Mohon tunggu...
Alvito Renaldi
Alvito Renaldi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hanya orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ruang Lingkup Hukum Perdata Islam di Indonesia mengenai Perkawinan

21 Maret 2023   21:36 Diperbarui: 21 Maret 2023   22:11 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

1.HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Hukum perdata Islam di Indonesia mengacu pada seperangkat aturan hukum yang berkaitan dengan hukum perdata berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam. Hukum perdata Islam di Indonesia mencakup beberapa hal seperti pernikahan, warisan, wakaf, jual beli, pinjam-meminjam, dan sebagainya.

Hukum perdata Islam di Indonesia didasarkan pada sumber hukum utama, yaitu Al-Quran dan Sunnah, serta diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Hak Cipta.

Hukum perdata Islam di Indonesia juga mengakomodasi berbagai prinsip hukum Islam seperti keadilan, kesetaraan, dan kemanfaatan. Misalnya, dalam hal pernikahan, hukum perdata Islam di Indonesia menekankan pada pentingnya kesepakatan antara kedua belah pihak dan keadilan dalam pembagian harta.

Selain itu, Indonesia juga memiliki lembaga pengadilan yang khusus menangani kasus-kasus hukum perdata Islam, yaitu Pengadilan Agama. Pengadilan Agama memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan perselisihan yang berkaitan dengan hukum perdata Islam di Indonesia.

Dalam praktiknya, hukum perdata Islam di Indonesia sering kali digunakan oleh masyarakat Muslim di Indonesia sebagai alternatif dalam menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan formal, seperti melalui lembaga pengadilan agama, atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif lainnya, seperti mediasi atau arbitrase.

2.PRINSIP PERKAWINAN DALAM UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah undang-undang yang mengatur mengenai proses pernikahan di Indonesia. Prinsip-prinsip perkawinan dalam undang-undang ini terdiri dari tiga aspek utama yaitu:

a.Kesetaraan: Prinsip ini mengatur bahwa kedua belah pihak dalam perkawinan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dalam perkawinan, suami dan istri memiliki kedudukan yang sama di dalam keluarga, dan keduanya memiliki hak yang sama untuk mengambil keputusan dan tanggung jawab yang sama dalam mendidik dan mengasuh anak-anak mereka.

b.Keterbukaan: Prinsip ini mengatur bahwa perkawinan harus didasarkan pada persetujuan yang bebas dan tanpa paksaan dari kedua belah pihak. Calon mempelai harus memberikan persetujuan secara sadar dan tanpa tekanan dari pihak manapun, serta memiliki kualifikasi hukum yang diperlukan.

c.Kepastian hukum: Prinsip ini mengatur bahwa perkawinan harus didaftarkan dan diakui secara resmi oleh negara. Dalam hal ini, negara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perkawinan diakui secara sah dan memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pasangan yang menikah dan keluarga mereka.

Dengan mengikuti prinsip-prinsip perkawinan yang tercantum dalam undang-undang ini, diharapkan proses pernikahan di Indonesia dapat terlaksana dengan baik dan memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pasangan yang menikah dan keluarga mereka.

KHI (Kitab Hukum Islam) merupakan sumber hukum utama di Indonesia yang mengatur tentang perkawinan dalam Islam. Prinsip-prinsip perkawinan dalam KHI terdiri dari:

a.Persetujuan: Prinsip ini mengatur bahwa pernikahan harus didasarkan pada persetujuan yang bebas dan tanpa paksaan dari kedua belah pihak. Calon mempelai harus memberikan persetujuan secara sadar dan tanpa tekanan dari pihak manapun.

b.Kesetaraan: Prinsip ini mengatur bahwa pasangan suami dan istri memiliki kedudukan yang sama dalam pernikahan. Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam hal tanggung jawab dan hak dalam mendidik dan mengasuh anak-anak mereka.

c.Keseimbangan: Prinsip ini mengatur bahwa pernikahan harus menciptakan keseimbangan dan keharmonisan dalam hubungan antara suami dan istri serta dalam menjalankan tanggung jawab sebagai orang tua.

d.Tanggung jawab: Prinsip ini mengatur bahwa pasangan yang menikah harus bertanggung jawab terhadap keluarga yang mereka bentuk. Hal ini meliputi tanggung jawab dalam hal keuangan, mendidik dan mengasuh anak-anak, serta memenuhi kebutuhan keluarga secara umum.

e.Kepastian hukum: Prinsip ini mengatur bahwa pernikahan harus dilakukan secara sah dan diakui oleh negara. Pernikahan yang diakui secara resmi memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pasangan yang menikah dan keluarga mereka.

Dengan mengikuti prinsip-prinsip perkawinan yang terdapat dalam KHI, diharapkan pernikahan dalam Islam dapat terlaksana dengan baik dan memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pasangan yang menikah dan keluarga mereka.

3.URGENSI PENCATATAN PERKAWINAN DAN DAMPAKNYA DALAM BEBERAPA SEGI

Pencatatan perkawinan secara sosiologis memiliki beberapa hal penting diantaranya. Pertama legalitas dan kepastian hukum: Pencatatan perkawinan secara sosiologis memberikan bukti hukum yang sah dan dapat diakui oleh negara mengenai status pernikahan pasangan suami istri. Hal ini memberikan kepastian hukum bagi pasangan suami istri dalam hal perlindungan hukum dan hak-hak yang melekat pada status perkawinan. 

Kedua, identifikasi populasi: Pencatatan perkawinan secara sosiologis membantu pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk mengidentifikasi jumlah populasi suami istri dan keluarga di suatu wilayah atau negara. Hal ini sangat penting untuk pengambilan kebijakan di berbagai bidang seperti kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Ketiga statistik sosial: Pencatatan perkawinan secara sosiologis juga membantu pengumpulan data dan statistik sosial mengenai status perkawinan dan keluarga di suatu wilayah atau negara. 

Data ini dapat digunakan untuk analisis sosial, perencanaan kebijakan sosial, dan pengambilan keputusan dalam berbagai bidang. Keempat perlindungan anak: Pencatatan perkawinan juga sangat penting dalam hal perlindungan anak. Dengan adanya bukti hukum yang sah mengenai status pernikahan orang tua, maka anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut akan memiliki hak-hak yang terjamin, seperti hak atas warisan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Kemudian tidak dicatatnya pernikahan secara yuridis dapat berdampak pada beberapa hal. 

Pertama, tidak mendapatkan perlindungan hukum: pasangan yang tidak mencatatkan pernikahan secara yuridis tidak mendapatkan perlindungan hukum yang seharusnya diberikan kepada mereka. hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam mendapatkan hak-hak yang seharusnya dimiliki, seperti hak waris dan nafkah. Kedua, tidak bisa memperoleh dokumen resmi: pasangan yang tidak mencatatkan pernikahan secara yuridis tidak dapat memperoleh dokumen resmi seperti akta nikah, surat keterangan perkawinan, dan kartu keluarga. 

Dokumen ini sangat penting dalam hal mengurus administrasi kependudukan, mengajukan kredit bank, dan mendapatkan pelayanan publik lainnya. Ketiga, tidak dapat mengajukan gugatan: jika terjadi masalah dalam hubungan suami istri, pasangan yang tidak mencatatkan pernikahan secara yuridis tidak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang muncul dalam hubungan mereka. Keempat, tidak dapat menjamin hak anak: jika pasangan memiliki anak, maka anak tersebut tidak akan memiliki kepastian hukum atas status kewarganegaraannya, hak atas warisan, hak mendapatkan nafkah dan sebagainya.

Pencatatan perkawinan secara religius memiliki beberapa hal penting. Pertama, kepastian agama: Pencatatan perkawinan secara religius memberikan kepastian terhadap status pernikahan pasangan suami istri di mata agama yang dianut. Pencatatan ini juga memastikan bahwa pernikahan tersebut telah dilangsungkan sesuai dengan ajaran agama yang berlaku. Kedua, meningkatkan kualitas hubungan suami istri: Pencatatan perkawinan secara religius juga dapat meningkatkan kualitas hubungan suami istri. 

Hal ini karena pernikahan di mata agama memiliki nilai-nilai moral yang kuat, seperti kesetiaan, saling menghormati, dan saling mendukung. Dengan memperkuat nilai-nilai ini, maka hubungan suami istri dapat menjadi lebih harmonis dan bahagia. Ketiga, meningkatkan tanggung jawab sosial: Pencatatan perkawinan secara religius juga dapat meningkatkan tanggung jawab sosial pasangan suami istri. 

Pernikahan di mata agama tidak hanya melibatkan hubungan antara dua orang, tetapi juga hubungan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar. Dengan melakukan pernikahan secara religius, pasangan suami istri diharapkan dapat membangun keluarga yang harmonis dan bermanfaat bagi masyarakat. Tidak dicatatnya pernikahan secara religius juga dapat berdampak seperti tidak terlindungi hukum agama, Pencatatan pernikahan secara religius juga penting untuk melindungi pasangan suami istri dalam aspek hukum agama. Tanpa pencatatan pernikahan secara religius, pasangan suami istri tidak akan memiliki hak dan perlindungan yang sesuai dengan ajaran agama yang dianut.

Pencatatan perkawinan secara yuridis juga memiliki beberapa hal. Pertama, kepastian hukum: Pencatatan perkawinan secara yuridis memberikan kepastian hukum terhadap status pernikahan pasangan suami istri di mata hukum. Pencatatan ini juga memberikan kejelasan terhadap hak dan kewajiban pasangan suami istri sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kedua, mencegah perkawinan ganda: Dengan adanya pencatatan perkawinan secara yuridis, maka akan mudah untuk mengetahui apakah seorang pasangan sudah menikah atau belum. 

Hal ini akan mencegah terjadinya perkawinan ganda dan melindungi hak-hak pasangan yang sah. Ketiga, perlindungan hukum bagi Anak: Pencatatan perkawinan secara yuridis juga penting untuk melindungi hak-hak anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Anak akan memiliki kepastian hukum atas status kewarganegaraannya, hak atas warisan, hak mendapatkan nafkah, hak atas perlindungan hukum, dan hak-hak lainnya. Keempat, perlindungan bagi pasangan suami istri: Pencatatan perkawinan secara yuridis juga memberikan perlindungan bagi pasangan suami istri. 

Jika terjadi masalah dalam hubungan mereka, mereka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dengan bukti pencatatan perkawinan sebagai dasar yang sah. Kelima, penerbitan dokumen resmi: Pencatatan perkawinan secara yuridis juga memungkinkan penerbitan dokumen resmi seperti akta nikah, surat keterangan perkawinan, dan kartu keluarga. Dokumen ini sangat penting dalam hal mengurus administrasi kependudukan, mengajukan kredit bank, dan mendapatkan pelayanan publik lainnya. 

Kemudian Tidak dicatatnya pernikahan secara yuridis dapat berdampak pada beberapa hal. Tidak mendapatkan perlindungan hukum, pasangan yang tidak mencatatkan pernikahan secara yuridis tidak mendapatkan perlindungan hukum yang seharusnya diberikan kepada mereka. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan dalam mendapatkan hak-hak yang seharusnya dimiliki, seperti hak waris dan nafkah. Tidak dapat juga menjamin mak anak: Jika pasangan memiliki anak, maka anak tersebut tidak akan memiliki kepastian hukum atas status kewarganegaraannya, hak atas warisan, hak mendapatkan nafkah.

4.PANDANGAN ULAMA DAN KHI DALAM KAWIN HAMIL

Dalam perspektif Islam, perkawinan wanita hamil adalah dibolehkan dan tidak dianggap sebagai hal yang melanggar syariat Islam. Pendapat ini didasarkan pada beberapa hadis yang mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad SAW memperbolehkan perkawinan wanita hamil.

Di sisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa pernikahan wanita hamil harus dipertimbangkan dengan seksama karena dapat menimbulkan beberapa masalah di kemudian hari. Beberapa masalah yang dapat timbul misalnya adalah adanya dugaan bahwa kehamilan tersebut bukan hasil dari pernikahan, adanya tuntutan hak asuh anak dari pasangan sebelumnya, dan sebagainya.

Namun, secara keseluruhan, perkawinan wanita hamil dalam perspektif Islam tetap diperbolehkan dan tidak ada larangan secara eksplisit dalam ajaran Islam terkait hal ini. Oleh karena itu, sebaiknya keputusan untuk menikah atau tidak dalam kondisi hamil harus dipertimbangkan secara matang dengan memperhatikan kondisi sosial, agama, dan kesehatan bagi pasangan suami istri dan calon bayi.

Kemudian Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tidak ada ketentuan khusus yang melarang perkawinan wanita hamil. Oleh karena itu, secara yuridis, perkawinan wanita hamil diatur seperti perkawinan pada umumnya tanpa ada pengecualian.

Namun, meskipun tidak ada larangan secara eksplisit dalam KHI, dalam prakteknya terdapat beberapa kasus di mana pihak keluarga atau masyarakat menolak perkawinan wanita hamil karena dianggap tidak pantas atau tercela. Hal ini terkait dengan budaya dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.

Dalam perspektif Islam, perkawinan wanita hamil dianggap sah selama kedua belah pihak telah menyetujui dan memenuhi syarat-syarat sahnya pernikahan menurut hukum Islam. Oleh karena itu, sebaiknya keputusan untuk menikah atau tidak dalam kondisi hamil harus dipertimbangkan dengan matang, dengan memperhatikan kondisi sosial, agama, dan kesehatan bagi pasangan suami istri dan calon bayi.

5.LANGKAH-LANGKAH MENCEGAH PERCERAIAN

Berikut adalah beberapa tips yang dapat membantu menghindari perceraian dalam pernikahan:

1)Komunikasi yang baik: Berbicaralah dengan pasangan secara terbuka dan jujur mengenai perasaan dan kebutuhan masing-masing. Dengarkan pendapat pasangan dengan penuh perhatian dan saling menghargai.

2)Keterbukaan dan kejujuran: Jangan menutup-nutupi sesuatu dari pasangan. Keterbukaan dan kejujuran akan membantu membangun kepercayaan satu sama lain.

3)Menghargai perbedaan: Terimalah pasangan Anda apa adanya, termasuk perbedaan pandangan dan kebiasaan. Belajarlah menghargai perbedaan dan menyelesaikan masalah dengan cara yang bijaksana.

4)Berusaha untuk memahami pasangan: Usahakan untuk memahami pasangan Anda dan kebutuhan serta keinginan yang dimilikinya. Hal ini akan membantu membangun hubungan yang saling mendukung.

5)Meluangkan waktu bersama: Sibukkan diri dengan kesibukan sehari-hari dapat membuat pasangan merasa diabaikan. Meluangkan waktu bersama pasangan secara berkala dapat membantu mempererat hubungan.

6)Menjaga komitmen: Pastikan Anda dan pasangan tetap menjaga komitmen yang telah dibuat saat menikah, seperti kesetiaan, kejujuran, dan saling mendukung.

7)Mengatasi masalah dengan bijaksana: Jangan biarkan masalah semakin membesar, segera atasi dengan cara yang bijaksana dan saling mendukung. Jangan pernah menyelesaikan masalah dengan kekerasan atau saling menyalahkan.

8)Konseling pernikahan: Jika ada masalah yang sulit diatasi, pertimbangkan untuk mencari bantuan konseling pernikahan dari ahli atau terapis yang terpercaya.

6.REVIEW BUKU

Judul : Hukum Waris

Penulis : Dra. Amal Hayati, M.Hum; Rizki Muhammad Haris, S.H.I; Zuhdi Hasibuhan, S.H.I.

Penerbit : CV. Manhaji

Terbit : 2015

Cetakan : Pertama, Juni 2015

Dalam penjelasan mengenai pembagian harta waris , penulis berkeinginan pembaca dapat memahami secara jelas dan rinci. Hal ini dapat di lihat dari daftar isi yang padat dan dalam pembahasan isi buku ini setiap topik bahasan di beri penjelasan yang diharapkan pembaca dapat memahaminya dengan mudah. Di satu sisi penulis ingin memahamkan pembaca dengan berbagai macam penjelasan namun di sisi lain pembaca agak kebingungan karena penjelasan yang tertuang menggunakan bahasa yang kurang lugas atau kurang luwes sehingga pembaca kadang harus beberapa kali membaca supaya paham maksud dari penjelasan topik yang ada dalam buku ini. Mungkin masukan ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk cetakan selanjutnya supaya dapat memperbaiki. Hal ini penting karena hukum waris ini menyangkut pembagian harta dan kemaslahatan bagi umat islam.

Dapat ditarik kesimpulan proses pewarisan mempunyai banyak komponen, baik dari rukun dan syarat, asas-asas kewarisan, sebab dan penghalang waris, pembagian waris, serta wasiat. Ahli waris dapat memiliki harta waris jika memenuhi syarat dan rukun kewarisan serta tidak mempunyai penghalang waris. Dalam proses mewarisi, pewaris dapat mewarisi ketika sudah meninggal dengan meninggalkan harta miliknya. Dari itu semua dapat memunculkan sebuah hasrat untuk mengkaji ulang tentang hukum waris ini kemudian mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya hukum waris, tujuan itu ditunjukkan supaya masyarakat paham dan supaya tidak terjadinya kisruh saat pembagan harta waris. Salah satu tujuannya supaya terciptanya kondisi yang stabil ketika proses pembagian waris karena setiap masing-masing dari kita sudah mempunyai bekal ilmu kewarisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun