Mohon tunggu...
Alvin Haidar
Alvin Haidar Mohon Tunggu... Relawan - Chemical engineer in the making

Teknik kimia ITB 2016, Terbentur, terbentur, terus tidur Pembelajar, pelajar, pengajar, terhajar.... Cek ig @sobatgajah yakkk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Gadis Sendu Bermata Biru

16 April 2020   00:39 Diperbarui: 16 April 2020   00:34 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita hanya fiksi jika ada kesamaan nama dan tempat maka itu sebuah kebetulan belaka yang tidak disengaja atau jika iya penulis pernah kesana

Kamis, Maret 2018 merupakan hari pengumpulan laporan praktikum. Hari itu sengaja aku bangun lebih pagi untuk mengantre di meja bawah tangga 'hotspot' gedung kuliah. Jam himpunan ternyata masih menunjukkan pukul 07.00, kepagian, pikirku. Sambil membolak-balikkan laporan sejenak aku menengok meja bundar himpunan yang masih sepi dari aktivitas mahasiswa. 

Meja bundar yang sehari-hari menjadi tempat anak teknik kimia berdiskusi atau membuka gawai lepi mencicil berbagai tugas yang menjadi santapan sehari-hari.

"Ah kepagian ini mah, kakak asisten juga belum dateng ini"

Penat bosan menghampiri hingga sesosok hewan penghuni labtek biru yakni kucing muncul dan bertengger di atas meja "dwi garis". Beranjak dari meja bawah tangga kemudian kusempatkan mengelus kucing di atas meja. Meja dwi garis juga merupakan tempat favorit, jika meja bundar ramai karena daya tarik colokan listrik yang melimpah, maka meja dwi garis merupakan tempat paling asyik untuk berinteraksi ngobrol, main kartu remi sampai UNO.

Baru beberapa menit bermain bersama si kucing, di pinggir meja kayu terlihat gadis berkerudung yang sedari tadi telah sampai lebih pagi mengecek laporan. Gadis ini teman seangkatanku, wajahnya manis, kulitnya eksotis khas timur tengah  ditambah dengan baluran kerudung ungu yang selalu bersandar di kepalanya. 

Bola mata biru dibalik kacamatanya semakin menambah paras manis ketika bertatap. Tak ada yang tahu jelas dari mana asalnya, yang kutahu dari teman seangkatan dia gadis asli salah satu desa di Aceh Darussalam. Ibarat es krim, dia manis tapi sayang dingin, bukan tipeku sih.

Gadis ini jarang berada di himpunan, bukan cuman di himpunan, di angkatan pun demikian. Jika sehabis kelas berbagai bocah bergerombol dengan geng-geng mereka. 

Berbeda dengan gadis ini, dia akan bergegas menarik keluar tas dan pergi dari hamburan massa setelah kelas. Jarang sekali ada yang kenal mendalam tentangnya, dia nongkrong di himpunan pun merupakan sesuatu yang langka. Aku yang memang kepo dengan urusan orang tidak melewatkan kesempatan ini untuk mengenal dekat si gadis. Beranjak dari meja hitam aku mencoba menghampiri si gadis yang masih teliti memeriksa laporan.

"Pagi mel, tumben sudah sampai sini pagi-pagi?," basa basi ku memulai percakapan. Meski aku tahu alasan dia datang dari laporan labtek di genggaman.

" Iya ngumpulin laporan," Jawabnya singkat merunduk meski sempat menatap karena kaget tahu-tahu aku sapa.

Baru sejenak ingin memulai bahan obrolan, dari jauh terlihat kakak asisten telah siaga di meja "hotspot" berbalut cap basah penanda sahnya laporan praktikum. Si gadis langsung beranjak dari joglo sambil permisi menghampiri asisten untuk mengantre.

"Maaf, mau ngecek laporan dulu," Sambil sedikit merunduk seolah tak ingin melihat wajahku. Sayang sekali pikirku, padahal dengan mencoba mengetahui seluk beluk si gadis, rasa penasaran dan asumsi orang sekitar yang selama ini tertancap setidaknya bisa hilang.

Jumat, akhir bulan April. Sore hari di himpunan merupakan jam-jam ramai. Suara tek-tok dan umpatan orang-orang bermain tenis meja terdengar jelas, diikuti gelak tawa anak-anak jurusan yang baru saja menjalani kelas terakhir di minggu ini. Yap, sore di hari Jumat merupakan waktu yang pas untuk segala kegiatan yang ada di labtek biru.

 Iringan nyanyian dan lantunan gitar dari himpunan sebelah turut meramaikan senja menyapa rona gelap Sabtu malam. Tidak hanya mahasiswa, civitas akademika pun turut bahagia jika Jumat sore datang. Beberapa dosen berlalu melewati himpunan sambil melemparkan senyum pamit. Masadenta bergerombol pulang bareng dan petugas keamanan siap-siap berganti shift malam untuk siap membubarkan mahasiswa nakal yang kelamaan nongkrong di himpunan wkwkwkw.

Pukul 17.00 aku masih asyik mengotak-atik laptop di dalam sekretariat. Hingga teringat sudah hampir 1 bulan si gadis bermata biru tidak masuk kelas. Banyak yang sadar namun bungkam, toh pasti ada yang bakal mencari pikir banyak orang. Ya, terakhir pertemuanku dengan si gadis ialah saat pengumpulan laporan bulan lalu.

Sambil merenung tiba-tiba suara mang Karim memecah bayang, menghamburkan imajinasi seketika. Berbeda dengan civitas lain yang saat sore tiba sudah mulai pulang, lain halnya dengan mang Karim, penjual khas "Starling" ini sedia menemani mahasiswa hingga jam malam sambil berjualan.

"Mas, kopi gak?" Kepalanya sedikit menjorok ke dalam ruang sekretariat dengan suara khasnya menawarkan minuman.

"Iya mang, kopi susu yak!" Jawabku singkat sambil teriak.

"Waduh susu yang mana nih?" Gurau mang Karim singkat sambil sigap mengambil termos panas di meja jualan.

Seruput demi seruput kopi susu kuteguk. Hangat, tapi cukup membakar semangat untuk menyelesaikan tugas sebelum jam 18.00. Sinyal sekretariat yang jelek membuatku beralih ke meja bundar untuk mencari internet. Sambil mencari colokan kosong, pengerjaan tugas kembali dilaksanakan. Sayup-sayup suara azan Maghrib dari arah batan terdengar, beberapa anak-anak himpunan ada yang bersiap pulang menyambut weekend, sebagian lain menyeret beberapa terpal-terpal sisa acara untuk alas forum.

"Mang Karim ini uangnya yak," sambil merogoh kocek mengeluarkan uang dua ribuan.

"Siap mas, mas si gadis sudah lama gak kelihatan yak?" mang Karim tiba-tiba menyeletuk menanyakan si gadis. Heran, kenapa mang Karim bisa tahu.

"Wah iya ini mang sudah sebulan lebih, kok mang Karim tahu?" tanyaku penasaran.

"Iya, mang Karim sering ketemu kalo lagi mampir dan nyapa di Cisitu," ungkap mang Karim.

Melalui percakapan mang Karim setidaknya aku jadi tahu alamat si gadis. Cukup dekat dengan gang kosku ternyata. Aku jadi malu, mang Karim yang notabene bukan mahasiswa atau civitas lebih mengenal si gadis.

Malam sudah mulai larut, pukul 20.00 aku langsung bergegas pulang ke kos sambil mengendarai motor. Sepintas teringat obrolan dengan mang Karim tadi sore, terkait si gadis, hingga terpintas di benak untuk mencoba ke alamat kosnya menanyakan kabar ketidakhadirannya selama berminggu-minggu. Cisitu Lama gang XX No.3 , motorku mulai melambat bersiap berbelok ke sebelah gang. Saat tepat di mulut gang, aku terdiam sejenak, mulai muncul rasa ragu untuk mengunjungi.

"Elah mas, jangan sok peduli, sudah, besok saja minta teman-nya yang cewek" bisikan-bisikan sanggahan mulai hadir di hati. Tapi, akhirnya kuturuti isi kepala. Sudah malam, dan aku yakin si gadis juga terganggu dengan kehadiran lelaki yang entah siapa itu. Besok hari libur akan kuusahakan teman-teman cewek angkatan menengoknya.

Sabtu pagi, masih di bulan April. Hari libur setidaknya aku bisa bangkit dari kasur lebih siang. Di depan kos terlihat Bapak RT dan RW sedang nongkrong depan masjid membawa gendong cucu-cucu mereka jalan pagi. Jalanan Cisitu tidak sepadat hari biasa, kosong melompong. Gang aku berjarak dua gang dari si gadis. Sambil menyisir jalanan Cisitu aku mencari sarapan. Hingga aku melewati gang No. XX kosan si gadis.

Samar-samar aku sadar terdapat hal janggal di pinggir gang XX dari kejauhan. Sekumpulan orang berpakaian medis membawa tandu memasuki mulut gang. Tersandar pula ambulans di ujung gang yang untungnya tidak membuat macet. Rasa panik mulai melanda. Umpatan di pikirku semakin kencang terdengar. 

HADUH. JANGAN. SAMPE. JANGAN. Langsung aku telusuri gang sambil berharap segala imajinasi buruk dalam pikiran terkubur. Sampai aku melihat beberapa warga berdiri di depan sebuah kos. "Kos no. 3", persis nomor kos si gadis.

"Pak, kenapa yak rame banget?" Tanyaku ke salah satu warga yang sepertinya mahasiswa.

"Iya mas, ada cewek bunuh diri katanya." Jawabnya berbisik.

BYARRR. Ambyar. Akalku jadi kacau.

Tenaga medis keluar sambil membawa tandu berisikan tubuh manusia. Beberapa warga menyuruh minggir warga lain yang hendak mengerumuni dan melihat. Aku sedikit maju dan melihat jelas kondisi mayat. Terlihat...itu si gadis. Tubuhnya terbujur kaku, dengan tangan kanan tersilet-silet bekas sayatan. Bercak darah terlihat di sekujur baju yang dikenakannya. Pancaran bola mata birunya sedikit terlihat di balik kelopak matanya yang tertutup sedikit. Aku yang bingung dan shock panik untuk berbuat sesuatu. Hingga aku meratapi tubuh si gadis dibawa ambulans.

Hari Minggu, seharusnya menjadi hari yang nikmat untuk merebahkan diri.  Namun semua berubah menjadi kabut berselimut duka. Iya, kabar tentang bunuh diri si gadis telah sampai ke khalayak media. Ucapan bela sungkawa dan berbagai cerita publik muncul di berbagai media massa. Satu angkatan tidak ada yang mengetahui pasti berita hingga mereka melihat di lini masa kemarin.

Menurut berita, Si gadis kehilangan banyak darah akibat tindakannya merobek urat nadi di pergelangan tangan. Menurut perkiraan si gadis melakukan bunuh diri sekitar pukul 21.00 malam. Tidak ada yang sadar, hingga Bapak kos mengetuk pintu mencari si gadis yang sudah seminggu tidak keluar kamar. Sesal dan rasa bersalah hadir, karena aku tidak menyempatkan diri berkunjung malam itu. Jika saja malam itu setidaknya aku berkunjung, mungkinkah ada kesempatan si gadis itu hidup? Ah sial, rasa bersalah terus menghampiri. Namun, aku tidak bisa mengelakkan takdir dan harus mendoakan. 

Suatu tanda tanya yang masih tersisa, kenapa dia melakukan itu?

Hari ini sambil menunggu kepastian pemakaman si gadis, aku berencana berkunjung ke kos si gadis bertemu bapak pemilik kos. Pak Darmawan namanya, orangnya sederhana, sunda pisan dan merupakan penduduk asli Cisitu tujuh turunan mungkin. Kami berbicara panjang lebar tentang latar dan keseharian gadis. 

Pak Darmawan sepertinya juga sedih dan kasihan dengan keseharian si gadis. Interaksi dan komunikasi juga minim, dan lebih sering mengurung di  kamar. Berbincang pun biasanya untuk masalah pembayaran kos. Hal itu memuncak setelah dua minggu lebih si gadis tidak keluar kamar. Setelah lama ngobrol kemudian Pak Darmawan memberikan secarik kertas yang tertinggal di kamar si gadis.

"Oiya dek, Bapak juga nemu ini di kamarnya, bapak gak ngerti bahasanya" Pak Darmawan mengeluarkan secarik kertas dari saku.

Lama kuperhatikan itu merupakan bahasa Arab khas melayu yang jika dibaca akan memberikan makna bahasa yang mirip bahasa Indonesia. Aku kemudian mengartikannya.

"Assalamualaikum abah, umi, sudah minggu ke-4 aku sudah tidak masuk kelas. Bukan. Bukan sakit, alhamdulillah raga ini sehat. Aku sudah gak tahan mah, bah. Semua mata itu. Semua mata orang-orang seakan menuduh dan memandang rendah diriku di belakang. Mulut-mulut itu, semuanya seakan-akan menghardik dan membicarakan kejelekanku sambil berbisik. Aku tidak tahu apa salahku mah, bah. Semua orang tidak mau diajak atau mengajak berbicara. Teman, dosen, dan semua pun hanya peduli dengan kehadiran ragaku tanpa memikirkan keberadaan jiwaku di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang kutemui dan berpapasan hanya lewat tanpa memandang. Aku berdoa pada Tuhan semoga setelah surat ini kutulis ada orang yang setidaknya menyapa."

Rasa sesal akan keputusanku di malam itu kembali muncul. Aku mulai berpikir, keputusan bunuh diri si gadis bukan saja tentang keputusan singkat karena stress semata atau mencari perhatian. Hal ini merupakan akumulasi bagaimana lingkungan bersikap terhadap dia. Si gadis sepertinya berusaha masuk, tapi sayang lingkungannya terlanjur menolak dan memberikan respon negatif. Si gadis memang bersalah telah membunuh dirinya sendiri, tapi aku, kita, dan teman-teman yang sebenarnya telah lebih dahulu membunuh jiwanya.

-END-

Source gambar:
Gambar oleh Anja#helpinghands#stayathome #solidarity#stays healthy dari Pixabay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun