Sejak awal bekerja, Joko tak pernah tega menyisihkan barang sebagian kecil dari gajinya untuk ditabung di luar kebutuhan primernya. Joko bahkan tak punya ponsel pintar. Buat apa? pikirnya. Toh ponsel jadul lungsuran dari Lik Prayit yang hanya bisa mengirim SMS dan menelepon simbok di Dusun Kemloko pun sudah cukup. Tentu Joko jauh lebih tak tega jika harus menyisihkan gajinya sekedar untuk menabung biaya pelatihan pembuatan parfum itu.
___
Pagi itu Joko mencium aroma lain di warung soto milik Lik Prayit. Sebuah perpaduan antara wangi bebungaan yang manis dan hangat. Mirip parfum mahal yang akhir-akhir ini sedang digandrungi perempuan, meskipun mereka hanya mampu membeli versi KW yang aromanya cenderung memabukkan.
Joko pernah mencium parfum aslinya saat diajak Pak Sahroni ke pameran parfum di salah satu mall di Jakarta Selatan. Tapi yang satu ini agak lain, wanginya begitu lembut membelai hidung Joko, meskipun ia yakin pasti KW.
“Ngapunten, Mba. Kalau boleh tau, Mba pakai parfum Rouge 540, ya?” tanya Joko saat mengantarkan 2 porsi soto yang di pesan perempuan tersebut.
“Eh iya, Mas, kok tau?”
“Saya nyium wangi saffron, melati, getah pohon fir, ambar, sama kayu cedar, Mba.”
“Wih … Tajem juga hidungnya, Mas! Tapi saya cuma pakai dupe-nya kok.”
“Kalau boleh tau nama parfumnya apa, Mba?”
“Forbidden fruit, Mas.”
Joko kembali ke tempatnya di balik dandang soto dengan senyum merekah dan hati yang bungah, sebab tebakannya benar bahwa perempuan itu menggunakan parfum KW sebagaimana yang berhasil diendus oleh indra penciumannya.