Di malam yang sesunyi ini, Ari berjalan di atas trotoar jalanan Artapuri. Langkah kakinya terkesan cepat. Wajah Ari masih terlihat marah dan kecewa. Ia masih merasakan tamparan Rita membekas di wajahnya.
Saat ini pikiran Ari sungguh ruwet seperti benang kusut. Pertama, ia bertengkar dengan Melani. Kedua, ia juga bertengkar dengan Rita. Hari ini benar-benar hari yang buruk bagi Ari.
Ia kesal pada Melani karena telah melukai perasaannya. Ari tak mengerti mengapa Melani melakukan hal itu. Apakah ia kesal pada warga Artapuri yang menperlakukan ayahnya secara tidak layak sehingga melampiaskan semuanya pada Ari? Kalau benar begitu, itu sangat tidak adil. Ari bukan bagian dari kota ini, meski ia memang tinggal di sini.
Lalu Rita, mengapa ia tiba-tiba memarahinya? Tak tahukah ia kalau Ari habis bertengkar dengan Melani? Mengapa ia mendiskreditkan ras Melani seperti apa yang dilakukan oleh orang Artapuri kebanyakan. Ari tak suka itu. Rita bukannya menjaga Ari, namun ia justru terus melukai perasaannya.
Malam ini, jelas Ari tak ingin tidur di rumah. Ia terus berjalan. Di ujung jalan, ia melihat sebuah papan reklame berlampu neon merah dan biru. Tempat itulah satu-satunya tempat yang akan Ari tuju.
Royale Bar.
Ari semakin mempercepat langkahnya. Setibanya ia di depan pintu bar, Ari langsung membukanya. Ia melihat keadaan bar tak seramai biasanya. Di meja bartender, Ari melihat Yandi sedang membersihkan sebuah gelas minuman.
Tangis Ari langsung pecah. Yandi hanya memandangi Ari yang menangis sambil masih terus berdiri di ambang pintu. Ia merasa kasihan pada anak muda itu.
---
Tomas melangkah masuk ke ruang makan. Di sana, ia melihat Rita tengah bersedih. Ia duduk lemas di atas kursi meja makan. Dirinya berpangku tangan. Tatapan matanya kosong.
Dalam hati, Tomas mengerti apa yang kini tengah dirasakan Rita. Ia pasti sedih dan marah kepada dirinya sendiri. Ia tak dapat mengontrol emosinya sehingga menyebabkan Ari pergi. Memang, tidak seharusnya Rita melakukan hal itu.
Tiba-tiba Rita menangis sesenggukan. Ia menutupi wajahnya. Suara tangisnya terdengar memilukan dan penuh penyesalan.
Tomas menjadi tak tega. Ia berpikir sejenak. Ia harus memperbaiki ini semua. Ya! Cuma dirinya yang bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Tomas pun pergi meninggalkan Rita yang masih menangis di ruang makan.
---
Papan penanda bar diputar oleh Yandi sehingga dari luar terlihat tanda tutup. Ia juga memadamkan lampu teras bar. Setelah semua beres, Yandi kembali ke meja bartender untuk mencuci sisa gelas.
Di atas kursi meja bartender, Ari duduk melamun sambil menatap sebotol dry martini serta gelas kosong yang ada di hadapannya. Pikirannya terlihat kosong. Ari tak bergeming sedikit pun.
Yandi belum mau mengganggu Ari. Ia melanjutkan pekerjaannya mencuci gelas yang kotor.
Setelah semuanya bersih, Yandi kembali menengok Ari. Pemuda itu masih diam di sana dengan ekspresi yang sama pula. Tak bergerak sedikit pun. Yandi menggeleng kepala.
"Kau mau air mineral?" Yandi menawarkan minum pada Ari.
Butuh sekitar 5 detik bagi Ari untuk merespon. Ia menoleh ke arah Yandi lalu mengangguk perlahan. Yandi dapat memakluminya. Ia menuangkan air mineral ke sebuah gelas lalu memberikannya pada Ari.
Ari memandangi air mineral dalam gelas yang diberikan Yandi untuknya. Air itu terlihat sangat bening. Tak ada satu kotoranpun.
Melihat Ari yang tak kunjung berkutik, Yandi mengajaknya mengobrol untuk mencairkan suasana.
"Besok rencananya aku mendatangkan pemain gitar baru untuk ikut bermain musik di sini. Kau mungkin bisa berkolaborasi dengannya." kata Yandi.
Namun tetap. Ari tak bergeming. Tatapannya masih lurus ke arah gelas air mineral di depannya. Yandi mulai berpikir. Mungkin kali ini masalahnya sungguh rumit sampai-sampai ia tak mau membuka suara sedikit pun.
Tak lama setelah itu, tiba-tiba pintu bar terketuk. Yandi pun segera membukakan pintu. Siapa gerangan malam-malam datang ke bar? Bukannya ia sudah menggantung tulisan Tutup di daun pintu tadi? Semoga saja itu bukan Rita. Yandi benar-benar tak ingin melihat keributan hari ini.
Ketika pintu terbuka, ternyata itu adalah Tomas. Ia berdiri di depan pintu sambil mengenakan jaket kulit berwarna hitam. Yandi pun menyapanya.
"Oh, hai Tomas." kata Yandi.
"Hai, Yandi. Apa Ari ada di dalam?"
Yandi memberi kode bahwa Ari tengah duduk di kursi meja bartender dalam keadaan mabuk. Tomas pun meminta izin untuk masuk dan Yandi mempersilakannya.
Dengan langkah yang perlahan, Tomas berjalan mendekati Ari. Ia memilih duduk di samping keponakannya itu. Ari tahu Tomas datang, namun ia tetap acuh.
Tomas melirik botol dry martini di samping Ari. "Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya. Boleh aku mencobanya?"
Ari melirik Tomas. Ia tak menjawab perkataan Tomas. Ia hanya membiarkan Tomas mengambil botol dry martini lalu menuangkannya ke gelas Ari yang kosong. Tomas pun meneguk minuman itu.
"Argh! Rasanya sungguh buruk! Seperti urin kucing!" pekik Tomas. Hampir saja ia menyemburkan minuman itu keluar dari mulutnya ulang.
Bola mata Ari terputar. Ia tahu, Tomas belum pernah mencoba minuman beralkohol seumur hidupnya. Tak mengerti mengapa Tomas melakukannya sekarang.
Tomas melirik Ari lagi. Ia masih dingin. Tomas memutar akal lagi agar Ari mau bicara.
"Tempat ini ternyata mengasyikkan. Suasananya sangat nyaman. Mungkin kita bisa lebih sering menghabiskan waktu di sini. Oh ya, kau suka bermain piano di sebelah sana kan?" tanya Tomas sambil menunjuk sebuah piano di atas panggung. "Aku ingat dulu, Linda adalah pemain piano yang hebat. Ternyata bakatnya menurun pada dirimu."
Mendengar nama ibunya disebut membuat Ari menoleh sedikit.
"Aku jadi ingat, waktu itu, saat aku berusaha mendekati Rita, ibumu lah yang membantuku. Ia mengatur kencan spesial untuk kami berdua. Di sebuah kafe dan ia memainkan piano sebuah lagu romantis, judulnya..." Tomas berusaha mengingat. "Esok kan Masih Ada. Lagunya Utha Likumahuwa. Ah... Indah sekali saat itu. Ia bermain dengan sangat cantik sekali.
Sejenak Tomas bernostalgia dengan kenangannya saat pertama kali ia kencan dengan Rita.
"Padahal ibumu tahu, aku miliki kepercayaan yang berbeda, namun ia dan Herman mendukung hubungan kami. Ibumu adalah orang yang sangat tulus hatinya."
Hati Ari sedikit tersentuh mendengar kata-kata Tomas. Matanya sampai berkaca-kaca. Ia teringat kembali kelembutan sikap Linda. Semua terasa begitu menyenangkan.
