"Iya mas, ada cewek bunuh diri katanya." Jawabnya berbisik.
BYARRR. Ambyar. Akalku jadi kacau.
Tenaga medis keluar sambil membawa tandu berisikan tubuh manusia. Beberapa warga menyuruh minggir warga lain yang hendak mengerumuni dan melihat. Aku sedikit maju dan melihat jelas kondisi mayat. Terlihat...itu si gadis. Tubuhnya terbujur kaku, dengan tangan kanan tersilet-silet bekas sayatan. Bercak darah terlihat di sekujur baju yang dikenakannya. Pancaran bola mata birunya sedikit terlihat di balik kelopak matanya yang tertutup sedikit. Aku yang bingung dan shock panik untuk berbuat sesuatu. Hingga aku meratapi tubuh si gadis dibawa ambulans.
Hari Minggu, seharusnya menjadi hari yang nikmat untuk merebahkan diri. Â Namun semua berubah menjadi kabut berselimut duka. Iya, kabar tentang bunuh diri si gadis telah sampai ke khalayak media. Ucapan bela sungkawa dan berbagai cerita publik muncul di berbagai media massa. Satu angkatan tidak ada yang mengetahui pasti berita hingga mereka melihat di lini masa kemarin.
Menurut berita, Si gadis kehilangan banyak darah akibat tindakannya merobek urat nadi di pergelangan tangan. Menurut perkiraan si gadis melakukan bunuh diri sekitar pukul 21.00 malam. Tidak ada yang sadar, hingga Bapak kos mengetuk pintu mencari si gadis yang sudah seminggu tidak keluar kamar. Sesal dan rasa bersalah hadir, karena aku tidak menyempatkan diri berkunjung malam itu. Jika saja malam itu setidaknya aku berkunjung, mungkinkah ada kesempatan si gadis itu hidup? Ah sial, rasa bersalah terus menghampiri. Namun, aku tidak bisa mengelakkan takdir dan harus mendoakan.Â
Suatu tanda tanya yang masih tersisa, kenapa dia melakukan itu?
Hari ini sambil menunggu kepastian pemakaman si gadis, aku berencana berkunjung ke kos si gadis bertemu bapak pemilik kos. Pak Darmawan namanya, orangnya sederhana, sunda pisan dan merupakan penduduk asli Cisitu tujuh turunan mungkin. Kami berbicara panjang lebar tentang latar dan keseharian gadis.Â
Pak Darmawan sepertinya juga sedih dan kasihan dengan keseharian si gadis. Interaksi dan komunikasi juga minim, dan lebih sering mengurung di  kamar. Berbincang pun biasanya untuk masalah pembayaran kos. Hal itu memuncak setelah dua minggu lebih si gadis tidak keluar kamar. Setelah lama ngobrol kemudian Pak Darmawan memberikan secarik kertas yang tertinggal di kamar si gadis.
"Oiya dek, Bapak juga nemu ini di kamarnya, bapak gak ngerti bahasanya" Pak Darmawan mengeluarkan secarik kertas dari saku.
Lama kuperhatikan itu merupakan bahasa Arab khas melayu yang jika dibaca akan memberikan makna bahasa yang mirip bahasa Indonesia. Aku kemudian mengartikannya.
"Assalamualaikum abah, umi, sudah minggu ke-4 aku sudah tidak masuk kelas. Bukan. Bukan sakit, alhamdulillah raga ini sehat. Aku sudah gak tahan mah, bah. Semua mata itu. Semua mata orang-orang seakan menuduh dan memandang rendah diriku di belakang. Mulut-mulut itu, semuanya seakan-akan menghardik dan membicarakan kejelekanku sambil berbisik. Aku tidak tahu apa salahku mah, bah. Semua orang tidak mau diajak atau mengajak berbicara. Teman, dosen, dan semua pun hanya peduli dengan kehadiran ragaku tanpa memikirkan keberadaan jiwaku di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang kutemui dan berpapasan hanya lewat tanpa memandang. Aku berdoa pada Tuhan semoga setelah surat ini kutulis ada orang yang setidaknya menyapa."