Langkah kaki Ari sangat mantap. Ia berjalan melewati tiang-tiang lampu jalan yang menyala redup. Namun tidak dengan nyali Ari. Ia berkobar membara.
Sesampainya di perempatan kedua, Ari menyebrang lalu berbelok ke kanan. Dari kejauhan, ia melihat sebuah papan lusuh bertuliskan: HOTEL MELATI. Ari semakin yakin.
Tak perlu berlama-lama, Ari langsung masuk ke dalam bangunan tua tersebut. Ia berjalan melewati meja resepsionis penginapan yang terlihat sepi. Ari langsung mencari sebuah kamar.
120.
Tanpa ragu, Ari mengetuk pintu kamar tersebut halus.
"Melani, ini aku Ari..." Ari memanggil Melani dengan suara yang pelan. Sebab tentu saja ia tak ingin penjaga penginapan mengetahui keberadaannya lalu mengusirnya. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Aku ingin minta maaf padamu..."
Melani tak kunjung memberi respon.
"Aku tahu, aku salah. Tak seharusnya aku berkata demikian padamu. Aku tak mau lagi menjadi egois. Keegoisanku pernah membuatku kehilangan orang tuaku. Aku tak mau ia membuatku kehilanganmu kali ini."
Ari masih berdiri di depan pintu kamar Melani. Belum ada tanda-tanda dari Melani. Namun Ari tak menyerah. Ia akan terus berusaha meyakinkan Melani agar ia mau memaafkannya.
"Izinkan aku masuk dan memperbaiki kesalahku, Melani..."
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Melani terlihat berdiri di depan pintu. Ia mengenakan sehelai kaos tipis berwarna putih agak transparan. Rambutnya terlihat acak-acakan. Matanya menatap lurus ke arah Ari.