Desa Banyuirit terkenal sebagai desa yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota, dengan pemandangan yang memesona. Hutan lebat mengelilingi desa ini, seolah menjadi benteng alami yang melindungi warganya dari dunia luar. Namun, di balik ketenangan dan keindahan itu, ada sebuah rahasia yang dijaga ketat oleh penduduk desa.
Di malam-malam tertentu, bulan yang biasanya berwarna putih cerah bisa berubah menjadi merah darah. Fenomena ini bukan hanya kejadian astronomi biasa, melainkan sebuah pertanda bahwa seseorang telah melanggar peraturan yang telah diwariskan turun-temurun di desa itu.
Peraturan tersebut tampak sederhana: dilarang keluar rumah setelah matahari terbenam. Namun, di balik kesederhanaannya, peraturan ini memiliki makna yang dalam, menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia yang tak terlihat.
Laras, seorang wanita muda yang baru pindah ke Desa Banyuirit, tidak pernah mempercayai cerita-cerita mistis yang sering didengar dari penduduk setempat. Bagi Laras, semua itu hanyalah mitos yang tak perlu diindahkan. Dia adalah seorang peneliti yang tertarik pada flora dan fauna di sekitar desa. Alasan utama kepindahannya ke Banyuirit adalah untuk meneliti tanaman langka yang konon hanya tumbuh di sekitar hutan desa.
"Bu Laras, ingat ya, jangan pernah keluar rumah setelah matahari terbenam," kata Pak Jaya, kepala desa yang sudah tua, saat mengantar Laras ke rumah barunya.
Laras hanya mengangguk sambil tersenyum, merasa semua itu hanyalah omong kosong belaka. Di dalam hatinya, ia yakin bahwa dirinya adalah seorang wanita modern yang tidak perlu takut pada takhayul.
Malam pertama Laras di desa berjalan dengan damai. Namun, dia tidak bisa tidur nyenyak. Ada sesuatu yang terasa ganjil, seolah ada yang mengintai dari kegelapan di luar sana. Terdengar suara angin menderu pelan, dan sesekali ada bunyi dedaunan yang bergesekan satu sama lain, seperti bisikan misterius dari alam.
Pada malam kedua, rasa penasarannya semakin memuncak. Laras memutuskan untuk membuka jendela dan mengintip keluar. Udara malam begitu dingin, menyusup ke dalam tulang. Bulan bersinar terang, memberikan cahaya lembut di seluruh desa. Namun, Laras tidak melihat sesuatu yang aneh.
"Hanya imajinasi," gumamnya sambil menutup kembali jendela. Namun, dalam hatinya ada sesuatu yang menekan, seolah alam sedang memperingatkan sesuatu yang buruk.
Hari-hari berikutnya, Laras mulai menyibukkan diri dengan penelitiannya. Dia menghabiskan waktu di hutan, mempelajari tanaman-tanaman unik yang tidak pernah ditemuinya sebelumnya. Namun, dalam setiap langkahnya, Laras merasa seperti diawasi. Kadang-kadang dia merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti dirinya, dan ada kalanya dia mendengar suara-suara aneh di antara pepohonan.
Suatu sore, saat Laras sedang berjalan pulang dari hutan, dia bertemu dengan seorang wanita tua bernama Mbah Sari. Wanita itu dikenal sebagai dukun desa yang sering membantu warga dengan ramuan-ramuan herbalnya.
"Nduk, jaga dirimu baik-baik. Hutan ini bukan tempat yang aman," ujar Mbah Sari dengan suara parau, matanya tajam menatap Laras.
Laras tersenyum tipis, "Terima kasih, Mbah. Tapi saya baik-baik saja. Saya sudah terbiasa dengan alam."
Mbah Sari menggeleng, "Ini bukan soal terbiasa atau tidak, nduk. Ada hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh mata biasa."
Perkataan Mbah Sari membuat Laras sedikit gelisah, namun dia segera mengabaikannya. Baginya, semua ini hanya kepercayaan kuno yang tidak relevan dengan pemikiran modernnya.
Namun, malam itu, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Saat Laras sedang mencatat hasil penelitiannya, tiba-tiba lampu di rumahnya padam. Gelap gulita menyelimuti ruangan, hanya disinari oleh cahaya bulan dari luar jendela.
Dengan cepat, Laras mengambil senter dan menuju ke jendela. Saat dia membuka tirai, dia terkejut melihat bulan yang biasanya bersinar putih berubah menjadi merah darah. Rasanya seperti ada beban berat yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas.
"Lagi-lagi hanya imajinasi," bisik Laras kepada dirinya sendiri, meskipun hatinya mulai dipenuhi oleh ketakutan yang tak bisa dijelaskan.
Dia mencoba untuk tidak memikirkan hal itu dan kembali ke tempat tidur. Namun, bayangan bulan merah itu terus menghantui pikirannya, membuatnya terjaga sepanjang malam.
Hari-hari berlalu, dan bulan merah muncul semakin sering. Setiap kali Laras melihatnya, rasa takutnya semakin dalam. Dia mulai merasa ada sesuatu yang salah. Penduduk desa juga tampak semakin cemas setiap kali bulan merah muncul. Laras sering melihat mereka berdoa di depan rumah mereka, memohon perlindungan dari kekuatan yang tak terlihat.
Suatu malam, rasa penasarannya memuncak. Laras memutuskan untuk melanggar peraturan yang telah ditetapkan di desa itu. Dia ingin membuktikan bahwa semua ini hanyalah ketakutan tak berdasar. Tanpa berpikir panjang, dia mengenakan jaket tebalnya dan keluar rumah.
Udara malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Hening yang mencekam menyelimuti desa. Tidak ada suara binatang malam atau desiran angin yang biasa terdengar. Hanya ada keheningan yang membungkus, seolah-olah seluruh alam sedang menahan napas.
Laras berjalan menuju hutan, tempat yang selalu menariknya. Namun, langkahnya terhenti saat dia melihat sesuatu yang aneh di langit. Bulan yang merah semakin bersinar terang, seperti mata yang mengawasi setiap gerakannya.
Tiba-tiba, Laras merasakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Dia berbalik, dan melihat bayangan-bayangan hitam bergerak cepat di antara pepohonan. Bayangan-bayangan itu tidak memiliki bentuk yang jelas, hanya kegelapan pekat yang melayang di udara.
Jantung Laras berdebar kencang. Dia berusaha untuk tetap tenang, namun kakinya gemetar hebat. Perlahan, dia mencoba melangkah mundur, namun bayangan-bayangan itu semakin mendekat, seolah-olah menyatu dengan kegelapan malam.
"Tidak... ini tidak mungkin!" Laras berteriak, namun suaranya tenggelam dalam hening malam.
Bayangan-bayangan itu melingkari Laras, membuatnya terperangkap di tengah-tengah. Dari balik kegelapan, muncul wajah-wajah yang tak berbentuk, hanya mata merah yang menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.
Laras merasa tubuhnya semakin lemah, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menyerap energinya. Dia terjatuh, dan sebelum kesadaran meninggalkannya, dia melihat bulan merah yang bersinar semakin terang, seperti api yang berkobar di langit malam.
Laras terbangun dengan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dia berada di dalam sebuah ruangan gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari celah di dinding. Bau anyir darah menyengat hidungnya, membuatnya hampir muntah.
Dia berusaha untuk bangkit, namun tubuhnya terasa sangat lemah. Di sekelilingnya, dia melihat dinding-dinding yang dipenuhi dengan simbol-simbol aneh yang digoreskan dengan darah. Suara bisikan lirih terdengar di telinganya, seolah-olah ada ribuan jiwa yang merintih di sekitarnya.
Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka, dan masuklah Mbah Sari dengan wajah yang tak lagi ramah. "Kamu melanggar aturan, nduk," katanya dengan suara yang dingin.
