Mohon tunggu...
AL Wijaya
AL Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis "Target Pertama", "As You Know", "Kembali ke Awal"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batas (Bab 4)

4 Juni 2019   20:34 Diperbarui: 4 Juni 2019   20:48 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ari menutup kepalanya dengan tudung jaket berwarna gelap yang ia pinjam dari Yandi. Ia juga merapatkan jaket tersebut di tubuhnya. Berharap tak akan ada orang yang melihatnya. Ari berjalan dengan kecepatan cukup tinggi di atas trotoar.

Dari arah belakang, Melani membuntutinya. Ia nampak kewalahan mengikuti Ari yang berjalan dengan sangat cepat. Melani sampai-sampai harus menyingsingkan rok panjangnya serta membawa tas merah kecilnya dengan hati-hati.

"Tidak bisakah kau berjalan lebih pelan?" tanya Melani.

Bola mata Ari terputar. Ia sudah merasa kesal atas sikap Melani yang sangat manja dan cerewet. Terlebih lagi Ari kesal terhadap dirinya yang akhirnya memutuskan untuk membantu Melani. Mengapa ia bisa sampai sebodoh itu? Ari tak henti-hentinya menggerutu dalam hati, menyesali perbuatannya.

Namun mau bagaimana lagi? Ari sudah berjanji akan mengantar Melani ke alamat tersebut. Ia harus konsekuen dengan perkataannya. Ari pun mengurangi kecepatannya. Ia terus berjalan tanpa menoleh ke belakang sama sekali.

Setelah Ari menurunkan laju kecepatan berjalannya, akhirnya Melani bisa menyusul Ari. Melani tersenyum senang. Dengan penuh semangat ia berjalan beriringan dengan Ari.

Mereka berdua berjalan menyusuri bangunan-bangunan perkantoran tua yang ada di tepi jalan kota Artapuri. Meski tua dan terkesan berwarna pudar, namun bangunan itu memiliki nilai artistik yang sangat tinggi. Selain itu, bangunan-bangunan ini juga memiliki nilai historis. Mereka sudah terbangun sejak tahun 90an. Mereka juga yang menjadi saksi bisu atas peristiwa kelam yang pernah terjadi di kota itu.

"Terima kasih kau sudah membantuku." ucap Melani.

Ari melirik Melani yang berjalan di sisi kirinya. Meski sudah bisa menyusulnya, namun Melani terlihat tetap ribet sendiri dengan rok panjang yang ia kenakan. Ari mendengus. Wanita ini sungguh aneh! Memangnya ia pikir sedang berada di acara pagelaran busana Tom Ford? Mengapa harus mengenakan rok panjang segala.

"Aku tak sabar bertemu papaku. Sudah lama kita tidak bertemu." kata Melani dengan penuh harap.

"Ingat ya! Aku hanya akan mengantarmu sampai alamat itu." kata Ari tegas.

"Tak apa... Aku sungguh berterima kasih kau telah membantuku." kata Melani sambil menepuk pundak Ari.

Seketika Ari berhenti berjalan. Ia melirik ke arah tangan Melani yang bertengger di bahunya. Ari melihat Melani masih tersenyum, seolah ia tak melakukan apa-apa. Ari pun segera menyingkirkan tangan Melani dari pundaknya. Tanpa berkata sepatah kata pun Ari kembali berjalan meninggalkan Melani.

Melani masih berdiri di atas trotoar. Ia memperhatikan Ari yang berjalan menjauh darinya dari belakang. Terlihat sinar matahari senja yang mulai tenggelam menyinari tubuhnya.

Melani merasa iba pada Ari. Dari tatapan matanya, Melani dapat merasakan bahwa Ari memiliki masalah pelik dalam hidupnya. Ia terlihat sangat kesepian dan menyedihkan.

---

Matahari telah tenggelam di ufuk barat. Langit seketika berubah menjadi gelap. Malam hari pun tiba.

Jam dinding telah menunjukkan pukul 7. Jarum detiknya terus berputar. Suaranya menggema hingga ke ruang makan.

Di atas kursi meja makan, Rita duduk sambil memandangi makanan yang telah dimasaknya. Di hadapannya, Tomas duduk sambil terus berbicara mengenai apa yang telah ia lalui hari ini. Namun Rita sama sekali tak menanggapi suaminya itu.

"Aku sungguh bahagia sekali hari ini. Pak Bambang menawarkanku untuk kenaikan pangkat. Seminggu lagi aku akan melakukan presentasi-"

Rita masih memandangi kursi Ari masih kosong. Ia belum pulang. Padahal sebelumnya mereka telah sepakat bahwa Ari boleh pergi ke Royale Bar, namun Rita tetap saja khawatir. Ia benar-benar tak ingin Ari mabuk lagi. Sudah cukup Rita menjemputnya dalam keadaan teler. Rita tak mau lagi.

"Hei, Rita? Bagaimana denganmu? Persiapan untuk acara Linda dan Herman? Sampai dimana progresnya?" tanya Tomas.

"Maafkan aku..." Rita menggeleng.

Tanpa sepatah kata Rita langsung beranjak meninggalkan Tomas di ruang makan. Tomas langsung tersadar. Istrinya sedang khawatir karena Ari belum pulang. Tomas tahu, seberapa kesal Rita pada Ari, ia tetap menyayangi keponakannya itu juga. Rita pasti pergi untuk mencari keberadaannya.

Tomas menyandarkan tubuhnya di atas kursi.

----

Sebuah tanah kosong. Tak ada rumah. Tak ada satu pun benda di atasnya. Hanya sebidang tanah yang ditinggalkan begitu saja.

Ari mengamati lagi alamat yang tertulis di atas kertas milik Melani. Jalan Melati nomor 35. Benar. Ini adalah tempatnya.

"Apa kau yakin di sini?" tanya Melani dengan penuh keraguan.

"Ya." jawab Ari mantap.

Melani memandangi sekali lagi alamat yang seharusnya menjadi tempat tinggal ayahnya.

"Kau tidak salah?"

"Tidak. Ini alamat yang kau tuju." jawab Ari singkat.

"Tapi... Seharusnya ia berada di sini."

Ari menghela nafas. "Baiklah, tugasku untuk membantumu telah selesai. Kau telah menemukan alamat yang kau cari."

Dahi Melani mengernyit. "Tidak bisa begitu. Kau harus menolongku menemukannya."

"Sejak kapan kau menggunakan kata harus? Itu bukan kewajibanku. Tugasku hanya mengantarmu kemari."

Setelah berkata demikian, Ari berbalik lalu berjalan menjauhi Melani. Melani nampak panik. Ia bingung. Seharusnya ayahnya tinggal di sini namun... Melani pun segera menyusul Ari. "Kumohon, bantulah aku menemukannya!"

"Cari saja orang lain. Aku tak bisa membantumu."

"Tolong... Aku tak tahu apa yang sedang terjadi di sini. Aku sudah jauh-jauh datang dari Semarang hanya untuk menemukan papaku." Melani menahan tangan Ari.

Ari berhenti berjalan. "Dengar ya. Kau minta aku untuk mengantarkanmu kemari, aku telah turuti maumu. Aku sudah berbaik hati padamu! Jangan kau jadi bersikap seenaknya."

Volume suara Ari membesar. Beberapa orang yang berjalan di sekitarnya mulai memperhatikan percakapan Ari dan Melani. Menyadari hal itu, Ari segera menutup wajahnya dengan tudung jaketnya.

"Tapi...."

"Tolong." Ari melirik sekelilingnya kembali. Ia benar-benar tak ingin orang mengenalinya. "Pulanglah saja. Tak ada gunanya kau ada di kota ini. Artapuri tidak menerimamu di sini."

Ari kembali berjalan meninggalkan Melani yang masih diam terpaku. Ari sungguh tak ingin membantu Melani kali ini. Ia merasa sudah berbaik hati mengantarnya hingga ke tempat ini. Namun ia tak bisa membantunya lebih jauh lagi. Ari tahu, itu akan jadi masalah.

Jika orang-orang tahu Ari kedapatan berjalan bersama wanita asing berwajah Chinese, pasti akan ada konflik yang muncul. Siapa yang tidak tahu mulut orang-orang Artapuri? Informasi bisa menyebar luas dengan sangat cepat, terutama informasi negatif. Ari tak ingin hal ini tersebar. Sudah cukup setiap hari ia mendengar bisikan tetangga tentang Rita dan Tomas. Ari tak mau menambah rumor apapun lagi.

---

Di dalam mobil Rita menyetir mobil dengan hati-hati. Ia menyusuri tiap jalan di Artapuri perlahan. Sembari terus menyetir, Rita memasang mata kiri dan kanan untuk melihat sekelilingnya. Siapa tahu ia menemukan Ari tengah berjalan.

Dalam hati, Rita merasa khawatir akan keponakannya itu. Rita sudah mencari Ari di bar milik Yandi, namun ia tidak ada di sana. Dimana lagi Ari akan pergi selain ke tempat Yandi? Rita benar-benar kehabisan akal.

Tepat di belakang lampu lalu lintas yang berwarna merah, Rita memberhentikan mobilnya. Ia menarik nafas sejenak. Pikirannya benar-benar kacau. Dirinya memaki dalam hati. Rita merasa gagal menjaga Ari. Ia sangat kesal pada dirinya sendiri.

Seharusnya Rita bisa lebih tegas lagi pada Ari. Selama ini ia menyadari bahwa dirinya terlalu lunak. Rita tak berani memarahi Ari karena Ari memang bukan anaknya. Ia merasa tak berhak memarahinya ketika Ari berbuat salah. Dirinya selalu memendam amarah dalam hati.

Namun lihat apa yang terjadi sekarang. Semuanya kacau. Ari menjadi anak yang lepas kontrol. Tak ada yang dapat mengaturnya, bahkan dirinya dan Tomas sudah kewalahan menghadapi anak itu. Sangat keras kepala.

Rita memijit kepalanya yang terasa sakit. Ia sungguh marah pada Ari. Kelakuannya kian hari kian menyusahkan. Mulai dari mabuk-mabukan, pulang malam, sekarang ia pergi entah kemana. Rita merasa ini semua harus segera disudahi.

Ia harus mengambil tindakan tegas.

Dari arah depan, Rita melihat lampu lalu lintas yang sedari tadi berwarna merah berubah warna menjadi hijau.

---

Warna hijau lampu lalu lintas yang menyala nampak kontras dengan gelapnya malam. Semilir angin bertiup sepoi-sepoi. Beberapa kendaraan melaju dengan cepat melewati marka zebra cross. Mereka terburu-buru karena tak ingin terjebak oleh lampu merah.

Setelah beberapa detik, lampu lalu lintas berubah menjadi merah kembali. Beberapa kendaraan berhenti tepat di belakang tanda garis zebra cross. Ari menengok ke arah kanan dan kiri. Semua kendaraan telah berhenti. Ia aman untuk menyebrang.

Ari pun menyebrang di atas zebra cross. Ia kembali berjalan di trotoar. Udara malam ini yang cukup dingin membuat dirinya mengeratkan jaket milik Yandi ke tubuhnya.

Gara-gara mengantar Melani, ia harus meminjam jaket ini pada Yandi. Ari berencana untuk mengembalikannya besok.

Dengan langkah kaki yang tegas, Ari menyusuri jalanan utama kota Artapuri di malam hari. Keadaan malam hari kota ini tak jauh beda dari kota-kota kecil lainnya. Sepi. Tak banyak kendaraan yang lalu-lalang, mungkin hanya ada satu dua. Orang-orang mungkin sudah kembali ke rumah mereka masing-masing untuk menyantap makan malam.

Ngomong-ngomong soal kembali ke rumah, Ari sadar bahwa sekarang sudah malam. Rita dan Tomas pasti marah besar kalau tahu ia pulang terlambat lagi. Apalagi kalau sampai Rita mencarinya ke Royale Bar. Ini pasti akan jadi masalah besar.

Belum sempat Ari berpikir lebih dalam lagi, dari kejauhan ia melihat Rita dan Tomas sedang mengobrol serius di depan rumah. Mereka nampak memperbincangkan sesuatu. Suara keduanya terdengar cukup kencang. Ari hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata yang ia takutkan menjadi kenyataan.

"Itu semua karena kau tidak memberinya waktu, Rita!" kata Tomas.

Mau tak mau, Ari harus pulang. Ia berjalan mendekati rumahnya dengan kecepatan tinggi sambil menunduk. Menyadari Ari datang, Rita langsung menghardik keponakannya itu.

"Dari mana saja kamu?!" tanya Rita dengan nada kesal.

"Rita..." Tomas berusaha menenangkan istrinya.

Ari tak menggubris pertanyaan Rita. Ia terus berjalan sambil menunduk masuk ke dalam rumah. Ia tak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Hei! Kamu tuli? Dari mana saja kamu? Kamu tidak bisa seenaknya keluar masuk rumah sesuka hatimu!" pekik Rita sambil terus membuntuti Ari masuk ke dalam rumah. Di belakangnya, Tomas terus berusaha membuat Rita tidak emosi.

"Bukan urusanmu." jawab Ari singkat.

"Bukan urusanku?! Lalu kau sekarang tinggal di rumah siapa? Tentu itu urusanku! Kalau kau tidak bisa diatur, jangan tinggal di rumahku!!" kata Rita dengan nada tinggi. Urat-urat di lehernya sampai terlihat.

Ari berhenti berjalan. Ia berbalik menatap Rita. "Ya sudah. Berikan saja uang asuransi ayah dan ibu padaku. Itu semua milikku. Maka aku dengan senang hati pergi dari tempat ini."

Rita terdiam. Ia tak dapat membalas perkataan Ari. Jujur, uang itu adalah kelemahan Rita. Ia tahu, ia tak dapat hidup tanpa uang dari Linda. Semua pengeluarannya sangat besar. Gaji Tomas dan dirinya takkan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Tak mendengar adanya bantahan yang keluar dari mulut Rita, Ari memutar bola matanya. Ia langsung menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamarnya. Terdengar dari bawah pintu kamar Ari terbanting dengan keras.

Rita masih terpaku di atas lantai. Ia sungguh kehabisan kata-kata. Ari berhasil membungkam mulutnya erat. Tomas mendekati Rita. Ia memeluk tubuh Rita dari belakang. Dengan tatapan yang masih kosong, Rita membelai halus tangan suaminya.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun