“Halah ... Ente ini ditawarin jadi sales malah ngelunjak! Itu minyak wangi aja ane dapet dari Tanah Abang, Jok. Ente ke Arab aja sono kalo mau ngeracik langsung!”
Jawaban Pak Sahroni mengingatkan Joko dengan jawaban senada dari Lik Prayit saat Joko mengutarakan mimpinya sebagai perfumer atau tukang peracik parfum, sekalipun hanya di toko parfum refillan di bawah jembatan layang.
“Lik, aku pingin kerja di toko parfum,” ujar Joko di sela membantu pakliknya meracik soto.
“Oalah Ko ... Joko. Kamu ini ada-ada saja! Udah bosen tah sampeyan nyium kuah soto setiap hari? Syukur-syukur kamu dapet kerjaan yang enak disini, gak perlu kemproh-kemproh jadi kuli bangunan atau tukang angon bebek di Kemloko. Mana ada toko parfum yang mau terima lulusan SD kayak kamu, Jok!”
Memang ada benarnya perkataan Lik Prayit, sebab melamar kerja dengan ijazah SD jelas tak akan diterima di toko parfum mana pun. Kecuali jika toko parfum itu milik bapak, pakde, paklik, atau simbahmu sendiri.
Joko pernah nekat masuk ke toko parfum yang ia temui sejauh mata memandang untuk mencari secercah kesempatan baginya bekerja disana. Namun, seakan jawaban mereka sudah terprogram selaras.
“Maaf, Mas. Kalau mau kerja disini minimal D3 Kimia atau SMA dengan sertifikat pelatihan pembuatan parfum. Kalau hanya ijazah SD ya susah, Mas! Atau kalau mau, Mas bisa ambil pelatihan pembuatan parfum dulu, baru nanti balik lagi kesini bawa sertifikatnya untuk ikut training sebulan. Kalau bagus bisa lanjut jadi karyawan,” ujar salah satu karyawati toko parfum refillan di pinggir jalan yang Joko sambangi.
“Ah, sertifikat pelatihan pembuatan parfum!” batin Joko.
Bukan kali pertama Joko mendengar tentang pelatihan pembuatan parfum. Joko bahkan bisa membayangkan nominal biaya yang perlu ia keluarkan untuk memperoleh selembar sertifikatnya. Paling sedikit 5 juta rupiah yang harus ia gelontorkan. Di saat yang sama, pikiran Joko selalu terbang ke simbok dan adik perempuannya di Dusun Kemloko.
“Kalo duitnya tak pake buat daftar, gimana Simbok sama Asih?”
Seakan sudah tergurat garis takdir-Nya, Joko dengan penghasilan pas-pasan harus menjadi penopang rezeki tambahan bagi simbok dan adik perempuannya yang masih sekolah di bangku SD. Bapak Joko tak pernah terdengar kabarnya sejak 10 tahun yang lalu setelah memutuskan untuk merantau sebagai sopir truk pengangkut kayu gelondongan di Kalimantan.