Laras menatapnya dengan ketakutan. "Apa yang terjadi? Di mana saya?"
Mbah Sari mendekat, menatap Laras dengan mata yang penuh kegelapan. "Kamu telah memanggil mereka. Setiap kali ada yang melanggar peraturan, mereka akan datang dan mengambil apa yang menjadi hak mereka."
Laras tidak mengerti. "Siapa mereka? Apa yang kamu bicarakan?"
"Roh-roh yang marah, nduk. Mereka adalah jiwa-jiwa yang terjebak di antara dunia ini dan dunia lain. Mereka tidak akan tenang sampai mendapatkan korban."
Laras gemetar, merasakan kengerian yang tak terlukiskan. "Kenapa saya? Apa yang telah saya lakukan?"
Mbah Sari tersenyum tipis, namun senyumnya bukanlah senyum kebahagiaan. "Kamu melanggar peraturan desa ini. Kamu keluar di malam hari, saat bulan merah bersinar. Sekarang mereka menuntut balasan."
Laras merasa seluruh dunianya runtuh. Dia tidak pernah menyangka bahwa keputusan bodohnya untuk melanggar peraturan akan membawa malapetaka sebesar ini. "Tolong, Mbah, saya tidak ingin mati. Saya tidak ingin mati!" jeritnya, air mata mengalir deras di wajahnya.
Namun, Mbah Sari hanya menggeleng. "Ini adalah takdirmu, nduk. Tidak ada yang bisa menghindar dari takdir."
Laras berusaha merangkak menjauh, namun tubuhnya terasa berat. Suara-suara bisikan semakin keras, menggema di seluruh ruangan. Dari balik bayang-bayang, muncul sosok-sosok hitam yang pernah dilihatnya di hutan. Mereka mendekat, menatapnya dengan mata merah yang mengerikan.
Mbah Sari perlahan mundur, meninggalkan Laras yang kini dikelilingi oleh sosok-sosok itu. "Semoga kamu menemukan kedamaian di dunia lain, nduk," katanya sebelum menutup pintu ruangan dengan perlahan.
Laras berteriak, namun suaranya teredam oleh dinding-dinding tebal ruangan. Sosok-sosok hitam itu mendekat, dan satu per satu mereka meraih tubuhnya dengan tangan-tangan dingin seperti es.
Laras merasakan tubuhnya semakin dingin, dan rasa sakit yang menusuk mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia mencoba melawan, namun kekuatannya telah lenyap. Dalam keputusasaan, Laras memandang ke atas, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkannya.
Namun, yang dilihatnya hanyalah bulan merah yang bersinar terang, menandakan bahwa takdirnya telah tiba. Dalam detik-detik terakhirnya, Laras menyadari satu hal: dia telah melawan sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang pernah dibayangkannya. Dan sekarang, dia harus membayar harganya.
Pagi harinya, warga Desa Banyuirit menemukan tubuh Laras terbaring kaku di tengah hutan, dengan ekspresi ketakutan yang masih tergurat di wajahnya. Tidak ada yang tahu pasti apa yang telah terjadi, namun mereka semua tahu bahwa bulan merah telah mengambil korban lainnya.
Desa kembali ke rutinitasnya yang sunyi. Peraturan tetap ditegakkan, dan penduduk desa semakin waspada. Mereka tahu bahwa bulan merah akan selalu kembali, mengawasi dan menghukum siapa saja yang berani melanggarnya.
Banyuirit adalah desa yang tenang, tapi di balik ketenangannya tersembunyi rahasia kelam yang tidak boleh diusik. Mereka yang mencoba melawannya, seperti Laras, akan menghadapi konsekuensi yang mengerikan.
Malam demi malam berlalu, dan bulan kembali bersinar putih. Namun, di suatu tempat di dalam hutan, bayangan-bayangan hitam masih menunggu, menanti bulan merah berikutnya untuk kembali bersinar, dan mengambil korban baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H