"Mang Karim ini uangnya yak," sambil merogoh kocek mengeluarkan uang dua ribuan.
"Siap mas, mas si gadis sudah lama gak kelihatan yak?" mang Karim tiba-tiba menyeletuk menanyakan si gadis. Heran, kenapa mang Karim bisa tahu.
"Wah iya ini mang sudah sebulan lebih, kok mang Karim tahu?" tanyaku penasaran.
"Iya, mang Karim sering ketemu kalo lagi mampir dan nyapa di Cisitu," ungkap mang Karim.
Melalui percakapan mang Karim setidaknya aku jadi tahu alamat si gadis. Cukup dekat dengan gang kosku ternyata. Aku jadi malu, mang Karim yang notabene bukan mahasiswa atau civitas lebih mengenal si gadis.
Malam sudah mulai larut, pukul 20.00 aku langsung bergegas pulang ke kos sambil mengendarai motor. Sepintas teringat obrolan dengan mang Karim tadi sore, terkait si gadis, hingga terpintas di benak untuk mencoba ke alamat kosnya menanyakan kabar ketidakhadirannya selama berminggu-minggu. Cisitu Lama gang XX No.3 , motorku mulai melambat bersiap berbelok ke sebelah gang. Saat tepat di mulut gang, aku terdiam sejenak, mulai muncul rasa ragu untuk mengunjungi.
"Elah mas, jangan sok peduli, sudah, besok saja minta teman-nya yang cewek" bisikan-bisikan sanggahan mulai hadir di hati. Tapi, akhirnya kuturuti isi kepala. Sudah malam, dan aku yakin si gadis juga terganggu dengan kehadiran lelaki yang entah siapa itu. Besok hari libur akan kuusahakan teman-teman cewek angkatan menengoknya.
Sabtu pagi, masih di bulan April. Hari libur setidaknya aku bisa bangkit dari kasur lebih siang. Di depan kos terlihat Bapak RT dan RW sedang nongkrong depan masjid membawa gendong cucu-cucu mereka jalan pagi. Jalanan Cisitu tidak sepadat hari biasa, kosong melompong. Gang aku berjarak dua gang dari si gadis. Sambil menyisir jalanan Cisitu aku mencari sarapan. Hingga aku melewati gang No. XX kosan si gadis.
Samar-samar aku sadar terdapat hal janggal di pinggir gang XX dari kejauhan. Sekumpulan orang berpakaian medis membawa tandu memasuki mulut gang. Tersandar pula ambulans di ujung gang yang untungnya tidak membuat macet. Rasa panik mulai melanda. Umpatan di pikirku semakin kencang terdengar.Â
HADUH. JANGAN. SAMPE. JANGAN. Langsung aku telusuri gang sambil berharap segala imajinasi buruk dalam pikiran terkubur. Sampai aku melihat beberapa warga berdiri di depan sebuah kos. "Kos no. 3", persis nomor kos si gadis.
"Pak, kenapa yak rame banget?" Tanyaku ke salah satu warga yang sepertinya mahasiswa.