehidupan masyarakat sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hak yang melekat pada konstitusi berkaitan pada ketentuan pada pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 tentang hak dasar untuk membentuk suatu ikatan perkawinan.Â
Rumusan dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada pasal 1 adalah : "perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang Wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian ini tidak jauh berbeda dari pengertian yang didefinisikan didalam ajaran Islam, yaitu didefinisikan dengan akad yang kuat antara laki-laki dan perempuan demi mewujudkan ketentraman dan kebahagiaan hidup keluarga dengan diliputi penuh rasa kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT"
Sejalan dengan definisi diatas, pengertian perkawinan menurut Islam dijelaskan didalam bab Dasar-dasar perkawinan pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan "perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakah ibadah" Ditambahkan pada pada pasal 3 tujuan dari perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Artinya secara islam, pengertian perkawinan ditambahkan dengan kata akad mitssaqan ghalidzan yang pada prinsipnya adalah ungkapan dari ikatan lahir batin. Ikatan yang dibuat antara laki-laki dan wanita secara lahir batin yang mengandung makna bahwa perkawinan tidak sekedar hubungan keperdataan semata, melainkan perjanjian yang lebih sampai kepada dasar ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari pengertian perkawinan pada pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dapat diketahui bahwa pengertian perkawinan perbuatan yang dimana subyek dan obyeknya diatur jelas oleh undang-undang berdasarkan pada perintah agama. Perkawinan sendiri mempunyai efek yang luas bagi mereka yang melangsungkannya tidak hanya bagi mereka saja tapi juga bagi agamanya
Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 terdapat pada pasal 1 yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Secara pengertian, rumusan pada pasal 1 Undang-Undang Perkawinan sudah dipaparkan pada bab pengertian perkawinan sebelumnya. Pada konteks bab tujuan perkawinan, akan diulas lebih kepada tujuan perkawinan sebagaimana ajaran Islam. Melihat pada Kompilasi Hukum Islam, tujuan perkawinan dirumuskan pada pasal 3 KHI yaitu mempunyai tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahma.
Bila diperhatikan rumusan mengenai tujuan perkawinan sedikit berbeda antara Undang-Undang Perkawinan dan KHI, tetapi perbedaan itu sesungguhnya hanya pada keinginan dari perumus supaya dapat memasukkan unsur-unsur mengenai tujuan perkawinan. Artinya perbedaan itu bukan untuk memperlihatkan sebuah pertentangan didalam tujuan perkawinan, melainkan lebih memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam tujuan perkawinan.
      Perkawinan adalah perintah agama, setiap perintah agama adalah bagian dari ibadah setiap makhluk Allah SWT kepada penciptanya. Perintah Allah SWT mengenai perkawinan telah dipaparkan penulis pada bab sebelumnya. Sebuah perintah Allah SWT kepada hambanya tentu tidak sekedar perintah, melainkan ada tujuan mulia atas perintah itu. Tujuan yang mulia dari perkawinan adalah menjadikan keluarga yang bahagia. Keluarga yang bahagia itu adalah keluarga yang mencapai sakinah, mawaddah, dan Rahmah ketiga hal ini merupakan suatu keniscayaan yang sepatutnya tercapai
      Dalam hal perkawinan, Allah SWT memerintahkan hambanya tentu ada tujuan yang perlu dipahami oleh manusia tentang tujuan perkawinan. Adapun tujuan dari sebuah perkawinan dapat diulas dari beberapa gambaran ayat Suci Al-Qur'an seperti :
- Untuk membentuk keluarga sakinah dan keturunan
- Untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat
- Untuk menciptakan rasa kasih sayang
- Untuk melaksanakan ibadah
- Untuk pemenuhan kebutuhan seksual
- Â Â Â Â Â Â Prinsip yang ada pada perkawinan Sebuah perkawinan tentu memiliki prinsip yang harus dicapai agar terwujud perkawinan yang sesuai dengan tujuan. Mengingat tujuan sebuah perkawinan adalah membetuk rumah tangga yang kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa dengan terwujudnya sakinah, mawadah, dan rahmah maka itu semua memerlukan pijakan prinsip yang kuat. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak merumuskan prinsip mengenai perkawinan secara detail. Pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 hanya ada satu pasal yang jelas mengatakan perkawinan itu berazaskan monogami. yang perlu diperhatikan dalam perkawinan disamping pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, ada beberapa pendapat lain didalam islam tentang prinsip yang diperlukan yaitu :
- Prinsip untuk memilih jodoh yang tepat
- Prinsip mengawali dengan khitbah (peminangan)
- Prinsip menghindari larangan dalam perkawinan
- Memenuhi syarat tertentu
- Sukarela/persetujuan
- Ada saksi
- Memberikan mahar
- Prinsip kebebasan untuk mengajukan syarat
- Bertanggung jawab
- Melakukan pergaulan yang baik.
Alasan Melakukan Perkawinan
      Secara manusiawi, perkawinan adalah sebuah fitrah yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya untuk hidup "ahmah" Kita semua tahu bahwa Allah SWT menciptakan makhluknya dengan cara berpasang-pasangan, artinya secara tidak langsung mereka akan Bersama demi mewujudkan kehidupan. Hal terpenting yang harus dijaga dalam mencari alasan melakukan perkawinan adalah selalu berpegang teguh pada alasan mewujudkan ahmah, mawadah, dan -ahmah. Beberapa alasan melakukan perkawinan yang disampaikan didalam ayat suci Al-Qur'an yang dapat kita ambil hikmah adalah :
- Alasan berkembang biak, mendapatkan keturunan (Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 1)
- Alasan melestarikan kehidupan (Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 72)
- Mendapatkan kasih saying (Alasan ini terdapa pada Q.S Ar-Rum ayat 21)
- Alasan memperkaya baginya (An-Nur ayat 32)
- Hukum Kawin dan Sumber Hukum Perkawinan
      Sebelum membahas mengenai sumber hukum, sepatutnya kita mengetahui hukum asal dari perkawinan menurut pandangan islam. Hukum melakukan perkawinan asalnya adalah mubah, mubah artinya sesuatu yang diperbolehkan yaitu sepanjang syar'I tidak melarang maka diperbolehkan ataupun sebaliknya. Tetapi sifat hukum mubah ini dapat berubah Kembali kepada pelakunya sendiri, dapat menjadi sunah, wajib, makruh bahkan haram. Penjelasan hukum nikah antara lain :
- a) Mubah
Mubah merupakan asal dari hukum sebuah perkawinan, yaitu hukum terhadap suatu perbuatan yang dibolehkan untuk mengerjakannya. Perbuatan mubah ini tidak diwajibkan dan tidak pula diharamkan. Bagi seorang calon mempelai yang kondisinya tidak terdesak untuk melakukan perkawinan diserta alasan-alasan yang mewajibkan untuk segera menikah, maka ia boleh untuk tidak menikah terlebih dahulu. Menurut Hambali arti dari mubah dalam praktek seperti bagi orang yang tidak mempunyai keinginan menikah itu diperbolehkan, karena kondisi yang ia hadapi belum menuntut untuk menikah.
- b) Sunnah
Sunnah itu artinya adalah apabila melakukan perkawinan maka itu lebih baik karena ia memang telah pantas dan memasuki waktu kawin. Maksudnya dalam praktek adalah bila seseorang yang telah mempunyai kemauan untuk menikah ditunjang ia sudah memiliki kemampuan baik lahir maupun batin dan jika ia tidak menikah ia tidak khawatir terjerumus untuk melakukan perzinaan. pendapat ini diutarakan oleh mahzab hanafi dan hambali.Â
Berbeda pendapat, mahzab maliki mengatakan sunah terhadap orang kurang menyukai perkawinan tetapi menginginkan keturunan dan ia mampu untuk melakukan kewajiban dengan memberi rizki yang halal dan telah mampu melakukan hubungan seksual. Mahzab syafi'I menganggap perkawinan itu hukumnya sunnah bagi orang yang melakukannya dengan niat ingin mendapatkan ketenangan jiwa dan sudah ingin mempunyai keturunan.
- c) Wajib
Hukum perkawinan menjadi wajib bagi mereka yang sudah mampu secara lahir dan batin. Ditambah dengan ia sudah memilki nafsu yang sangat mendesak untuk segera melakukan perkawinan dikhawatirkan ia melakukan zina. terhadap kondisi yang sudah dialami seperti ini pada seorang laki-laki, maka ini hukumnya menjadi wajib. Dijelaskan oleh mahzab maliki, sepanjang ia tidak mampu menahan dari perbuatan zina, maka ia harus berpuasa. Apabila ia tidak sanggup untuk berpuasa, maka ia wajib segera untuk menikah.
- d) Makruh
Kawin menjadi makruh hukumnya apabila seorang yang menikah tidak mampu memberi nafkah kepada isterinya meskipun si wanita pada faktanya ia lebih kaya dari si pria. Ada pula yang mengatakan apabila akai a ternyata orang yang lemah syahwat, dan ada pula yang mengatakan ia mampu untuk menikah, tetapi tidak punya keinginan untuk dapat memenuhi kewajiban rumah tangga dengan baik.
- e) haram
Haram hukumnya melakukan perkawinan terhadap seseorang yang memang tidak mempunyai kemauan (niat) dan kemampuan lahir batin. Artinya orang tersebut tidak akan mempunyai rasa tanggung jawab didalam kehidupan rumah tangganya.Â
Keadaan seperti ini dalam sebuah perkawinan justru akan menimbulkan dampat akai a yang besar seperti menelantarkan istri, menimbulkan perselisihan dsb. Ada juga perkawinan yang dilarang hukumnya bila ia menikahi seseorang dengan maksud jahat seperti untuk menyakiti, menelantarkan, atau lebih jahat lagi dari hal tersebut. Al-qurtuby menyatakan bahwa jika seorang pria tidak mampu menafkahi istrinya dan membayar maharnya, memenuhi haknya, tidak mempunyai kemampuan syahwat untuk menggauli istri, akai a wajib menerangkan dengan terus terang agar calon istri tidak tertipu oleh pria tersebut.
Sumber Hukum Perkawinan Islam
      Sudah sangat jelas bahwa sumber hukum perkawinan islam yang paling utama adalah Al-Qur'an. Hal ini merujuk dari berbagai ayat yang ada di dalam Al-Qur'an menyerukan tentang perkawinan, pengertian, tujuan, alasan, manfaat, dan sebagainya. Hukum perkawinan islam bersumber dari :
- Al-qur'an
- Sunnah rasul
- Metode Ijtihad, ijma, dan qiyas oleh mujtahid. Ada beberapa metode yang digunakan oleh sebagian mujtahid dalam menentukan hukum perkawinan yakni :88
- Istihsan
- Mashlahat Mursalah
- Istishab
- Urf atau adat
- Perkataan sahabat Rasul
- Syar'man qablana
- Rukun dan Syarat Perkawinan
      Mempelajari tentang rukun dan syarat yang ada pada hukum perkawinan Islam di Indonesia, maka kesemuanya itu ada hubungan benang merahnya dengan prinsip perkawinan yang ada pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Mengingat umat Islam di Indonesia dalam konteks perkawinan tetap harus tunduk pada hukum Undang-undang yang berlaku, walaupun secara khusus fiqih munakahat juga membahas persoalan itu. Artinya walaupun tulisan ini mengkaji hukum perkawinan islam di Indonesia tetapi yang berlaku tetaplah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
      Oleh karena itu rujukan penulisan ini tetap mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dalam menjabarkan rukun dan syarat. Sekiranya ada beberapa hal tertentu yang terkait dengan rukun dan syarat pada fiqih munakahat itu dapat dikatakan sebagai tambahan atau perbandingan dalam hal mengkaji rukun dan syarat perkawinan. Bila dikaji lebih dalam, penentuan adanya rukun dan syarat ini sesungguhnya penjabaran dari asas-asas yang ada perkawinan.Â
Asas-asas tersebut yang dijadikan pedoman untuk mengatur hal-hal teknis yang kemudian diuraikan pada rukun dan syarat Asas yang terkandung didalam Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 secara singkat terdiri atas 6 macam hal seperti tujuan perkawinan adalah 1. Membentuk keluarga yang kekal, 2. Sahnya perkawinan baik secara keyakinan dan peraturan, 3. Berasaskan monogami terbuka, 4. Asas matang jiwa raga, 5. Asas mempersulit perceraian, 6. Kedudukan seimbang antara suami dan istri. Dari asas-asas tersebut diatas, maka akan dirincikan menjadi rukun dan syarat-syarat dalam perkawinan. Adapun rukun nikah adalah :
- 1. Pengantin lelaki (Suami)
- 2. Pengantin perempuan (Isteri)
- 3. Wali
- 4. Dua orang saksi lelaki
- 5. Ijab dan kabul (akad nikah)
- Terhadap rukun diatas, maka akan akan dapat dijabarkan bahwa syarat-syarat sah sebuah perkawinan itu antara lain :
- Syarat adanya kedua mempelai
- Syarat saksi dalam perkawinan
- Syarat wali dalam perkawinan
- Mahar
- Syarat Akad (Ijab Qobul)
- Pencegahan perkawinan
- Pembatalan perkawinan
- Hak dan Kewajiban Suami dan Istri
- Keabsahan perkawinan dan pencatatan perkawinan
Perjanjian Perkawinan
      Perjanjian perkawinan adalah salah satu hal yang penting didalam sebuah perkawinan. Tetapi hal ini jarang dikaji oleh para ulama klasik, bahkan tidak ditemukan secara khusus bab yang membahas tentang perjanjian perkawinan.Â
Pandangan masyarakat terhadap keberadaan perjanjian perkawinan masih menganggap bahwa itu adalah perbuatan tidak baik (etis) dan tidak perlu untuk dilakukan. Anggapan itu tidak salah sama sekali, mengingat masyarakat ada yang berpikir bahwa apa yang perlu diperjanjikan bagi mereka yang sudah kawin. Ketika mereka sudah kawin, maka segala sesuatu apa yang mereka mililki menjadi satu kesatuan.
Terhadap alasan itu yang menjadikan suami istri tidak perlu untuk mengadakan perjanjian kawin Perjanjian perkawinan ini dalam bahasa arab diartikan secara etimologi dengan sebutan ittifa' atau akad kalau dalam bahasa Indonesia disebut dengan perjanjian atau kontrak. Â Â Â
Arti dari perjanjian adalah sebuah persetujuan yang dimana persetujuan itu mengikatkan dirinya seorang atau lebih terhadap seorang lain atau lebih. Konteks perjanjian itu kemudian dibawa kepada konteks hubungan perkawinan menjadi dengan sebutan perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada saat perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan yang mengikat bagi mereka dan pihak ketiga.Â
Artinya pembuatan perjanjian perkawinan di Indonesia secara sah hanya boleh dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Bilamana ada perjanjian perkawinan dilakukan setelah adanya perkawinan dimungkinkan terjadi tetapi itu semua harus didasari atas putusan hakim di pengadilan.
      Secara hukum persoalan mengenai perjanjian perkawinan diatur pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada bab 5 pasal 29. Adapun pasal tersebut merumuskan tentang :
- Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan ka nad dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
- Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
- Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
- Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Ada beberapa akibat yang timbul dengan dibuatnya perjanjian perkawinan yang sah antara lain :
- Akibat psikologis
menimbulkan ketidakpercayaan ka na pasangan suami istri dalam hal harta kekayaan; ada perasaan bila terjadinya pelanggaran dalam perjanjian untuk menuntut pemenuhan atau perceraian, menimbulkan rasa kecemasan yang akhirnya mengakibatkan ketidaknyamanan dalam berumah tangga.
- Â Akibat sosiologis
secara sosiologis perjanjian perkawinan masih dipandang kurang etis oleh budaya timur seperti Indonesia, dipandang hanya mementingkan urusan harta kekayaan
- Â Akibat hukum
secara hukum masing-masing pasangan telah terikat, dan barang siapa yang melanggarnya maka ka nada konsekuensi hukumnya apabila terbukti melanggar seperti misalnya perceraian atau penuntutan hak bahkan pembatalan nikah.
Apabila ada pencabutan terhadap perjanjian perkawinan, maka itu semua harus diinformasikan melalui media informasi yang diatur didalam peraturan perundang-undangan. Tujuannya supaya pihak ketiga yang terikat didalam perjanjian perkawinan dapat mengetahuinya. Apabila ada pelanggaran terhadap pelaksanaan perjanjian perkawinan, maka istri dapat meminta pembatalan perkawinan atau mengajukan gugatan perceraian dengan dalil atas pelanggaran isi perjanjian perkawinan
Harta Kekayaan dalam Perkawinan
      Harta kekayaan didalam perkawinan dijelaskan pada pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada bab harta benda dalam perkawinan pasal 35 hingga pasal 37. Ketentuan itu menjabarkan bahwa harta benda yang diperoleh oleh pasangan suami istri selama perkawinan menjadi harta bersama.Â
Maksud dari kata menjadi harta bersama adalah harta tersebut bentuk, kepemilikan dan penguasaannya bersama-sama. Terhadap status harta bersama itu segala bentuk perbuatan hukum yang timbul darinya memerlukan persetujuan dari suami dan istri. Mengingat harta itu status kepemilikannya dimiliki bersama-sama. Hal ini dikenal dengan sebutan percampuran harta benda dalam perkawinan.Â
Tetapi tidak semua yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, ada beberapa harta tertentu yang secara penguasaannya Kembali kepada masing-masing pihak. Hal ini berlaku terhadap harta benda yang sifatnya adalah harta bawaan seperti warisan atau hadiah. Terhadap harta benda semacam ini, penguasaan terhadap harta benda tersebut oleh masing-masing suami atau istri. Terhadap harta bawaan ini, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap benda itu tanpa menunggu persetujuan dari pasangannya.
Harta benda dalam perkawinan yang menjadi harta bersama selamanya akan menjadi miliki bersama, bila terjadi perceraian status harta bersama itu harus dibagi sesuai dengan hak-hak yang dibenarkan. Artinya pembagian harta yang dulunya milik bersama dan harus dibagi akibat putusnya perkawinan dikembalikan pada ketentuan hukum yang berlaku bagi pasangan itu. hukum perkawinan Islam tidak mengutarakan detail terhadap harta bersama didalam perkawinan. Maksudnya adalah hukum Islam tidak menjelaskan mengenai percampuran harta dalam perkawinan ataupun perpisahan terhadap harta perkawinan.
      Secara hukum pengaturan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan diatur mulai dari pasal 85 hingga pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Secara garis besar ketentuan itu mengatur mengenai percampuran harta/ harta bersama baik dari awal perkawinan, tanggung jawab, perbuatan hukum, harta bersama bila istri lebih dari satu, dan mengenai perselisihan
Mengenai harta bersama yaitu ada pendapat yang mengatakan islam tidak mengenal percampuran harta dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa islam mengakui adanya harta bersama.
- Hukum islam tidak mengenal percampuran harta antara suami dan istri
      Pendapat pertama ini menjelaskan bahwa didalam islam tidak mengenal adanya percampuran harta didalam perkawinan. Hal ini didasari dari tidak adanya ketentuan dari Al-quran, hadis, ataupun kajian fiqih yang menyatakan ini secara jelas.161 Ada 2 ayat suci Al-quran yang mengenai harta perkawinan yang tidak tercampur, hal ini dijelaskan bahwa semua harta baik yang diusahakan laki-laki ataupun wanita adalah bagiannya masing-masing. Merujuk pada firman Allah Q.S An-Nisa ayat 32 dan ayat 39. Bila diuraikan maka asal usul harta suami dan istri didalam perkawinan dapat dibagi menjadi 3 :
- Harta masing-masing suami dan istri yang sudah dimiliki sebelum mereka kawin. Harta itu bisa karena hibah, wasiat, warisan atau hasil usaha mereka sendiri. Dalam hal ini biasa disebut dengan harta bawaan.
- Harta masing-masing suami dan istri yang baru dimiliki sesudah mereka kawin, tetapi ini harta ini didapat karena hibah, wasiat atau warisan
- Harta masing-masing suami dan istri yang dimilki sesudah mereka kawin karena usaha mereka masing-masing maupun bersama-sama. Dalam hal ini biasa disebut dengan harta bersama.
Terhadap masing-masing 3 asal usul harta dalam perkawinan diatas, bila dirincikan kembali maka akan dapat dibagi dalam :
- Harta pribadi suami yaitu harta suami yang dibawa sejak sebelum perkawinan, dan harta yang diperolehnya karena hadiah atau warisan.
- Harta pribadi istri yaitu harta suami yang dibawa sejak sebelum perkawinan, dan harta yang diperolehnya karena hadiah atau warisan.
- Harta suami dan istri
Harta syirkah dari suami dan istri yang diperoleh baik sendiri atau bersama-sama selama ikatan perkawinan tanpa mempersoalkan atas nama siapapun dari masing-masing. Dengan tidak adanya percampuran harta bersama, maka masing-masing secara hukum cakap untuk menguasai sepenuhnya harta kekayaannya.
      Penguasaan terhadap harta kekayaan masing-masing ini tanpa memerlukan persetujuan dari pasangan masing-masing. Suami berhak melakukan apapun terhadap harta bendanya, begitupula istri berhak dan cakap bertindak untuk mengurus harta bendanya. Untuk mengatakan tidak ada percampuran harta, tetapi bukan berarti mereka bertindak secara partial dalam mengurus harta, dalam konteks fiqih perbuatan mereka memerlukan "syirkah" dalam berumah tangga
- Hukum islam mengakui adanya harta bersama antara suami dan istri.
      Pendapat yang mengatakan bahwa islam mengakui adanya percampuran harta bersama adalah pendapat yang mengikuti peraturan perundang-undangan. Mengingat latar belakang Undang-undang no. 1 tahun 1974 adalah dimotori oleh landasan hukum islam. Dengan demikian apa yang diatur didalam undang-undang no. 1 tahun 1974 khususnya pada pasal 35 hingga pasal 37 sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum islam. Pasal 35 mengatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.Â
Demi hukum, segala perkawinan yang berlangsung di Indonesia maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama kecuali bila perkawinan itu bubar. Berbeda dengan pemahaman bahwa tidak ada percampuran harta, dalam konteks ini apabila suami istri berkehendak lain maka diperkenankan untuk melakukan perjanjian pisah harta. Artinya pada prinsipnya setiap perkawinan yang dilakukan berdasarkan undang-undang no. 1 tahun 1974 terjadi percampuran harta, tetapi dibuka kesempatan untuk dilakukan pisah harta.
Walaupun tidak diungkapkan secara jelas, pemahaman tentang percampuran harta tergambar di pasal 85 Kompilasi Hukum Islam dengan kata adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Tetapi bila dikaitkan pada pasal selanjutnya pada dasarnya tidak ada percampuran harta dalam perkawinan, hanya saja dibuka kesempatan untuk menyatukan harta. Penulis berpendapat mungkin ketentuan pasal 85 KHI ini untuk mensingkronkan dengan ketentuan harta kekayaan pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 35
 Memperhatikan pendapat yang kedua ini sama halnya dengan ketentuam yang ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal tersebut tercantum didalam pasal 119 KUHPerdata yang menyatakan bahwa "mulai saat perkawinan dilangsungkan, dengan hukum berlakulah persatuan bulan antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain.Â
Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri". Walaupun sebenarnya ketentuan mengenai perkawinan didalam KUHPerdata ini tidak digunakan lagi sepanjang diatur jelas didalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
Hukum Walimah
      Walimah adalah sebuah pesta dengan mengumpulkan saudara, teman, kerabat dengan niatan untuk bisa memberikan doa restu ataupun ucapan kesyukuran kepada seseorang. Walimah diambul dari kata al-wa-li-ma-tu yang artinya adalah mengumpulkan.
166 Dalam konteks perkawinan masyarakat biasa menyebut pesta semacam itu dengan nama "walimatul urs". Walimatul urs memiliki perngertian dimasyarakat sebagai sebuah peresmian dari perkawinan dengan tujuan sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada orang-orang bahwa telah terjadi perkawinan yang resmi dan turut sebagai rasa syukur bagi kedua belah pihak mempelai. Walimatul urs ini gabungan dari kata walimah dan urs yaitu secara bahasa diartikan makanan pengantin dan perayaan perkawinan.
      Memahami kata walimah, ulama fiqih klasik tidak membatasi perbuatan walimah itu kepada sebuah perkawinan saja, melainkan walimah jelaskan sebagai sebuah jamuan makan dengan menghidangkan makanan. Seperti misalnya walimah khitan, walimah aqiqah, walimah haul, atau syukuran pada umumnya itu semua dapat diindetikan dengan walimah. Pelaksanaan walimah biasanya dilakukan setelah dilakukan akad perkawinan, tetapi itu kembali dari keinginan mempelai masing-masing. Ulama klasik berpendapat sebaiknya walimatul urs dilakukan setelah akad dilangsungkan saat itu juga
      Pelaksanaan jamuan walimatul ursy ini tidak ada pengaturannya didalam Peraturan perundang-undangan, tetapi ini didasari dari sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim.Â
Hadist ini menceritakan bahwa Rasulullah pun memerintahkan untuk diadakan walimah walau dengan 1 ekor kambing sebagaimana hadist itu berbunyi "dari anas bin malik, bahwa Rasulullah SAW telah melihat bekas kekuning-kuningan pada Abdurrahman bin Auf, Rasulullah SAW bertanya, apa ini ? Abdurrahman menjawab : sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang perempuan dengan maskawin seberat satu biji emas. Kemudian Rasulullah bersabda : semoga Allah memberkatimu, adakanlah walimah sekalipun dengan seekor kambing (H.R Bukhori dan Muslim)".
      Terhadap hadist diatas, dapat dipahami bahwa pelaksanaan dari walimatul urs ini yang disampaikan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah anjuran. Anjuran untuk melangsungkan rasa syukur antara mempelai kepada keluarga, tetangga, teman, dan pihak lain dengan maksud untuk menyaksikan serta mendo'akan mereka.
      Bentuk dalam penyelenggaraan walimatul urs tidak dijelaskan terperinci didalam hadist yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Yang disampaikan secara pada beberapa hadist mengenai walimah adalah mengenai penyajian dan urgensi pelaksanaannya.
Terhadap persoalan ini, ulama berpendapat bahwa penyelenggaraan walimatul urs pada prinsipnya bentuknya bebas sepanjang tidak melakukan hal yang dilarang didalam agama. Pelaksanaan walimatul urs yang disesuaikan pada adat istiadat dan daerah masing-masing tidak menjadi persoalan sepanjang tidak melanggar syariat atau tidak dimaksudkan untuk sombong, riya. Contoh Rasulullah SAW pernah menyelenggarakan walimah urs terhadap istrinya Shafiah hanya dengan dua mud gandum, sajian tepung dan kurma saja. Kisah ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibnu Majah
Putusnya Perkawinan
      Pemutusan ikatan ini tentu tidak tanpa sebuah sebab, melainkan ada beberapa hal yang melatar belakangi mengapa pemutusan perkawinan itu dilakukan. Sepatutnya sebuah upaya pemutusan perkawinan itu dilakukan bukan atas dasar alasan yang ringan, melainkan ini sebagai jalan terakhir. Pernah Rasulullah SAW bersabda yang artinya "ada tiga perkara, kesungguhannya menjadi sungguh-sungguh dan bercandanya pun dianggap sungguh-sungguh, yakni talak, nikah, dan rujuk".
       Sebuah perkawinan dapat putus apabila memenuhi sebab-sebab tertentu yang diatur didalam Undang-Undang Perkawinan. Tidak menutup kemungkinan bagi mereka warga negara Indonesia yang beragama Islam. Untuk dapat dikategorikan sebuah perkawinan itu putus harus ada beberap sebab yaitu :
- Kematian;Â
- Perceraian;
- Atas putusnya pengadilan.
      Untuk sebab yang pertama (1) adalah kematian, hal ini tidak perlu diperdebatkan lebih lanjut atau dibuktikan melalui proses pembuktian di pengadilan. Karena jelas kematian itu menjadikan salah satu pasangan suami atau istri ditinggalkan untuk selama-lamanya. Konsekuensi dari kematian ini menyebabkan putusnya sebuah perkawinan. Terhadap hal ini suami atau istri yang ditinggalkan secara otomatis telah terputus hubungan perkawinannya. Khusus untuk istri yang ditinggal mati oleh suaminya ia berlaku masa iddah selama 4 bulan 10 hari.
      Sebab putusnya perkawinan yang kedua (2) adalah perceraian. Perceraian dijelaskan dengan kata pisah, putus hubungan, atau talak. Ungkapan talak secara tersurat ada pada ayat suci Al-Qur'an, hal itu dinyatakan pada surat Al-Baqarah dan Surat An-Nisa. Seperti misalnya Surat Al-Baqarah ayat 229 yang mengatakan "maka menahanlah dengan baik atau melepaskan dengan baik" dan ayat 231 yang mengatakan "tahanlah mereka dengan baik atau pisahlah dengan baik". Pada surat An-Nisa digambarkan pada ayat 130 yang artinya "dan jika mereka berpisah Allah mengkayakan mereka dari keluasan-Nya".
      Secara Agama Islam ini dikatakan dengan istilah thalaq yang artinya melepaskan, atau meninggalkan. Dijelaskan dalam sebuah hadist diriwayatkan oleh Abu Daud yang artinya bahwa "dari ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW berkata, perbuatan halal yang sangat dibenci Allah SWT ialah talak" (H.R Abu Daud). Terhadap ketentuan talak ini, ulama klasik berpendapat bahwa hukum terhadap talak ini dijelaskan dalam 3 hal yaitu :
- Wajib, jika terjadi suatu permasalahan berat dan tidak ada jalan lain selain dilakukanya perpisahan, bahkan tidak satu orangpun dapat menengahi permasalahan itu.
- Haram, jika perpisahan yang dilakukan itu didasari atas kepentingan duniawi, menimbulkan kerugian/mudharat bagi kedua belah pihak bukan justru sebuah kemaslahatan.
- Sunnah, yaitu karena seorang istri sudah berani mengabaikan atau mengesampingkan perintah Agama dan Allah SWT seperti masalah hukum/syariah atau ibadah.
      Di Indonesia pelaksanaan perceraian ini memerlukan putusan pengadilan untuk memutus sebuah perkawinan itu telah putus. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa sebuah perceraian hanya dapat dilakukan didepan iding pengadilan setelah pengadilan tidak dapat mendamaikan pasangan yang ingin bercerai. Proses mendamaikan ini sifatnya wajib bagi pengadilan. Suatu pemutusan perkawinan baru dapat dilaksanakan apabila masing-masing dari suami isteri telah melakukan upaya damai.Â
Upaya damai ini wajib dilaksanakan dan diperintahkan untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap mempertahankan rumah tangga yang telah dibuat. Harapan dari adanya perdamaian adalah masing-masing pihak dapat berpikir ulang dan menjadikan bahwa perceraian bukanlah suatu pilihan yang mudah, tetapi memerlukan pertimbanganpertimbangan dan alasan yang dibenarkan. Dengan perkataan lain, perceraian adalah suatu jalan yang paling terakhir bagi suami istri jika kebahagian didalam rumah tangga sudah tidak ada Kembali
Rujuk dan Masa Iddah
      Rujuk adalah suatu perbuatan yang tidak dapat lepas dari masa iddah. Rujuk diartikan dengan kembali bersatunya hubungan perkawinan yang telah bercerai dimana itu terjadi masih dalam masa tempo iddah. Ini jelas diatur pada Kompilasi Hukum Islam pasal 163. rujuk berlaku bagi perceraian yang disebabkan karena alasan-alasan cerai pada umumnya, hanya rujuk tidak berlaku untuk alasan li'an dan khuluk.Â
Untuk rujuk ini tidak dapat dilakukan salah satu pihak, melainkan membutuhkan persetujuan kedua belah pihak baik suami atau istri untuk ditanya kesediaannya rujuk kembali. Rujuk yang hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja tanpa sepengetahuan pihak yang lain, maka ini dianggap tidak sah.
      Hal yang menjadikan perbedaan antara syariah islam dan hukum perkawinan Islam di Indonesia adalah didalam syariah islam itu tidak dikenal upaya hukum selanjutnya. Ketika talak, rujuk, dan perceraian itu telah diputuskan maka itu sudah menjadi sebuah keputusan.Â
Dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia putusan sebuah hakim dipengadilan masih dapat dilakukan upaya hukum selanjutnya seperti misalnya banding dan kasasi terhadap perceraian. Ini menimbulkan perubahan peta pemahaman talak secara syariah islam. Talak merupakan hak suami terhadap istrinya, dan ini jelas tergambar didalam ayat suci Al-Qur'an. Ketika talak itu dipraktekan di Indonesia maka hak talak itu menjadi diserahkan kepada hakim, mengingat hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara perceraian. Walaupun seperti itu, tentunya ada maslahat yang terjawab ketika perceraian itu diserahkan kepada hakim.
      Sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 163 ayat (1) yang berbunyi : seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah. Iddah diartikan dengan masa menunggu dari istri setelah ditinggal oleh suami baik karena kematian atau perceraian. Masa menunggu (iddah) ini bila dipahami lebih ternyata memberikan banyak manfaat. Ahmat Sarwat menggambarkan beberapa manfaat iddah seorang wanita ketika ia baru saja ditinggalkan suami :
Ini merupakan masa waktu untuk merenungkan kembali apakah talak itu merupakan solusi atau jalan terakhir terhadap permasalahan bila menghadapi perceraian. Jika perceraian masih dapat ditangguhkan maka, selama masa iddah itu suami dapat mengajukan rujuk.
- Untuk mencari tahu kepastian bila ada kehamilan pada istri yang dicerai atau ditinggal mati suaminya. Bila diketahui hamil, maka akan diketahui siapa nasab dari bayi yang dikandungnya.
- Bila istri ditinggal mati oleh suaminya, masa iddah ini memberikan kesempatan bagi istri untuk ikut serta berempati dengan keluarga dari suami yang ditinggalkan.
- Iddah diatur jelas didalam ayat suci Al-Qur'an. Dari semua yang ada pada Al-Qur'an, iddah dapat dikategorikan menjadi 5 macam masa iddah yang dapat dilalui oleh seorang istri. Iddah itu terbagi antara lain :
- Iddah bagi istri yang ditalak dan menjalani iddah dalam 3 kali masa haid. Ini terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 228 dimana dikatakan bahwa wanita yang ditalak hendaklah menahan diri 3 kali quru'. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada bayi dalam kandungan rahim si wanita.
- Iddah bagi istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu didalam Surat Al-Baqarah ayat 234 yang menjelaskan bahwa masa iddah tersebut selama 4 bulan 10 hari.
- Iddah bagi istri yang sedang hamil, yaitu mempunyai masa tunggu hingga ia melahirkan anak yang dikandungnya. Hal ini terdapat didalam surat At-Thalaq ayat 4 yang menjelaskan sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya.
- Iddah bagi istri yang tidak haid lagi (monopause). Masa iddah bagi istri yang tidak haid lagi selama tiga bulan. Hal ini tertera didalam surat At-Thalaq ayat 4.
- Masa iddah bagi seorang istri yang belum dicampuri. Maka ia tidak memiliki masa iddah yang berlaku baginya. Hal ini diatur didalam pada Q.S Al-Ahzab ayat 49
Hadhonah dan Akibat Hukumnya
- Anak Bagian dari tujuan perkawinan
      Dalam membentuk keluarga hak asuh anak adalah hak yang timbul akibat permohonan perceraian antara suami dan istri berdasarkan putusan pengadilan. Hak asuh ini bisa terjadi jika antara pasangan suami isteri yang bercerai itu memiliki anak baik anak kandung ataupun anak yang diangkat didalam perkawinan. Hak asuh terhadap anak bisa dilaksanakan bila usia anak masih memerlukan pemeliharaan (belum mumayyiz) atau masih dibawah umur. Dasar untuk dapat melakukan permohonan hak asuh terhadap anak adalah pasangan yang bercerai ini sebelumnya terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dan dicatatkan pada negara.
      Kebaradaan seorang anak dipandang sebagai tujuan perkawinan jika melihat pada konteks pengertian tentang perkawinan. Hal ini dirunut dari pengertian secara normatifnya (keluarga bahagia) dan pengertian berdasarkan agama Islam (sakinah,mawadah, dan rahmah).
      Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk suatu keluarga. Jika melihat pada sisi kuantitatif, maka tujuan perkawinan dalam arti pembentukan keluarga telah tercapai sesuai dengan harapan pembentukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Tetapi bila mengacu pada tujuan untuk kekal dalam perkawinan, hal ini belum tentu dapat tercapai sama sekali. Maksud ini menjadi jelas karena terbukti didalam perkawinan masih banyak terjadi perceraian
- Perceraian Menyebabkan Putusnya Hubungan Keluarga
      Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini merupakan syarat sah secara formal agar perkawinan yang dilakukan dapat diakui oleh Negara. Perkawinan yang sah tidak dapat diputus dengan semena-mena begitu saja oleh pasangan suami istri. Pasangan suami istri yang ingin memutus perkawinan (ontbidning des huwelijks) harus melalui cara yang legal sebagai mana mereka melegalkan perkawinannya berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
      Prinsip dalam hukum perkawinan sebagaimana dijelaskan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian merupakan wujud gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Perceraian dapat terjadi karena ada kegagalan dalam membangun keluarga ataupun permasalahan didalam perkawinan akibat dari perbuatan manusia itu sendiri
- Timbulnya Hak Asuh Anak
      Mengasuh anak adalah kewajiban bagi orang tua. Mengasuh diwajibkan dengan tujuan untuk dapat memelihara, mendidik, membesarkan, dan mensejahterakan anak hingga sang anak dapat tumbuh dewasa. Kewajiban ini jelas diatur pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Disebutkan bahwa orang tua itu wajib untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaikbaiknya. Pemeliharaan anak dilakukan sampai anak dapat menjadi mandiri atau telah menikah.
Pemeliharaan anak tetap berlaku terus, meskipun kedua orang tua anak telah bercerai.
      Hal ini sebagaimana dijelaskan didalam Undang-Undang bahwa kewajiban orang tua adalah untuk memelihara dan mendidik anak dengan maksud untuk menjaga kepentingan anak terhadap kasih sayang orang tua. Pemeliharaan anak adalah kewajiban orang tua, tetapi untuk penguasaan anak harus mengikuti salah satu dari orang tuanya baik ayah ataupun ibunya. Penguasaan anak bukan merupakan permasalahan jika masing-masing orang tua merelakannya untuk diasuh bersama, tetapi bila timbul perselisihan maka pengadilan yang memutuskan untuk penguasaan anak.
      Penguasaan anak ini berkaitan dengan hak asuh terhadap anak akibat perceraian. Secara tegas hak asuh merupakan akibat hukum yang timbul karena rangkaian dengan perkawinan. Hak asuh anak merupakan permasalahan yang belum diatur secara luas dan merinci, bahkan dalam peraturan pelaksanaan No. 9 Tahun 1975 belum secara rinci mengaturnya. Oleh karena itu perselisihan hak asuh anak ini menjadi perselisihan yang harus diputus melalui pengadilan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 41 menjelaskan bahwa akibat dari putusnya perkawinan, baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak.
      Pada konteks ini, bapaklah yang bertanggung jawab atas semua biaya yang diperlukan oleh anak untuk memelihara dan mendidik. Tetapi bilamana bapak tidak dapat memberikan biaya, maka pengadilan dapat menentukan lain untuk memikulnya. Pemeliharaan anak ini diwajibkan didalam Undang-Undang dengan parameter bahwa anak itu telah kawin atau dapat berdiri sendiri. Dijelaskan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 45 ayat (2) yang berbunyi: kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
      Hak asuh sendiri sebenarnya timbul dari kewajiban mengasuh atau pemeiiharaan anak. Memelihara anak dalam bahas arab disebut dengan hadhanah yang secara bahasa berarti adalah gabungan kata anak dan pelihara. Jadi pengertian hadhanah adalah perbuatan yang wajib dilaksanakan meliputi pengawasan, pelayanan baik itu kesehatan jasmani dan rohani, kasih sayang orang tua, mendapatkan kebutuhan hidup, dan mendapatkan nafkah.Â
Selain itu dalam hadhanah, seorang anak berhak untuk mendapatkan Pendidikan hingga ia kawin dan mampu berdiri sendiri. KHI menjelaskan tentang konsep hadhanah dikemukakan pada pasal 106 bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan untuk memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak atau untuk kemaslahatan si anak. Apabila timbul kerugian akibat kesalahan dan kelalaian, maka tanggung jawab akan ditanggungkan kepada orang tua.
      Tujuan dari pemeliharaan adalah jangan sampai seorang anak itu nanti menjadi hidup terlantar dan sia-sia. Mengingat sifat dari pemeliharaan adalah terus menerus hingga ia kawin atau dewasa, maka ketika terjadi perceraian oleh kedua orang tuanya harus ada yang mendapatkan hak pemeliharaan atas anaknya (hak hadhanah).
      Masa berlakunya hak hadhanah ini berakhir apabila anak sudah tidak lagi memerlukan pelayanan. Maksudnya ia telah dewasa dan dapat berdiri sendiri. Secara parameter berakhirnya tidak ditentukan secara spesifik mengenai waktu berakhirnya.Â
Hanya diberikan batasan umur untuk ukuran yang ditujukan kepada si anak. Jika anak telah memenuhi ketentuan usia atau telah dapat berdiri sendiri secara kehidupan maka masa hadhanah telah selesai. Secara tersurat telah disebutkan pada pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menjelaskan bahwa kewajiban orang tua dalam mendidik dan memelihara anak berlaku hingga si anak kawin atau berdiri sendiri
Perkawinan Beda Agama
      Kajian terhadap perkawinan beda agama ini akan selalu menjadi kajian yang menimbulkan perbedaan pendapat baik itu dari sikap para pemeluk agama, masyarakat pelaku kawin beda agama dan negara sebagai pemerintah.Â
Sebelum mengkaji lebih dalam mengenai perkawinan beda agama, penulis selalu mengingatkan bahwa dasar kajian ini berdasarkan pada hukum perkawinan di Indonesia. Terhadap bentuk perkawinan beda agama ini penulis akan melihat dari sisi hukum di Indonesia dan sisi hukum Islam dengan merujuk pada beberapa mahzab yang digunakan di Indonesia pemeluk agama masing-masing mempunyai hukum terhadap agamanya dan jika hendak mengawini pemeluk agama lain itu dianggap sebagai perkawinan beda hukum. Perkawinan beda hukum semacam ini dianggap sebagai perkawinan campuran.
Untuk perkawinan agama dengan non muslim itu jelas hukumnya didalam Islam adalah haram. Mengingat non muslim itu bukan termasuk bagi mereka yang ahli kitab. Non muslim dianggap sebagai musyrik atau juga dianggap tidak memiliki agama (kitab suci). Terhadap mereka islam melarang tentang perkawinan bagi pemeluk agama islam kepada mereka yang non muslim.
Kompilasi Hukum Islam jelas melarang tentang praktek perkawinan beda agama. Dijelaskan lebih lanjut bahwa KHI tidak membedakan kategori terhadap ahli kitab atau bukan, sepanjang itu bukan muslim atau muslimah maka itu dilarang untuk dinikahi. Larangan perkawinan beda agama didalam Kompilasi Hukum Islam ini dilakukan tentu bukan tanpa adanya kajian yang komprehensif. Larangan kawin ini merupakan bagian dari sebuah pembaharuan hukum islam dalam konteks Fikih ala Indonesia
Nikah Siri
Nikah siri saat ini adalah perkawinan yang dilakukan tanpa adanya sebuah pencatatan pada instansi lembaga yang berwenang seperti Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil sebagaimana diatur pada pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Nikah siri dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah secara agama dan kepercayaan saja.Â
Nikah siri diambil dari bahasa Arab yaitu dari "sirrun" yang artinya diam-diam atau dirahasiakan. Sewajarnya apabila orang hendak melangsungkan perkawinan biasanya itu diumumkan atau dilakukan dengan terang-terangan. Berbeda dengan orang pada umumnya, mempelai yang melakukan nikah siri memang tidak ingin orang lain tau, atau mungkin hanya diketahui oleh kalangan keluarga saja
      Sebuah perkawinan yang tidak mendapatkan perlindungan hukum dari negara, maka salah satu atau ada pihak yang nanti kedepannya berpotensi menjadi korban. Dalam konteks nikah siri, secara yuridis formal yang sering menjadil korban adalah pihak perempuan dan anaknya. Mukti Arto menjelaskan bahwa dampak kerugian secara yuridis formal antara lain : Perkawinan dibawah tangan dianggap tidak sah, walaupun perkawinan itu dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Tetapi itu semua belum mempunyai kekuatan hukum sepanjang perkawinan dibawah tangan itu tidak dicatakan di Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil.
 Apabila ada anak yang dilahirkan pada perkawinan dibawah tangan, maka anak yang dilahirkan tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Anak yang dilahirkan itu tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya.Â
Hubungan perdata ini maksudnya secara hukum hanya ibunya saja yang harus bertanggung jawab untuk kehidupan anak tersebut, ia tidak dapat meminta tanggung jawab kepada ayahnya. Lebih jauh lagi bahkan ia tidak mewarisi harta warisan dari ayahnya. Anak yang dilahirkan belum tentu dapat mengurus status hukum anak sebagai subyek hukum di Indonesia. Maksudnya anak tersebut belum tentu dapat mengurus akta kelahiran, Kartu Keluarga, KTP dan menikmati layanan publik artinya anak tersebut tidak tercatatkan. Hal ini dapat saja dikatakan melanggar hak asasi anak.
Pangkal dari timbulnya nikah siri ini karena adanya dualisme tafsir dalam norma yang ada pada pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.300 Penafsiran pertama memberikan pendapat bahwa pasal 2 itu mempunyai arti terpisah antara ayat (1) dan ayat (2). Artinya perkawinan itu sudah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Sedangankan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur pada ayat (2) itu merupakan syarat administratif
Status Hukum Anak Luar Kawin
      Membahas mengenai status hukum anak luar kawin artinya adalah harus menjelaskan terlebih dahulu arti dari luar kawin. Luar kawin yang dimaksud didalam hukum islam dan luar kawin yang dimaksud didalam Undang-Undang ada sedikit perbedaan penafsiran. Anak luar kawin yang dimaksud didalam buku ini adalah anak diluar ikatan perkawinan yang sah sebagaimana diatur pada pasal 43 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang normanya berbunyi :
anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Artinya anak luar kawin adalah penjelasan untuk anak yang tidak sah. Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kompilasi Hukum Islam mengatakan anak yang sah adalah :
- anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dan
- hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut
      Pasal 100 KHI menjelaskan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dari beberapa ketentuan undang-undang diatas dan Kompilasi Hukum Islam dapat diketahui maksud tentang anak sah dan anak tidak sah, dan hubungan nasab yang terjadi antara anak sah dan anak tidak sah.
      Anak luar kawin dalam pembahasan ini adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak berada dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang menghamilinya. Maksud dari luar kawin pada kata anak luar kawin sendiri dijelaskan sebagai hubungan antara laki-laki dan wanita yang dapat melahirkan keturunan dimana mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Dispensasi Nikah
      Pembahasan mengenai dispensasi nikah ini diberikan karena melihat fenomena maraknya pasangan pengantin di usia dini. Permohonan dispensasi nikah ini sedikit yang ditolak oleh Hakim pengadilan Agama, mengingat bebe[1]rapa kasus didalam permohonan dispensasi perkawinan ini fakta menuntut untuk diberikan. Maksud dari fakta yang menuntut itu adalah banyak permohonan yang diajukan dengan fakta bahwa pasangan usia dini tersebut sudah melakukan hubungan seksual sebelum nikah. Bahkan sebagian besar permohonan dispensasi nikah itu karena pasangan usia dini itu nikah karena hamil duluan. Dari kejadian diatas, keluarga pihak wanita lah yang menuntut untuk dinikahkan dengan melakukan permohonan dispensasi nikah
      Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan itu semua pada Bab syarat-syarat perkawinan pada pasal 7. Pasal 7 normanya berbunyi :332
- Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
- Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispen[1]sasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
- Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud pada pasal 6 ayat (6).
Nikah Mut'ah
      Nikah mut'ah adalah nikah yang secara hukum dikatakan sebagai nikah fasakh, artinya nikah itu sejak awal telah cacat secara hukum. Nikah mut'ah ini jelas hukumnya fasakh sesuai dengan konsep perkawinan. menjadi fasakh karena nikah ini dilakukan dengan niat nikah sementara.335 Pada konteks nikah mut'ah ini seorang laki-laki yang menikahi wanita dilakukan dalam tempo waktu tertentu saja seperti misalnya harian, bulanan, atau sesuai kehendak masa tempo waktu.
Pada konteks nikah mut'ah ini, seorang suami yang mengawini wanita hanya bermaksud untuk bersenang-senang untuk sementara waktu saja. Para ulama memberikan pendapat bahwa perkawinan mut'ah ini tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari Al-qur'an. Mengingat tujuan perkawinan sendiri adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, tidak mungkin tujuan itu tercapai bila tempo perkawinan itu ditentukan singkat
      Praktek untuk melakukan nikah mut'ah jelas dilarang. Pelarangan ini juga tentunya tidak tanpa sebab, sebab yang patut ditonjolkan dalam kawin mut'ah ini karena secara tujuan saja sudah tidak sejalan sesuai Al-qur'an dimana perkawinan itu untuk membentu keluarga.Â
Perkawinan adalah perbuatan yang harus dilandasi oleh keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa, artinya perkawinan adalah perbuatan yang suci. Kesucian atas perkawinan itu bisa hilang bila perkawinan itu dirusak dengan sebuah tindakan mut'ah. Akibat dari hilangnya nilai kemulian perkawinan maka bisa saja perkawinan tidak lagi diniatkan untuk sakinah, mawadah, dan rahmah tetapi hanya semata-mata pelampiasan syahwat saja
Nikah Muhallil
      Nikah muhallil ini tidak ada didalam peraturan perundang-undangan, pelarangannya pun tidak tidak ada. Yang diatur didalam Kompilasi Hukum Islam hanya sebatas akibat dari talak ba'in kubro seperti dinyatakan pada pasal 120 KHI talak ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istrinya menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da dukhul dan habis masa iddahnya.
      Nikah muhallil sendiri digambarkan dengan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang sebelumnya telah ditalak 3 sesudah masa iddahnya, dan si istri menikah lagi dengan laki-laki lain, kemudian mantan suami si istri tersebut meminta kepada suami baru dari si istri untuk mentalaknya dengan maksud agar bekas suaminya yang pertama dapat menikahi mantan istrinya kembali.
      Perkawinan semacam ini walaupun tidak terlihat kebenaran substansinya termasuk perkawinan yang fasakh. Karena pada praktek perkawinan muhallil tidak dapat diketahui niatnya, hanya dapat diketahui kebenaran formalitasnya saja. Walaupun hanya untuk melihat kebenaran formal nya saja tanpa melihat tujuan dan nilai dari perkawinan maka ini dianggap sebagai perkawinan yang tidak disyariatkan. Menurut ulama klasik abu yusuf dikutip dari buku Al-Jami' al-shahih sunan at-tirmidzi, menjelaskan bahwa perkawinan semacam ini dianggap perkawinan sementara, dimaksudkan bahwa akadnya sah tetapi sang istri tidak halal bagi bekas suaminya.
      Dari membaca buku ini pembaca dapat mengetahui kompetensi kompetensi yang dihadirkan penulis pada setiap babnya. Seperti pada bab I, pembaca akan dapat memahami dan mengetahui tentang sejarah lahir nya undang-undang perkawinan. Pada Bab II pembaca akan memahami pengertian perkawinan,tujuan perkawinan, prinsip yang ada pada perkawinan, alasan melakukan perkawinan, hukum dan sumber perkawinan di Indonesia. Pada Bab III penulis ingin menjelaskan tentang rukun dan syarat perkawinan, tentang perjanjian kawin, tentang harta kekayaan dalam perkawinan, tentang hukum walimah.Â
Pada Bab IV dijelaskan sebab-sebab putusnya perkawinan, rujuk dan masa iddah, hadhonah dan akibat hukumnya. dan pada Bab yang terakhir atau Bab V penulis cenderung menjelaskan beberapa permasalahan dalam perkawinan seperti perkawinan beda agama, nikah siri, status hukum anak luar kawin, poligami, dispensasi nikah, nikah mut'ah, dan nikah muhallil.
      Buku ini mengkaji hukum perkawinan islam dari perspektif hukum sama dengan mengkaji pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dilihat dari perspektif Islam. Persepektif Islam dalam hukum perka winan di Indonesia ini telah direpresentasikan dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam.
      Kehadiran buku ini sangat membantu mahasiswa terkhusus mahasiswa program studi Hukum Keluarga Islam dan juga layak untuk dibaca oleh masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai hukum perkawinan Islam di Indonesia, dan saya harap kehadiran buku ini dapat menggapai maksud dan tujuannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H