Mbah Sari mendekat, menatap Laras dengan mata yang penuh kegelapan. "Kamu telah memanggil mereka. Setiap kali ada yang melanggar peraturan, mereka akan datang dan mengambil apa yang menjadi hak mereka."
Laras tidak mengerti. "Siapa mereka? Apa yang kamu bicarakan?"
"Roh-roh yang marah, nduk. Mereka adalah jiwa-jiwa yang terjebak di antara dunia ini dan dunia lain. Mereka tidak akan tenang sampai mendapatkan korban."
Laras gemetar, merasakan kengerian yang tak terlukiskan. "Kenapa saya? Apa yang telah saya lakukan?"
Mbah Sari tersenyum tipis, namun senyumnya bukanlah senyum kebahagiaan. "Kamu melanggar peraturan desa ini. Kamu keluar di malam hari, saat bulan merah bersinar. Sekarang mereka menuntut balasan."
Laras merasa seluruh dunianya runtuh. Dia tidak pernah menyangka bahwa keputusan bodohnya untuk melanggar peraturan akan membawa malapetaka sebesar ini. "Tolong, Mbah, saya tidak ingin mati. Saya tidak ingin mati!" jeritnya, air mata mengalir deras di wajahnya.
Namun, Mbah Sari hanya menggeleng. "Ini adalah takdirmu, nduk. Tidak ada yang bisa menghindar dari takdir."
Laras berusaha merangkak menjauh, namun tubuhnya terasa berat. Suara-suara bisikan semakin keras, menggema di seluruh ruangan. Dari balik bayang-bayang, muncul sosok-sosok hitam yang pernah dilihatnya di hutan. Mereka mendekat, menatapnya dengan mata merah yang mengerikan.
Mbah Sari perlahan mundur, meninggalkan Laras yang kini dikelilingi oleh sosok-sosok itu. "Semoga kamu menemukan kedamaian di dunia lain, nduk," katanya sebelum menutup pintu ruangan dengan perlahan.
Laras berteriak, namun suaranya teredam oleh dinding-dinding tebal ruangan. Sosok-sosok hitam itu mendekat, dan satu per satu mereka meraih tubuhnya dengan tangan-tangan dingin seperti es.
Laras merasakan tubuhnya semakin dingin, dan rasa sakit yang menusuk mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia mencoba melawan, namun kekuatannya telah lenyap. Dalam keputusasaan, Laras memandang ke atas, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkannya.