"Lalu kenapa kau berani datang seorang diri?"
Melani melangkah melompati lubang di trotoar.
"Sudah kubilang kan, aku ingin mencari keberadaan papaku yang sudah berpisah lama, sesuai dengan wasiat mamaku."
"Memangnya mengapa kalian berpisah?"
Melani kembali menatap Ari. Ia terhenti sejenak. Ada kata-kata yang seperti sulit untuk dijelaskan.
"Tragedi 98. Kami berpisah saat kerusuhan." Sambil terus berjalan, Melani menceritakan hal yang sempat diceritakan ibunya padanya. "Waktu itu keadaan sangat kacau. Keluarga kami jadi incaran masa. Seperti yang kau katakan karena kami berbeda..."
"..."
"Saat itu, orang-orang sudah masuk ke dalam rumah. Aku yang masih kecil dan mamaku bersembunyi di balik lemari. Papaku menghalau mereka. Dengan bantuan beberapa tetangga, kami berdua bisa kabur. Namun tidak dengan papaku. Ia tetap tinggal untuk mempertahankan rumah kami dari amukan warga. Kami bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal..."
Hati Ari terenyuh mendengar Melani bercerita. Memang kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 merupakan kekacauan terburuk yang pernah terjadi di Artapuri. Tindakan anarkisme terjadi di seluruh penjuru kota. Sasaran mereka adalah orang-orang keturunan Tiong Hoa. Mereka menjarah, membakar, bahkan memperkosa gadis-gadis. Membayangkannya saja sudah membuat Ari bergidik ngeri.
Peristiwa itu masih membekas dan menjadi luka lama yang tak bisa hilang di kota ini. Beberapa orang masih menyimpan sentimen pribadi kepada kaum non pribumi. Hingga sekarang intoleransi itu masih menjamur dan menjadi borok di hati sebagian warga Artapuri.
"Maaf kalau aku bertanya, bagaimana kau yakin ayahmu masih hidup? Kau bahkan tak tahu dimana keberadaannya sekarang. Rumah kalian sudah rata tanah kemarin. Mungkin saja kan ia pindah keluar kota?"