"Memang, kami bukan lah pengganti orang tuamu yang baik. Kami tahu, kami takkan pernah menyamai mereka. Bahkan kami juga tak bermaksud mengganti mereka di hatimu Ari. Semua yang kami lakukan semata-mata untukmu. Mungkin ada satu dua hal yang tidak berkenan di hatimu, tapi kami selalu berusaha untuk memperbaiki diri. Agar kamu bisa menerima kami, sebagai keluargamu juga."
Dari kejauhan, Yandi memandangi Tomas dan Ari yang mengobrol dengan sangat intim.
"Semua yang dilakukan Rita dan aku, itu untuk menjagamu dari dunia luar. Kau harus tahu Ari, tidak semua orang di luar sana baik. Mungkin memang Rita agak sedikit kelewatan. Ia sedikit keras padamu. Namun aku yakin, itu semua karena ia trauma akan pandangan orang-orang yang selalu memandangnya sebelah mata. Ia memutuskan untuk pindah agama agar dapat menikah denganku. Pengorbanannya itu justru membuat dirinya terasing. Kau tahu sendiri, berapa banyak orang-orang yang mencibir kami. Rita hanya tak mau kau juga merasakan diskriminasi yang Rita rasakan." Tomas mencoba meraih tangan Ari. Namun Ari menarik tangannya. "Percayalah Ari, tak ada satu detik pun kita berniat tidak baik padamu. Kamu adalah keluarga kami. Untuk apa kami berbuat tak baik padamu?"
Ari menarik nafas.
"Ari, atas nama Rita dan diriku sendiri, aku minta maaf jika selama ini ada perbuatan kami yang tidak berkenan di hatimu. Kami tak punya maksud untuk melukaimu. Kami hanya ingin membantumu." Kali ini Tomas yang menarik nafas. "Pulanglah Ari, kami semua menunggumu di rumah."
Ari merespon balik. Ia menggelengkan kepalanya.
"Aku belum bisa pulang sekarang." kata Ari pelan.
"Tak apa, nak." Tomas tersenyum. "Aku tahu kau butuh waktu. Tak apa, tenangkanlah dulu dirimu. Coba kau resapi kata-kataku. Kita bisa cari jalan keluar dari masalah ini sama-sama. Ingat, kita adalah satu keluarga. Keluarga sejati takkan menyakiti keluarganya sendiri."
Tomas menepuk pundak Ari. Ia bersiap untuk meninggalkannya. Namun sedetik kemudian, Tomas kembali. Ada hal yang sepertinya ia lupa jelaskan.
"Oh ya, Ari. Ada satu hal penting lagi yang mau aku luruskan." kata Tomas. Ari menoleh. "Rita ataupun aku. Kami berdua tidak mandul. Kami berdua hanya sepakat untuk tidak memiliki anak jika masih tinggal di tempat ini. Lagipula, siapa yang mau memiliki anak di kota payah seperti ini?"
Ari terlihat terkejut mendengar informasi Tomas. Sedangkan Tomas kembali menepuk pundak Ari. Ia akhirnya berjalan meninggalkan Ari. Sebelum keluar bar, Tomas memberi salam pada Yandi. Yandi pun mengangguk lalu menutup pintu bar kembali setelah Tomas pergi.
Di meja bartender, Ari masih memikirkan kata-kata Tomas tadi. Jadi selama ini Rita bisa memiliki anak, namun tidak mau karena ia masih tinggal di Artapuri untuk menjaganya? Tentu saja mereka tak ingin memiliki anak di sini. Orang-orang Artapuri pasti akan mencibir anak Rita dan Tomas.
Mengingat perkataan tercelanya terakhir kali kepada Rita membuat Ari sangat menyesal. Ia telah melukai hati Rita. Wajar saja ia ditampar. Bahkan Ari merasa dirinya harus lebih dari sekedar ditampar. Ia sudah kelewat batas.
Ari menjambak rambutnya sendiri. Ia sungguh menyesali perbuatannya. Bagaimana caranya agar ia dapat meminta maaf pada Rita?
Selama ini Rita dan Tomas selalu berusaha untuk baik padanya. Ketika Ari mabuk-mabukan, Rita selalu datang untuk menjemputnya. Mereka selalu menyediakan makanan untuk Ari. Namun balasan apa yang Ari berikan? Ia malah mencela Rita dengan kata-kata yang tidak pantas. Ari jadi merasa dirinya tidak ada bedanya dengan orang Artapuri kebanyakan.
Dari belakang, Yandi menghampiri Ari. Ia duduk di samping Ari. Yandi menghela nafas. Ternyata ia turut pusing memikirkan masalah Ari.
"Hidup memang rumit. Kita tak pernah tahu apa yang menanti kita di depan." ucap Yandi.
Kepala Ari kembali tertunduk. Ia masih menyesal, kian menyesal. Jujur, Ari kehilangan arah hidupnya. Ia tak tahu lagi setelah ini apa yang akan ia lakukan.
"Terkadang kita melakukan suatu kesalahan dalam hidup kita. Itu adalah hal yang wajar. Semua orang melakukannya." imbuh Yandi. "Namun yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memperbaiki kesalahan kita itu dan tidak mengulanginya lagi."
Yandi benar. Semua ini memang salah Ari. Ia tak bisa menahan emosinya. Benar juga kata Melani. Selama ini ia telah hidup dalam realita semu. Ari menghindari kenyataan bahwa orang tuanya meninggal akibat keegoisannya. Maka dari itu setiap ada orang yang membicarakan tentang ayah dan ibunya, Ari pasti marah.
Semua penyangkalan demi penyangkalan yang Ari tumpuk dalam otaknya membuat dirinya menyimpan emosi yang dapat meledak kapan saja. Dan itu terjadi hari ini. Semua terkena dampak dari emosi Ari. Mulai dari Melani, Rita.
"Ari, aku telah mengatakannya padamu. Untuk menjalani hidup, terkadang yang kau harus lakukan hanyalah mengikutinya. Tak perlu terlalu keras pada dirimu sendiri. Lihatlah orang-orang yang menyayangimu. Jangan kau sia-siakan mereka."
Ari menjadi merasa bersalah pada Melani. Dengan egoisnya, ia mengatakan bahwa Melani harus menerima kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal. Padahal ia sendiri membutuhkan waktu lebih dari 3 tahun untuk menerima kenyataan yang sama.
Padahal Melani yang sudah membantu Ari untuk kembali tersenyum. Kehadirannya memberi warna baru dalam hidupnya. Tak sepatutnya Ari mencampakkan Melani begitu saja.
Ari tak ingin lagi mengulang kesalahan yang sama. Ia tak mau lagi hidup terombang-ambing seperti yang ia jalani selama 3 tahun terakhir ini. Ari menginginkan perubahan dalam hidupnya. Ia harus memulai perubahaan itu sekarang.
Ya. Saat ini juga. Sekarang atau tidak sama sekali.
"Kau harus semangat, Ari. Hidupmu masih panjang."
"Yandi..." panggil Ari lirih. "Aku ingin memperbaiki kesalahanku. Apakah ada kata terlambat untuk itu?"
Yandi tersenyum. "Bagus. Tentu tidak. Tidak ada kata terlambat untuk meminta maaf."
"Bagaimana caranya?" tanya Ari.
"Kau harus temui dirinya. Nyatakan secara langsung. Itu adalah cara yang paling tepat."
Ari berpikir sejenak. Ia memandangi segelas air mineral di hadapannya. Semenit kemudian, Ari meraih gelas itu lalu meminum isinya hingga habis. Ari meletakkan gelas yang sudah kosong kembali ke atas meja.
"Aku akan melakukannya." Ari bangkit dari tempat duduknya.
"Bagus! Semangatlah, nak! Aku mendukungmu!" Yandi memberi semangat pada Ari.
Ari melangkah keluar dari Royale Bar. Ia berjalan di atas trotoar. Dingin angin malam tidak menyurutkan semangat Ari. Ia bertekad akan menyelesaikan masalahnya saat ini juga.
Sudah cukup selama ini ia bersembunyi dalam gelap. Sudah cukup ia menjadi pengecut. Ari akan menuntaskan semuanya malam ini.
Langkah kaki Ari sangat mantap. Ia berjalan melewati tiang-tiang lampu jalan yang menyala redup. Namun tidak dengan nyali Ari. Ia berkobar membara.
Sesampainya di perempatan kedua, Ari menyebrang lalu berbelok ke kanan. Dari kejauhan, ia melihat sebuah papan lusuh bertuliskan: HOTEL MELATI. Ari semakin yakin.
Tak perlu berlama-lama, Ari langsung masuk ke dalam bangunan tua tersebut. Ia berjalan melewati meja resepsionis penginapan yang terlihat sepi. Ari langsung mencari sebuah kamar.
120.
Tanpa ragu, Ari mengetuk pintu kamar tersebut halus.
"Melani, ini aku Ari..." Ari memanggil Melani dengan suara yang pelan. Sebab tentu saja ia tak ingin penjaga penginapan mengetahui keberadaannya lalu mengusirnya. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Aku ingin minta maaf padamu..."
Melani tak kunjung memberi respon.
"Aku tahu, aku salah. Tak seharusnya aku berkata demikian padamu. Aku tak mau lagi menjadi egois. Keegoisanku pernah membuatku kehilangan orang tuaku. Aku tak mau ia membuatku kehilanganmu kali ini."
Ari masih berdiri di depan pintu kamar Melani. Belum ada tanda-tanda dari Melani. Namun Ari tak menyerah. Ia akan terus berusaha meyakinkan Melani agar ia mau memaafkannya.
"Izinkan aku masuk dan memperbaiki kesalahku, Melani..."
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Melani terlihat berdiri di depan pintu. Ia mengenakan sehelai kaos tipis berwarna putih agak transparan. Rambutnya terlihat acak-acakan. Matanya menatap lurus ke arah Ari.
"Melani, aku-"
Belum selesai Ari berbicara, Melani langsung mencium bibir Ari. Ari tak menolak. Ia turut melumat bibir mungil Melani.
Melani menarik tubuh Ari masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu erat-erat.
---
Di atas kasur, Ari dan Melani berbaring terselimuti sebuah selimut putih tebal. Tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh mereka berdua. Melani nampak berbaring di pundak Ari. Ia nampak sangat nyaman berada di dekat Ari. Matanya terpejam menikmati momen ini. Sedangkan Ari membelai rambut Melani. Pandangannya terpaku menatap langit-langit kamar berwarna putih.
"Terima kasih, Melani. Kehadiranmu telah merubahku." kata Ari sambil terus membelai rambut Melani.
Suasana kamar hening dan gelap. Pencahayaan hanya berasal dari lampu tidur berwarna kuning yang menyala di ataa lemari kecil di samping kasur. Dari cahaya tersebut tercipta siluet bayangan Ari dan Melani yang sedang bermesraan di atas tempat tidur.
"Aku ingin kita tetap seperti ini. Kau dan aku. Kita bersama. Kau tak perlu lagi memikirkan suamimu yang telah menyakitimu itu. Kalau perlu, ajaklah anak-anakmu untuk tinggal bersamaku." Ari berpikir. "Kita akan cari tempat yang cocok untuk kita. Mungkin kita bisa tinggal di Bali? Di sana akan menjadi surga bagi kita berdua. Aku bisa membuka bar di sana seperti milik Yandi. Aku akan bermain piano untuk para turis di sana. Kita bisa menyekolahkan anak-anakmu di sana. Bukankah itu rencana yang indah?"
Melani tak mengucapkan sepatah katapun. Matanya terbuka lebar, tak berkedip. Tangannya mengelus dada Ari yang bidang. Mimik wajahnya terkesan datar. Tak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan Melani saat ini.
"Aku ingin kau tetap tinggal di hatiku. Melani, maukah kau untuk tinggal?"
Melani memeluk erat Ari. Ia memejamkan matanya. Ari merasakan dekapan hangat dari tubuh Melani. Mungkin pelukan ini adalah jawaban Melani untuk mengiyakan ajakan Ari. Ari berharap itu.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H