Konon ia telah wafat karena kecelakaan saat mengantarkan kayu ulin dari Katingan ke Banjarbaru. Konon pula bapak Joko masih hidup, menikah lagi dengan perempuan yang lebih gres dari simbok Joko, dan punya anak kecil yang lucu. Entah konon mana yang harus dipercaya kebenarannya.
Tak ada warisan yang ditinggalkan bapak Joko selain hutang sebesar 50 juta yang tiba-tiba diantarkan ke depan pintu rumahnya di Dusun Kemloko. Kata sang pengirim hutang, itu merupakan nominal yang harus dibayarkan untuk mengganti kerugian kayu ulin yang rusak saat kecelakaan bapaknya silam. Terlepas benar atau tidak, Joko sekeluarga hanyalah orang udik yang tak tahu apa-apa dan tetap harus melunasi hutang bapaknya bagaikan hutang seumur hidup, atau nyawa mereka taruhannya.
Simbok Joko hanyalah seorang petani bawang merah di ladang milik Pak Carik dengan penghasilan yang tak seberapa, tetapi cukup untuk mengganjal perut sehari-hari dengan menu yang tak jauh-jauh dari tahu dan tempe. Ditambah dengan uang kiriman Joko yang juga ala kadarnya setiap bulan, simbok dan Asih bisa hidup lebih tenang tanpa perlu berpeluh meminta-minta di lampu merah.
Punya pekerjaan yang mudah, bisa bayar kontrakan, bisa makan kenyang meskipun seadanya, bisa pulang kampung setahun sekali, bisa mencicil hutang bapaknya, kehidupan simbok dan adiknya di kampung juga berkecukupan meskipun lagi-lagi hanya seadanya. Lantas alasan apa yang harus Joko utarakan kepada Tuhan untuk tidak mensyukuri nikmat-Nya?.
Namun, tak dapat dipungkiri kehidupan yang aman meski seadanya ini justru membuat Joko takut bermimpi dan keluar dari zona nyamannya.
Bagaimana jika di tengah jalan ia jatuh dan tak punya pegangan apa-apa? Bagaimana jika mimpinya justru diartikan sebagai sikap kurang bersyukur dari Tuhan atas segala rasa aman yang ia miliki saat ini? Apa yang melatarbelakangi mimpinya untuk bekerja sebagai peracik parfum? Apa semata-mata hanya karena ia lebih senang mencium wewangian parfum ketimbang rempah-rempah kuah soto? Apa yang sebenarnya ia cari?
“HAHAHA MAMPUS LO KALAH LAGI!!!”
Riuh para remaja tanggung yang sedang bermain Point Blank dari komputer di bilik sebelah memecah lamunan Joko. Di hadapannya teronggok layar komputer dengan kursor yang menunjuk asal ke halaman artikel dengan judul ‘Cara Membuat Tingtur Parfum Bunga Daffodil’.
Joko acap kali menghabiskan malam dengan menyusuri dunia maya di warnet langganannya. Apalagi yang ia cari selain informasi tentang parfum. Mulai dari Eau de Cologne sebagai jenis parfum yang paling ringan, hingga Extrait de Parfum yang paling intens. Tak lupa jenis-jenis aroma parfum seperti floral yang wangi bunga-bungaan, woody yang wangi kayu-kayuan, fruity yang wangi buah-buahan, hingga aquatic yang memberi kesan wangi segar khas udara laut di pagi hari.
Tingtur sendiri merupakan metode pembuatan parfum yang paling sederhana dengan merendam suatu bagian dari tumbuhan ke dalam larutan alkohol 20-90% untuk memperoleh aroma alami yang kuat dari tumbuhan tersebut. Joko telah berhasil membuat beberapa tingtur dari tumbuhan-tumbuhan yang mudah ditemui sebelumnya, termasuk tingtur daun pandan & bunga melati.
Ia benar-benar memperoleh larutan wewangian yang begitu memanjakan hidungnya. Namun, sejauh ini tingtur buatannya hanya digunakan secara tunggal sebagai pewangi ruangan untuk kontrakan 2 petaknya. Pernah ia mencoba untuk mencampurkan beberapa tingtur buatannya menjadi komposisi sebuah parfum, tetapi gagal sebab baunya tak karuan. Lebih cocok digunakan sebagai pestisida kecoa ketimbang parfum manusia. Hal itu dikarenakan Joko belum memiliki ilmu yang memadai dalam hal racik-meracik parfum, yang sejauh ini hanya didapatkan melalui pelatihan pembuatan parfum dan nantinya dibuktikan dengan selembar sertifikat yang ia gamangkan.