Dalam konteks pemutusan hubungan kerja, definisi force majeure berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata masih menjadi acuan bagi hakim pengadilan hubungan industrial dalam mendefiniskan unsur-unsur keadaan memaksa.
Force Majeure Berdasarkan Yurisprudensi
Beberapa yurisprudensi pengadilan hubungan industrial/Mahkamah Agung terkait pemutusan hubungan kerja karena keadaaan memaksa (force majeure), memberikan definisi atas force majeure sebagai berikut:
(1) Putusan Mahkamah Agung atas Perkara Nomor 435/K/PDT.SUS-PHI/2015 antara Penggugat Zaenal Mas Kowim, Fariztiyo dan Moch. Arifin dan Tergugat CV Gemilang Artha Prima;
 Majelis berpendapat bahwa suatu keadaan/kondisi dapat dikatakan force majeur seperti yang diatur dalam Pasal 1244-1245 KUH Perdata adalah apabila ada suatu keadaan yang menyebabkan suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu hubungan hukum tidak dapat dilaksanakan antara lain diakibatkan oleh (i) Bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, banjir); (ii) Kebakaran, perang, huru-hara, pemogokan dan epidemi; (iii) Tindakan pemerintah dibidang moneter yang menyebabkan kerugian luar biasa.
(2) Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Palu atas Perkara Nomor 12/Pdt.Sus-PHI/2014/PN Pal antara Penggugat Hans Rumbai dan Mahyudin dan Tergugat, PT Kumala Mining
Kondisi Tergugat yang sulit melakukan kegiatan ekspor bahan setengah jadi sebagai akibat dikeluarkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012 dan Surat Edaran Menteri Perdagangan RI Nomor 04/ M-DAG/ED/12/2013, menurut majelis dapat dianggap sebagai force majeure yang menjadi dasar pemutusan hubungan kerja. Â
Putusan ini memberikan preseden bahwa force majeure tidak selalu berupa bencana alam, namun dapat juga berupa perubahan regulasi, yang mengakibatkan perubahan keadaan pada pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga dalam waktu singkat Tergugat harus melakukan pemutusan hubungan kerja.
(3) Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Medan Atas Perkara Nomor: 242/Pdt.Sus-PHI/2018/PN Mdn antara Penggugat, Murni Handayani dan Tergugat, PT Cahaya Alam Sejati
Majelis Hakim berpendapat bahwa keadaan memaksa (force majeure) merujuk pada tindakan alam (act of god), bencana alam seperti banjir, gempa bumi, epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya. Keadaan memaksa (force majeure) biasanya diatur secara tegas oleh para pihak yang dalam hal ini adalah pihak perusahaan dan tenaga kerja/buruh dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan ataupun perjanjian kerja bersama (PKB).Â
Namun Majelis memutuskan bahwa pemutusan hubungan kerja dalam kasus ini tidak dapat dilakukan atas dasar force majeure karena tidak adanya laporan keuangan tentang kerugian yang diaudit oleh akuntan publik, perusahaan masih membuka pabrik ditempat lain dan kondisi perusahaan tidak termasuk dalam keadaan memaksa (force majeur) sebagaimana dimaksud dalam pasal 164 ayat (1) UU 13/2003.Â