"Ada lagi yang turut meruncing runcingkannya? tanya saya benar benar lega karena jam pelajaran saya memang sudah hampir habis.
"Oh ya para pengamat dadakan di media sosial. Persis ketika G30S/PKI pak modusnya. Juga persis desas desus ketika Era Reformasi. Internal dan eksternal campur baur siapa lawan siapa,siapa teman siapa" tambah mereka sambil tertawa.
"Menurut kalian apa yang menyebabkan seperti itu?" tanya saya menjelang beberapa menit sebelum bel berbunyi.
"Karena mental ORBA yang masih bercokol pak. Uang dan janji kekuasaan menjadi pokok permasalahannya<" jawab mereka tnnpa ragu.
Saya melihat murid murid saya dengan pandangan baru. Saya terus terang malu karena saya pun dalam berbagai jejaknya masih bermental ORBA, tepatnya penerus mental ORBA yang negatif. Saya akan menjelaskan kepada mereka bahwa ada positif tentu dari zaman ORBA. Saya turut menyesal jika murid murid saya dalam riset 2 minggu yang mereka lakukan ternyata menemukan mental berpolitik ORBA secara negatif yang masih berlanjut hingga kini.
Saya terharu. Untuk pertama kalinya saya bersyukur menjadi guru sejarah. Saya bangga terhadap murid murid saya karena hari ini saya yang belajar dari mereka.
"Terima kasih anak anak. Terima kasih karena untuk pertama kalinya bapak bangga menjadi guru sejarah karena bapak yang hari ini belajar dari kalian," kata saya dengan mata berkaca kaca.
"Bapak lebay ah," kata mereka sambil bertepuk tangan berterima kasih atas pujian saya untuk mereka.
Saya guru sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H