"Dari awal aku sadar kalau aku nggak pernah bisa suka sama perempuan. Dan dari awal aku udah sadar kalau aku 'belok', Ndri. Aku bukan hanya kemayu, tapi aku juga suka sama sesama lelaki." Kalimat demi kalimat yang dilontarkan Sara, terdengar sangat ngilu di telinga Indri.
"Aku sempat nggak terima dengan kenyataan itu, Ndri. Aku deketin kamu karena aku pikir barangkali aku bisa normal lagi. Ternyata nggak. Kenyataannya, aku nggak bisa punya rasa ke kamu, Ndri. Dan itu yang bikin aku mutusin buat pergi. Karena kalau kita lanjut nikah, pernikahan kita itu salah. Aku nggak mau ngecewain kamu."
*****
Adegan di caf malam itu masih berkelebatan dalam ingatan Indri. Detail-detail kalimat yang diucapkan Sara seolah terus menggema di gendang telinga.
Setelah empat tahun menghilang, Indri masih terus berusaha mencari kabar dari Bagus, kekasihnya yang kemayu itu. Kata orang-orang Bagus itu bencong. Tapi tidak di mata Indri. Bagi Indri, Bagus adalah sosok laki-laki yang tulus dan selalu bisa menghadirkan ketenangan bagi Indri. Laki-laki yang tidak pernah membuat Indri absen tersenyum setiap kali sedang bersamanya.
Hingga suatu ketika, Indri mendapat telepon dari salah seorang kawannya di Surabaya, kalau dia melihat Bagus di sana. "Sekarang dia jadi bos, Ndri. Punya caf sendiri dia." Ucap kawannya lewat telepon. Kabar yang seketika meruntuhkan beban berat yang empat tahun sudah menumpuk di hati Indri.
"Tapi dia berubah, Ndri."
"Berubah gimana? Dia jadi sombong? Atau gimana?"
"Nggak, dia masih baik, masih ramah dan suka bercanda. Tapi.."
"Apa? Apa yang berubah dari dia?"
"Habis ini ku kirim alamat cafnya ke kontak kamu, ya. Kamu temui dia."