Mohon tunggu...
alyamustika Arafah
alyamustika Arafah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum keluarga islam

saya suka mencoba hal baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sekilas tentang Hukum Acara Perdata Indonesia

21 Maret 2023   18:08 Diperbarui: 21 Maret 2023   21:01 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkandung 6 asas pokok dalam perkawinan yaitu tujuan perkawina, sahnya perkawinan, asas monogami, batas minimum usia kawin, prinsip perceraian yang dipersulit, dan hak dan juga kedudukan suami istri yang seimbang.

Tujuan perkawinan sudah pasti adalah membentuk keluarga yang kekal, untuk sahnya perkawinan itu harus dilakukan sesuai hukum dalam  agama dan kepercayaanya masing-masing. Dengan kata merupakan suatu perbuatan hukum yang sangat erat kaitanya dengan sahnya suatu perkawinan. Asas monogami, pada prinsipnya, UUP menganut asas monogami dalam pasal 3 ayat 1 UUP, namun jika hukum agama mengizinkan dan dikehendaki maka seorang suami bisa beristri lebih dari satu. 

Selanjutnya batas minimum usia kawin, perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang dimana perlunya orang yang cakap hukum untuk melakukanya. Maka dari itu adanya batas usia minumum seseorang untuk melakukan perkawinan agar memang nantinya yang akan melangsungkan perkawinan orang tersebut sudah memiliki kematangan boiologis dan juga psikologis sehingga termasuk orang yang cakap hukum dan juga nantinya dapat tercipta perkawinan yang baik tanpa adanya perceraian. 

Di dalam asas perkawinan ini juga ada yang namanya prinsip perceraian yang dipersulit, jadi nantinya pasangan suami istri yang ingin berecrai akan ditanya terlebih dahulu konflik apa yang sampe membuat adanya perceraian dan jika masalah itu masih bisa diselesaikan maka tidak ada yang namanya perceraian. Berdasarkan penjelasan undang-undang juga upaya mempersulit perceraian yakni proses perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan jika ada cukup alasan.

      Selain prinsip-prinsip dalam perkawinan kita juga haru tau seberapa pentingnya pencatatan pernikahan.

      Pencatatan pernikahan merupakan faktor yang sangat penting dalam sahnya perkawinan. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak warga negara untuk berkeluarga, selain karena perkawinan yang dicatatkan memberikan jaminan dan perlindungan serta kekuatan hukum bagi suami, istri dan anak, serta jaminan dan perlindungan hak-hak tertentu yang timbul dari pernikahan.

       Di Indonesia ini yang mayoritasnya beraga islam, yang meyakini bahwa sah nya suatu pernikahan yah secara agama saja, tidak petrlu dicatatkan. Inilah yang menjadi kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pernikahan di catatkan. Adanya pencatatan ini menjadi bukti bahwa peristiwa itu benar-benar ada dan telah terjadi. Adapun menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia, kontruksi sosial dari perbuatan pernikahan yang tidak dicatatkan terbagi dalam tiga bentuk, yaitu:

  • Pernikahan yang tidak dicatatkan (nikah siri) yang bersifat skploitatif dalam bentuk "kawin kontrak" , perkawinan macam ini sering terjadi anatara warga negara asing dengan perempuan lokal. Namun untuj sekarang tidak jarang juga masyarakat indonesia yang melakukan nikah siri tersebut dengan dalih bahwa walaupun tidak dicatatkan pernikahan tetap sah menurut agama.
  • Pernikahan yang tidak dicatatkan karena tidak memiliki akses terhadap pelayanan publik.
  • Pernikahan yang tidak dicatatkan dengan tujuan hanya sebagai pelampiasa seksual semata. Yang seperti ini akan menimbulkan masalah-masalah sosial yang ada.
  • Pernikahan yang dicatatkan dan yang tidak dicatatkan pada negara ternyata memilik konsekuensi yuridis yang berbeda. Salah satu lonsekuensinya yaitu terkait anak. Faktanya banyak anak yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan sehingga akan susah dalam pembuatan akta kelahiran dan juga anak juga mengalami diskriminasi.


  • Pendapat ulama dan KHI tentang perkawinan wanita hamil

Mengenai menikah dalam kondisi hamil ini dijelaskan dalam bab VIII tentang kawin hamil ini Pasal 53 dan 54. Adapun isi dari Pasal tersebut adalah pada Pasal 53 ayat 1 menjelaskan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Pada ayat 2 yaitu perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Pada ayat 3 yaitu dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandung lahir.

pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai ia melahirkan kandungannya.

Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina dibolehkan bagi yang telah menghamilinya maupun bagi orang lain.

Pendapat yang ketiga dari Malikiyyah, tidak sah perkawinannya kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan ini harus memenuhi syarat, yaitu harus taubat terlebih dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun