Hukum Positivisme adalah Aliran ini mempunyai suatu pandangan dimana mengharuskannya pemisahan antara hukum dan moral secara tegas. Ada dua jenis dalam aliran hukum positif atau positivisme hukum yaitu, Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin dan Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Mazhab hukum positif menurut Hans Kelsen, yang diikuti Lili Rasyidi, memandang hukum sebagai apa adanya tanpa mempertimbangkan keadilan, dan bertentangan dengan hukum alam. Positivisme sosiologis memandang hukum sebagai bagian dari kehidupan masyarakat yang bersifat terbuka dan harus diselidiki secara ilmiah.
 BAB 5 : Madzab Pemikiran Hukum ( Sociological Jurisprudence)Â
Sociological Jurisprudence timbul sebagai proses dialektika antara aliran Positivisme Hukum (sebagai tesis) dengan Mazhab Sejarah (sebagai antitesis), dimana Positivisme Hukum memandang tidak ada hukum selain perintah penguasa (law is a command of lawgivers), sedangkan Mazhab Sejarah memandang bahwa hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran ini berpangkal pada pembedaan antara hukum positif (ius positum) sebagai hukum yang dibuat dan atau ditetapkan oleh negara dan hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law). Penyelidikan Sosiologi Hukum juga menitikberatkan pada masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan Sociological Jurisprudence menitikberatkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum.
 BAB 6 : Madzhab Pemikiran Hukum (Living Law dan Utilitarianism)Â
Sebagai produk budaya, hukum selalu eksis dalam setiap masyarakat. Karenanya, hukum yang tidak diciptakan, namun hukum ditemukan dalam masyarakat (the living law). Namun seiring lahirnya negara modern, the living law cenderung dihilangkan dan diganti dengan hukum positif (state law). Bahkan the living law tidak dianggap sebagai hukum. Namun demikian, dalam sistem hukum Indonesia the living law masih diakui dengan batas-batas tertentu, seperti pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak-haknya tradisionalnya, pengakuan hak ulayat dan sebagainya. Setiap masyarakat memiliki living law yang tumbuh dari praktik dan tradisi sosial, ditaati atas dasar kewajiban moral, bukan paksaan. Sumbernya bisa dari kebiasaan, tradisi, atau agama, sehingga pandangan bahwa masyarakat tradisional tidak memiliki hukum adalah keliru.
 BAB 7: Pemikiran Hukum David Emilie Durkheim dan Ibnu KhaldunÂ
Durkheim fokus pada cara masyarakat modern menjaga integritas dan koherensinya tanpa kesamaan latar belakang agama atau etnik. Ia mengembangkan pendekatan ilmiah untuk fenomena sosial dan, bersama Herbert Spencer, merumuskan fungsionalisme, yang menjelaskan fungsi bagian-bagian masyarakat dalam menjaga keseimbangan sosial. Durkheim menekankan bahwa masyarakat lebih dari sekadar gabungan individu, berbeda dari pendekatan Max Weber. Ia fokus pada "fakta sosial," fenomena yang independen dan objektif, yang hanya dapat dijelaskan oleh fakta sosial lain, bukan oleh tindakan individu atau faktor ekologis. Ilmu Khaldun adalah Pemikir muslim abad ke-14 yang Mengembangkan teori ashabiyah. Dalam konteks sosiologi, Masyarakat dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat peradabannya: pertama, masyarakat primitif yang hidup liar, berpindah-pindah, dan belum mengenal peradaban; kedua, masyarakat pedesaan yang hidup menetap dengan mata pencaharian dari pertanian dan peternakan, terbagi dalam tiga kelas ekonomi yakni petani, penggembala sapi atau kambing, dan penggembala unta; ketiga, masyarakat kota yang telah berperadaban maju, bergerak di bidang perdagangan dan industri, memiliki kebudayaan serta ekonomi yang tinggi, dan mampu memenuhi kebutuhan pokok, sekunder, hingga barang mewah.
 BAB 8: Pemikiran Max Welber dab H.L.A HartÂ
Max Weber memandang hukum sebagai bagian penting dari struktur sosial yang berkembang secara rasional, formal, dan sekuler seiring kemajuan kapitalisme dan birokrasi. Baginya, hukum adalah cerminan rasionalisasi masyarakat modern dan dipengaruhi oleh dinamika budaya, ekonomi, dan profesionalisasi. Sebaliknya, H.L.A. Hart menekankan bahwa hukum adalah sistem yang bergantung pada penerimaan sosial dan pengakuan legitimasi oleh masyarakat. Menurut Hart, hukum tidak hanya bersifat koersif, tetapi juga harus sesuai dengan norma dan praktik sosial agar efektif dan berfungsi dalam masyarakat. Max Weber memandang hukum sebagai instrumen rasionalisasi yang dipengaruhi oleh perubahan sosial-ekonomi dan budaya, sementara H.L.A. Hart menekankan pentingnya penerimaan sosial agar hukum berfungsi.
 BAB 9: Effectiveness LawÂ
Efektivitas hukum dapat diartikan dengan kemampuan hukum untuk menciptakan atau melahirkan keadaan atau situasi seperti yang dikehendaki atau diharapkan oleh hukum. Faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum dalam Masyarakat yaitu, Faktor hukum itu sendiri, Faktor para penegak hukum, Faktor sarana dan prasarana, Faktor masyarakat, Faktor budaya. Kesadaran hukum adalah faktor yang sangat penting untuk mendorong kepatuhan hukum, yang pada akhirnya memengaruhi efektivitas hukum. Tanpa kesadaran hukum, kepatuhan hanya didasarkan pada paksaan atau sanksi, yang tidak stabil dalam jangka panjang. Oleh karena itu, meningkatkan kesadaran hukum harus menjadi prioritas untuk menciptakan masyarakat yang taat hukum dan memastikan hukum berfungsi secara efektif.Â