Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Buku Biru 18 [Tantangan Menulis Novel 100 hari]

31 Maret 2016   20:05 Diperbarui: 31 Maret 2016   20:12 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="alsayidja"][/caption]Cerita yang kemarin:http://fiksiana.kompasiana.com/alsayidjumianto/buku-biru17-tantangan-menulis-novel-100-hari_56fb98e23697735605566e9d

BUKU BIRU

Al Murruah Sayyid Jumi Anto

No. 62

Jumlah kata : 1015

Kenangan indah itu

mata hanya terpejam

dalam kenangan indah bersamamu

entah mengapa harus

hilang

Allah swt lebih sayang padamu

aku akan bahagiakan

semua..

31032016, aku diselatan Yogyakarta  Bantul

Ya Dion mulai ngantuk juga, hanya Jogja semakin aneh cuacanya kadang panas dan tiba-tiba hujan dengan petirnya, mengapa inilah perubahan iklim yang membuat kami terkadang harus keluar rumah minimal bawa paying atau jas hujan ad adi jok motor kita.

“kita manpir di Palbabang ya cari soto dulu” kataku sedikit bicara dengan mba Min

“nggih bu…kesukaan bapak to?” spontan  di menjawab

“ya mas Harun yang suka sotonya…”sendu aku menjawabnya, dengan usus gorengnya dan plus tempe garitnya  yang dia suka.

“bukk…maaf keceplosan nieh”

“tidak apa-apa mba Min, serasa mas Harun baru kemarin aku diajaknya di Palbapang ini, menikmati semangkok soto disini” jawabku diplomatis, walau kadang aku terasa sesak di dalam dada ini

Bantul semakin maju dan inilah  senangku kota geplak ini semakin bersolek dan ramai lalu lalang kendaraan bermotor dulu waktu maih sekolah ada masa indah diantara kami  ada konvoi sepeda  masih digunakan waktu aku sekolah tingkat  menengah pertama di kota ini aku takjub, entah kemajuan atau kebutuhan sekarang  konvoi berganti dengan deretan sepeda motor dan  karena ringroadlah kota dan dan desa di Jogja semakin tidak kelihatn bedanya, diantara mereka saling berlomba mempersolek kota-kota mereka.

“Mba min nanti kita mampir sebentar jangan lupa minta kesukaan Dion dan Dinda lenthok gorengnya”

“nggih bu siap selalu” dia menjawab lirih aku  jadi tidak enak hati dibuatnya

Sementara Kebiasan Dion selalu saja mengantuk bila diajak pergi gak jauh sedikit

“bum as Dion sudah ngatuk ini”

“Y abegitulah Dion, tetap dipengangi tuh supaya tidak jatuh nanti:”

“nggih bu”.

Kami melajukan motor ke arah Bantul lewat perempatan Klodran dan ke arah Perempatan Gose meleawt kantor Bupati dan gedung DPRD yang megah danmenuju perempatan Palbapang yang dulu adalah staisun kecil waktu belanda dulu menghubungkan  stasiun Ngabean kota Yogyakarta dan Bantul lurus ketimur, mengapa aku atahu karena aku pernah ikut sekolah bapak waktu sekolah dasar di Sewon Bantul, arah jalan Parangtritis.

“mba sudah hampir sampai”

Aku senang sekali soto kesayangan kami sperti soto yang di jalan wates itu juga kami suka karena tidak mengira kan beberapa pejabat dan bahkan seorang presiden pernah mampir di sebuah warung soto yang ada di jalan wates dekat tempat asrama kami.

Aku memarkir kendaraanku dan Dion bangun

“mama kita makan dulu ya?”

“ya nanti beli dan kerumah simbah “

“lenthok gorengnya tiga”

“ya mas Dion” kata mba Min dan aku tertawa geli kecil dibuatnya

“mama dulu papa kesini bersama kita”

“ya kit tidak makan disini tetapi beli soto saja lalau kerumah kakek ya?”

“mama begitu” Dion nampaknya ngambek tetapi akhirnya mengangguk keci dan kami  senyum dibuatnya, oleh ulahnya yang entah mengapa menggemaskan hati ini aku diam dalam bahagia di pojok warung soto keanangan bersama mas Harun, ya Allah swt apakah kami bisa merngkuh kebahagian inilagi? ataukah takdirku harus bersedih tanpa jeda ?Aku hanya berharapa Allah swt memberikan gembira dan bahagia pada kedua jagoanku ini.

Kami bertiga agak sedikit memacu kearah rumah pertemuan rumah simbah, ya orang tua mas Harun almarhum. Bangunan besar rumah pendapa jawa ini agaknya masih indah tanpa perubahan hanya tanaman di depannya lebih hijau karena hujan masih meyelimuti bumi Yogyakarta ini.

Aku memasuki pintu gerbang itu ada beberapa  mobil tiga buah platnya  luar daerah Yogya aku tahu  kakak dan adik mas Harun  ada yang  dinasnya di luar kota Bantul ini, ada yang disemarang dan Surabaya.

“ mama datang “ kat gadisku ini dan diikuti anak sebaya  yang aku tahu itu anak adik mas Harun, yang juga seorang anggota polisi yang bertugas di Semarang.

“mama ini Fitri “

“ya mama tahu om kemana ?”

“di dalam rumah,” ya adik paling kecil mas Harun, yang masih bersama bapak dan ibunya keduanya Guru di Bantul  juga, anak dua masih balita yang kecil baru taman kanak-kanak yang besar sudah sekolah dasar kelas lima aku menyebutnya om Juni.

Kakak mas harun yang pertama mas Bejo pengusaha kaya di Surabaya dan selalu berusaha menyenagkan bapak mobil kerap gonta-ganti  dan aku tahu dia selam hampri berkeluarga lima belas tahun belum punya anak!

Kakak mas harun yang kedua mas Beni seorang polisi yang bertugas di Semarang, keluarganya bahagia walau hanya punya anak satu ya Fitri ini teman sebaya dengan Dinda juga kelas satu sekolah menengah pertama di Semarang.

“mama beli soto ya?”

“ya tuh ini , mba Min bawa masuk ya?’

“ya mama aku ditinggal ini” celetuk Dion dan dia masuk bersama aku kedapur  sementara aku tengok kanan kiri bapak sama ibu kemana, tiba-tiba Ibu Fitri  yang menyapaku

“bapak dan ibu kondangan diantar mas Bejo dan mba ke   Depok ad a teman bapak yang mantu”

“’oh begitu?”

“bawa apa ini kok banyak?”

“Donat kesukaan Dinda dan Dion”

“aku juga mau “kata mba Fitri padaku

“aku juga beli soto nieh”

“ah enaknya”

“ kamu kuat menjadi ayah dan ibu mereka?”

“ya dikuatiin, walaupun aku juga rindu pada sosok pria”

“ha haha kamu lucu mba”

“lucu ya bagaimana?”

“mas Harun kebanggaan kami”

“ya  tahu tetapi aku juga harus ikhlas ya to nduk cantik ibunya Fitri?”

“mba biru seharusnya cari ya supaya ada bapak utuk anak-anak?”

“aku masih sayang anak-anakku fitri”

kami diam di dapur ini menyiapakan makan siang yang penuh gembir ini

“mama mau donat kami” seru Dion dan  Robi anak Fitri  ke dapur bersamaan minta  kepadaku.

“rumah besar ini serasa lenggang mba, hanya bapak ibu dan  mas Juni dan kedua anakku, sebaiknya mba pindah sini saja darpada di komplek perumahan polisi “

“aku pikirkan tetapi  pekarangan simbok dan bapak hanya  dibiarkan sepeninggal bapak dan simbok hanya di urus paklik di Kulon Progo.

“aku tahu mba, kamu anak satu-satunya mereka to  mba?”

“ya ayo bereskan sebelum mereka datang, aku tidak mau Melow bu Juni,”

“ah kamu memang setegar  tugu Yogya po?”

“mau tahu saja”

TUgu Jogja ah mengapa aku terkenang itu lagi ? terkenang aneh mantanku yang sok jadi penulis itu ataukah mengapa buku itu tidak aku bawa saja  kesini?’

“mba ingta Tugu Jogja ya?”

“kamu entah kenapa  bisa menebak isi hatiku Jun?”

“ah  begitu ya?,aku bukan paranormal mba”

“mama, tante, pakde dan simbah sudah datang tuh”

Benar adanya bapak dan ibu masuk dengan mobil mas Bejo ke halaman rumah pendapa ini.

 

 BERSAMBUNG

-novelbukubirualsayidja-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun