Didalam Agama Islam yang dimaksud pernikahan di bawah umur adalah pernikahan orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstuasi (baligh) bagi wanita.
Syariat Islam secara tegas tidak mengatur atau memberikan batasan usia tertentu untuk melaksanakan suatu pernikahan. Namun secara jelas syariat Islam menghendaki orang yang hendak melakukan pernikahan adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, fisik dan psikis, dewasa, dan paham akan arti sebuah pernikahan.
Oleh karena itu, tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut. Tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.
Rasullullah SAW sendiri menikahi istrinya Aisyah RA pada usia 6 tahun, hal ini terdapat pada hadist berikut ini :
Dari Aisyah ra ia berkata: "Saya dinikahi Nabi SAW pada saat umur enam tahun, dan saya digauli pada usia Sembilan tahun". [Muttafaq Alaih].
Dan Firman Allah SWT Yang Artinya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan" (QS. AN-NUR: 32). Â
Dalam hal ini, Para ulama bersepakat bahwa boleh menikahkan anak perempuan yang masih kecil dengan yang sekufu' (sepadan). Meskipun menikahkan anak pada usia belum baligh diperbolehkan, namun demikian tetaplah memperhatikan kesiapannya baik dari aspek kesehatan maupun psikologi. Menikahkan perempuan di bawah umur, sebelum haid atau usia 15 tahun, dalam pandangan Islam adalah sah. Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama, demikian penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Qadamah.
Dalam penjelasan Ibn Mundzir menyatakan: "Semua ahli ilmu yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seseorang ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah)".
Adapun yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah pada siapa yang berhak menikahkannya. Para ulama Mazhab Syafi'i, Hanbali dan Maliki berpendapat bahwa perkawinan anak yang masih kecil itu dibolehkan. Tetapi yang berhak mengawinkannya hanya ayah atau kakeknya. Bila keduanya tidak ada maka hak mengawinkan anak yang masih kecil itu tidak dapat pindah kepada wali lainnya, kecuali Mazhab Maliki yang hanya membolehkan ayah untuk menikahkan anaknya yang masih kecil belum baligh. Ini karena terpenuhinya rasa kasih sayang seorang ayah dan kecintaan yang sesungguhnya demi kemaslahatan anaknya.
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
"Anak yatim perlu dimintakan izinnya dan jika dia diam maka itulah izinnya, dan jika dia menolak maka tidak boleh menikahkannya". (HR. Imam yang lima kecuali Ibnu Majah)Â