Perjanjian perkawinan adalah salah satu hal yang penting didalam sebuah perkawinan. Tetapi hal ini jarang dikaji oleh para ulama klasik, bahkan tidak ditemukan secara khusus bab yang membahas tentang perjanjian perkawinan.Â
Pandangan masyarakat terhadap keberadaan perjanjian perkawinan masih menganggap bahwa itu adalah perbuatan tidak baik (etis) dan tidak perlu untuk dilakukan. Anggapan itu tidak salah sama sekali, mengingat masyarakat ada yang berpikir bahwa apa yang perlu diperjanjikan bagi mereka yang sudah kawin. Ketika mereka sudah kawin, maka segala sesuatu apa yang mereka mililki menjadi satu kesatuan.
Terhadap alasan itu yang menjadikan suami istri tidak perlu untuk mengadakan perjanjian kawin Perjanjian perkawinan ini dalam bahasa arab diartikan secara etimologi dengan sebutan ittifa' atau akad kalau dalam bahasa Indonesia disebut dengan perjanjian atau kontrak. Â Â Â
Arti dari perjanjian adalah sebuah persetujuan yang dimana persetujuan itu mengikatkan dirinya seorang atau lebih terhadap seorang lain atau lebih. Konteks perjanjian itu kemudian dibawa kepada konteks hubungan perkawinan menjadi dengan sebutan perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada saat perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan yang mengikat bagi mereka dan pihak ketiga.Â
Artinya pembuatan perjanjian perkawinan di Indonesia secara sah hanya boleh dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Bilamana ada perjanjian perkawinan dilakukan setelah adanya perkawinan dimungkinkan terjadi tetapi itu semua harus didasari atas putusan hakim di pengadilan.
      Secara hukum persoalan mengenai perjanjian perkawinan diatur pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada bab 5 pasal 29. Adapun pasal tersebut merumuskan tentang :
- Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan ka nad dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
- Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
- Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
- Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Ada beberapa akibat yang timbul dengan dibuatnya perjanjian perkawinan yang sah antara lain :
- Akibat psikologis
menimbulkan ketidakpercayaan ka na pasangan suami istri dalam hal harta kekayaan; ada perasaan bila terjadinya pelanggaran dalam perjanjian untuk menuntut pemenuhan atau perceraian, menimbulkan rasa kecemasan yang akhirnya mengakibatkan ketidaknyamanan dalam berumah tangga.
- Â Akibat sosiologis
secara sosiologis perjanjian perkawinan masih dipandang kurang etis oleh budaya timur seperti Indonesia, dipandang hanya mementingkan urusan harta kekayaan
- Â Akibat hukum
secara hukum masing-masing pasangan telah terikat, dan barang siapa yang melanggarnya maka ka nada konsekuensi hukumnya apabila terbukti melanggar seperti misalnya perceraian atau penuntutan hak bahkan pembatalan nikah.
Apabila ada pencabutan terhadap perjanjian perkawinan, maka itu semua harus diinformasikan melalui media informasi yang diatur didalam peraturan perundang-undangan. Tujuannya supaya pihak ketiga yang terikat didalam perjanjian perkawinan dapat mengetahuinya. Apabila ada pelanggaran terhadap pelaksanaan perjanjian perkawinan, maka istri dapat meminta pembatalan perkawinan atau mengajukan gugatan perceraian dengan dalil atas pelanggaran isi perjanjian perkawinan
Harta Kekayaan dalam Perkawinan
      Harta kekayaan didalam perkawinan dijelaskan pada pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada bab harta benda dalam perkawinan pasal 35 hingga pasal 37. Ketentuan itu menjabarkan bahwa harta benda yang diperoleh oleh pasangan suami istri selama perkawinan menjadi harta bersama.Â
Maksud dari kata menjadi harta bersama adalah harta tersebut bentuk, kepemilikan dan penguasaannya bersama-sama. Terhadap status harta bersama itu segala bentuk perbuatan hukum yang timbul darinya memerlukan persetujuan dari suami dan istri. Mengingat harta itu status kepemilikannya dimiliki bersama-sama. Hal ini dikenal dengan sebutan percampuran harta benda dalam perkawinan.Â