Udara malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Hening yang mencekam menyelimuti desa. Tidak ada suara binatang malam atau desiran angin yang biasa terdengar. Hanya ada keheningan yang membungkus, seolah-olah seluruh alam sedang menahan napas.
Laras berjalan menuju hutan, tempat yang selalu menariknya. Namun, langkahnya terhenti saat dia melihat sesuatu yang aneh di langit. Bulan yang merah semakin bersinar terang, seperti mata yang mengawasi setiap gerakannya.
Tiba-tiba, Laras merasakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Dia berbalik, dan melihat bayangan-bayangan hitam bergerak cepat di antara pepohonan. Bayangan-bayangan itu tidak memiliki bentuk yang jelas, hanya kegelapan pekat yang melayang di udara.
Jantung Laras berdebar kencang. Dia berusaha untuk tetap tenang, namun kakinya gemetar hebat. Perlahan, dia mencoba melangkah mundur, namun bayangan-bayangan itu semakin mendekat, seolah-olah menyatu dengan kegelapan malam.
"Tidak... ini tidak mungkin!" Laras berteriak, namun suaranya tenggelam dalam hening malam.
Bayangan-bayangan itu melingkari Laras, membuatnya terperangkap di tengah-tengah. Dari balik kegelapan, muncul wajah-wajah yang tak berbentuk, hanya mata merah yang menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.
Laras merasa tubuhnya semakin lemah, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menyerap energinya. Dia terjatuh, dan sebelum kesadaran meninggalkannya, dia melihat bulan merah yang bersinar semakin terang, seperti api yang berkobar di langit malam.
Laras terbangun dengan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dia berada di dalam sebuah ruangan gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari celah di dinding. Bau anyir darah menyengat hidungnya, membuatnya hampir muntah.
Dia berusaha untuk bangkit, namun tubuhnya terasa sangat lemah. Di sekelilingnya, dia melihat dinding-dinding yang dipenuhi dengan simbol-simbol aneh yang digoreskan dengan darah. Suara bisikan lirih terdengar di telinganya, seolah-olah ada ribuan jiwa yang merintih di sekitarnya.
Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka, dan masuklah Mbah Sari dengan wajah yang tak lagi ramah. "Kamu melanggar aturan, nduk," katanya dengan suara yang dingin.
Laras menatapnya dengan ketakutan. "Apa yang terjadi? Di mana saya?"