Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pada Pasal 164 ayat (2) dijelaskan bahwa Kerugian perusahaan tersebut harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik, namun tidak dijelaskan dalam ayat tersebut maupun penjelasan Pasal 164 UU 13/2003 mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure),
Alasan lainnya yang dapat menjadi penyebab pengakhiran hubungan kerja, adalah efisiensi. Terkait dengan efisiensi, Pasal 164 ayat (3) mengatur bahwa Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).Â
Pemutusan hubungan kerja karena alasan efisiensi memberikan konsekuensi uang pesangon yang lebih besar, daripada pengakhiran hubungan kerja karena keadaan memaksa (force majeure).
Berdasarkan penjelasan diatas, terkait dengan pandemi Covid-19, penting untuk mengkaji apakah Covid-19 ini  dapat dikategorikan sebagai keadaan kahar (force majeure) yang dapat menjadi alasan pemutusan  hubungan kerja.
2. Force Majeure Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum PerdataÂ
Pengertian force majeure dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata") adalah sebagai berikut:
Pasal 1244 KUHPerdata
" jika ada alasan untuk itu siberhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila tidak membuktikan bahwa hak tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya".
Pasal 1245 KUHPerdata:
"tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya apabila karena keadaan memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, siberhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan sebuah perbuatan yang terlarang".