Mohon tunggu...
Aloisius Johnsis
Aloisius Johnsis Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis yang mengubah rasa menjadi cerita.

Manusia yang senang bercerita, setia untuk menghidupi keyakinannya dan berusaha keras untuk mewujudkan impiannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bogor, Hujan, dan Rintik Rindunya

19 Oktober 2019   14:14 Diperbarui: 19 Oktober 2019   17:25 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://unsplash.com

Akhir-akhir ini arah musim sudah tak menentu. Ketika musim panas, sering turun hujan. Saat musim hujan, terik matahari seakan tak mau kompromi, aneh memang. Hal ini juga terjadi di Kota Bogor, kota yang terkenal dengan rintik hujannya. Kota yang pas untuk menipu waktu, menggali kenangan, dan menyapa rindu.

Malam ini hujan turun cukup deras, tidak sejalan dengan terik dan panas mentari tadi siang. Jessica Putri, seorang remaja yang sengaja 'pulang' untuk napak tilas, berjalan menyusuri jalan-jalan di Kota Bogor, memasuki dimensi masa lalu yang tak mudah dilupakan.

Baru ditinggalkan lima tahun, tetapi sudah banyak perubahannya. Jalan-jalan kumuh yang dulu dilalui Jessica kini sudah menjadi cantik dan indah. Entah pemerintah memang mau memperbaikinya, atau hanya menghabiskan anggaran belanja saja. Tetapi ada satu yang tidak berubah, kenangan Jessica bersama Wilson yang terpatri jelas dalam pikirannya.

Wilson Mahendra, seseorang yang begitu spesial untuk Jessica. Mereka sempat menjadi teman, sahabat, pacar, kemudian dua orang yang tak saling mengenal satu sama lain. Wilson dan Jessica sudah saling kenal sejak SD. Sekolah yang sama dan rumah yang hanya berbeda beberapa blok saja membuat mereka sering bertemu. Mereka menjadi sahabat dekat ketika SMP dan berpacaran saat SMA.

Semua terasa indah, layaknya remaja yang baru berpacaran, 'kamu adalah segalanya', kira-kira begitu yang mereka rasakan satu sama lain. Mulai dari makan bersama, pergi dan pulang sekolah bersama, sampai berkelana bersama mereka lakukan.

Tiga tahun berlalu, masa SMA akan segera berakhir, Jessica dan Wilson sama-sama telah mempersiapkan dirinya masing-masing untuk memasuki jenjang kuliah. Jessica berencana kuliah seni di Universitas Udayana Bali, dan Wilson berencana kuliah masak keluar negeri.

"Jes," panggil Wilson memecah keheningan di halte saat menunggu angkot.

"Ada apa?"

"Kok diam saja sih?"

"Hemm, aku lagi mikir saat kita kuliah nanti apa yang akan terjadi ya?"

"Terjadi? Maksudnya?"

"Akankah kita tetap seperti ini? Secara aku di Bali dan kamu di luar negeri."

"Ya tentulah, apa yang kita lakukan ini kan untuk masa depan yang lebih baik."

"Iya sih, tapi aku takut."

"Takut? Kenapa?"

"Iya, aku sudah terbiasa sama-sama dengan kamu 3 tahun ini, dan nantinya harus jarang atau bahkan tidak sama sekali ketemu dalam waktu yang lama."

"Hemmm, iya juga sih, pasti rindu ya tidak bertemu orang ganteng, baik, dan keren seperti aku ini," canda Wilson.

"Wooo, masih bisa bercanda aja kamu."

"Aku ada ide!"

"Apa itu?"

"Gimana kalau kita jalan-jalan ke tempat yang jauh untuk merayakan perpisahan yang sementara ini."

"Mau ke mana?"

"Naik gunung yuk!"

"Naik gunung? Tumben."

"Iya aku sudah lama pengen naik gunung tapi belum kesampean, selesai ujian nasional, saat kita libur panjang mungkin adalah waktu yang tepat."

"..."

"Kok diam? Takut yaaa?"

"Ngga, siapa takut ayo!"

"Yaudah nanti aku coba ajak teman-teman yang udah pernah ya, biar kita aman perjalanannya."

Sebenarnya dalam hati, Jessica takut karena ini adalah pengalaman pertama. Apalagi Jessica sering mendengar cerita-cerita mistis yang terjadi di gunung.

Dua bulan sebelum ujian, Jessica merasakan ada yang aneh dengan Wilson. Jessica sering ditinggal pulang sendiri, Wilson pun semakin jarang memberikan kabar, benar-benar tidak seperti biasanya. Dalam benaknya Jessica berusaha berpikir positif 'mungkin sibuk mempersiapkan ujian', namun pikiran adanya orang ketiga malah semakin mengganggu hatinya.

"Wilson!" panggil Jessica saat selesai pelajaran tambahan.

"Iya?"

"Kamu mau ke mana?"

"Aku ada urusan."

"Urusan apa sih?"

"Ada deh, hehe."

"Ohh, jadi sekarang rahasia-rahasiaan? Aku mau ngomong!"

"Hemmm. iya-iya, ayo duduk, mau ngomong apa Jes?"

Mereka pergi ke kantin, membeli dua gelas teh botol dingin dengan harapan dapat menyejukkan hati Jessica.

"Kamu kenapa sih akhir-akhir ini?"

"Kenapa apanya?"

"Aku ngerasa kamu berubah, gak seperti dulu lagi."

"Manusia kan pasti berubah, makin lama makin tua, rambutnya putih, muncul keriput, ya kan."

"Huh, bukan itu maksud aku."

"Lalu apa?"

"Kamu cuek, sangat cuek bahkan."

"Hemmm, maaf deh kalo aku cuek, mungkin kita lagi sama-sama sibuk aja kali, kan mau ujian nasional."

"Kita? Kamu kali, ga punya waktu sedikitpun buat aku."

"Hemm, iyaa maaf. Eh aku udah cari gunung yang pas nih buat kita naiki."

"Malah mengalihkan pembicaraan."

"Kan aku udah minta maaf. Mau apa lagi?"

"Ya tapi kan aku masih kesel."

"Makanya dengerin cerita aku, biar ga kesel lagi."

Hati Jessica luluh, mana mungkin dia marah berlama-lama dengan Wilson, salah satu sumber kebahagiaannya tiga tahun terakhir ini. Jessica akhirnya larut dalam cerita Wilson yang merencanakan naik ke Gunung Semeru untuk merayakan perpisahan mereka nanti. Hari itu Jessica lupa bahwa hatinya kesal, Wilson pun menyempatkan diri untuk mengantar Jessica pulang, setidaknya hari ini.

Ujian Nasional tiba, penentu proses belajar selama SMA akhirnya dilaksanakan. Wilson dan Jessica benar-benar serius menjalani ini, mereka belajar dengan keras, mengerjakan soal-soal dengan teliti setiap harinya, berharap mendapat nilai terbaik untuk membahagiakan orangtua masing-masing.

Setelah Ujian Nasional selesai, Wilson dan Jessica merayakannya dengan makan-makan bersama teman satu angkatan. Melepas penat yang selamat satu minggu penuh bersarang di otak mereka. Di tempat itu semua saling berbagi cerita mengenai pengalaman ujian nasional yang mungkin terakhir kalinya mereka hadapi.

"Akhirnya ya Jes."

"Iya, aku gak nyangka akhirnya selesai juga ujian kita."

"Hehe, gimana perasaan kamu? Lancar-lancar-kah ujiannya?"

Wilson dan Jessica tidak satu kelas saat ujian, jadi mereka tidak saling tahu apa yang terjadi dengan kelas masing-masing.

"Lumayan, ya mungkin masih ada beberapa yang kurang, tapi aku bersyukur dan berserah aja deh, karena udah selesai juga kan. Gak bisa diulang lagi."

"Lumayan bisa atau lumayan ga bisa nih? Kamu nyontek ya?" kelakar Wilson.

"Wooo! Enggalah, aku belajar, usaha sendiri."

"Iya-iya, aku percaya. Eh, jadi ya kita ke Semeru."

"Ohh iya, jadi kapan?"

"Ya paling bulan depan kita berangkat ya, setelah semua urusan soal perkuliahan selesai gimana?"

"Boleh-boleh, jadi sama siapa aja?"

"Kemarin sih aku udah ajak beberapa teman, seperti Rani dan Mita sahabatmu, lalu Roni dan Jaka sahabatku jadi ga sepi-sepi amat. Kebetulan Roni dan Jaka udah sering naik gunung jadi bisa sekalian jadi pemandu kita."
"Wah pasti seru banget nih, ga sabar aku untuk pergi ke Semeru."

"Wilson," Jessica kembali membuka pembicaraan.

"Kenapa Jes?"

"Jangan tinggalin aku ya."

"Loh kok ngomongnya gitu?"

"Ya kita kan nanti hidup masing-masing, dan saling berjauhan lagi. Jangan pernah berubah."

"Manusia kan pasti berubah Jes, tapi tenanglah aku akan tetap jadi orang yang sama buat kamu. Jangan khawatir. Andai kata aku harus pergi pun pasti aku akan selalu mendoakanmu, dan jangan pernah merasa bersalah."

"Kok kamu ngomongnya gitu?"

"Iya kan setiap perjumpaan pasti ada akhirnya Jes. Kapan pun itu."

"Kamu itu malah bikin aku makin takut. Selesai acara ini pulang ya, kamu terlihat pucat, sepertinya mau sakit tuh."

"Mana mungkin di dekat malaikat secantik kamu aku sakit?"

"Wooo, gombal!"

"Haha, aku hanya kecapean aja kok Jes."

Waktu pun berlalu, Wilson dan Jessica telah selesai mengurus perkuliahan masing-masing, mereka sama-sama diterima di universitas incarannya.

Akhirnya tiba juga saat mereka pergi ke Semeru, menantang puncak Mahameru yang terkenal itu. Sesuai rencana, mereka pergi berenam, dengan menggunakan kereta api menuju Kota Malang. 

Perjalanan terasa mengasyikan, cerita seakan-akan tidak ada habisnya. Selalu ada kelucuan di setiap momennya. enam belas jam perjalanan seakan-akan tidak terasa lelahnya, yang ada hanya keceriaan.

Setelah sampai di Kota Malang mereka bergegas ke Ranu Pani, desa terakhir menuju puncak para dewa. Berbeda dengan di film-film, perjalanan di Gunung Semeru ini memang berat, medannya cukup menantang, namun tetap terasa menyenangkan. Mereka memang berjalan lebih lama dari orang-orang pada umumnya. Maklum Roni dan Jaka punya prinsip khusus saat naik gunung yaitu menikmati setiap langkah perjalanannya. Karena tujuan utama naik gunung bukanlah sampai ke puncak, tetapi turun dengan selamat, maka nikmatilah setiap langkah kakinya.

Ranu Kumbolo, adalah salah satu tujuan Wilson dan Jessica. Mereka tahu bahwa puncak Mahameru bukan sesuatu yang mudah ditaklukan bagi pemula, maka tujuannya jelas, Ranu Kumbolo. Sebuah danau air tawar yang romantis dan magis.

Perjalanan menuju Ranu Kumbolo diawali dengan trek aspal kemudian dilanjutkan masuk ke dalam hutan dengan jalan berkelok namun tidak terlalu menanjak. Pada umumnya perjalanan dapat ditempuh dengan waktu sekitar 4 jam, namun rombongan anak SMA yang baru lulus ini benar-benar menikmati perjalanan, setidaknya membutuhkan 6 jam untuk sampai ke Ranu Kumbolo. Beruntungnya mereka berkesempatan menyaksikan sunset di Ranu Kumbolo.

"Benar-benar indah ya," kata Jessica.

"Iya, magis. Benar kata orang-orang, danau ini magis Jes."

"Aku baru pertama kali lihat ini, aku harus lihat lagi!"

Mereka memutuskan untuk bermalam di Ranu Kumbolo, menikmati indahnya alam yang mungkin tidak akan pernah mereka dapatkan di perkotaan. Udara yang segar, pemandangan yang indah, sungguh romantis. Tak hanya sampai di situ, malam yang tiba menyajikan tampilan Galaksi Bimasakti kepada dua sejoli itu.

Galaksi Bimasakti memang pemandangan yang indah, yang muncul di antara bulan Mei sampai dengan September. Beruntung mereka memilih waktu yang pas.

Malam terasa dingin, tetapi hati mereka tetap hangat, setidaknya untuk malam ini.

Keesokan harinya, Wilson dan Jessica sengaja janjian bangun lebih pagi, untuk melihat sunrise. Hari masih gelap, tetapi mereka sudah berada di luar tenda, berbekal teh manis hangat siap menyambut mentari yang akan segera terbit dengan berani.

"Jes."

"Iya, ada apa Wilson?"

"Hidup tuh lucu ya."

"Lucu?"

"Iyaa, kadang kita bekerja keras, berusaha hidup dengan baik, tetap saja ada masalah di dalamnya."

"Bukannya hidup memang begitu? Akan selalu ada masalah kan?"

"Kadang kita juga sudah berencana dengan matang, tetapi semuanya berantakan karena hal-hal yang tiba-tiba saja muncul, yang bahkan tak terpikirkan sebelumnya."

"Kamu kenapa Wilson, apakah sedang ada masalah? Cerita ayo, jangan dipendam sendiri."

"Aku mau putus."

"Hah? Maksudmu?"

"Iya, aku mau hubungan kita selesai."

"Kenapa? kita kan tidak ada masalah apapun," air mata Jessica mulai menetes.

"Ya, pokoknya aku mau kita putus, titik. Ga semua hal di dunia ini harus kamu tahu penjelasannya kan."

Jessica tidak bisa berkata-kata lagi, ia sedih sekaligus bingung, apa yang terjadi dengan Wilson. Kenapa semendadak ini memutuskan hubungan yang sebenarnya tidak ada masalah apapun. Pagi itu di Ranu Kumbolo yang sepi Jessica ingin sekali teriak dan marah, tetapi alih-alih mengganggu orang lain, ia hanya bisa meneteskan air mata dalam diam. Efek magis danau Ranu Kumbolo seakan-akan sirna dalam sekejap.

Mentari yang terbit seakan tidak ada artinya lagi. Hati Jessica hancur berkeping-keping mendengar Wilson yang memutuskan hubungannya tanpa alasan yang jelas.

Karena tidak ingin memperburuk pendakian, Jessica berpura-pura tidak ada apa-apa, yang berubah hanya Wilson yang sering mendiamkannya, seakan-akan menjadi dua orang yang tidak saling mengenal.

Sisa pendakian terasa hambar, tantangan fisik yang ada seakan-akan tidak ada artinya ketimbang hati yang hancur. Sahabat-sahabat Wilson dan Jessica pun merasakan ada yang aneh dan berbeda setelah satu malam menginap di Ranu Kumbolo, tetapi mereka tidak ada yang berani bertanya.

Perjalanan pulang pun sangat berbeda, yang ada hanya diam. Mungkin mereka lelah, tetapi hati yang terlihat saling tak mengenal adalah alasan utamanya.

Sesampainya di Stasiun Bogor mereka berpisah, tidak dengan Jessica dan Wilson. Wilson sempat melangkah untuk pulang, tetapi Jessica memanggilnya.

"Wilson."

"Iya?"

"Kamu jahat!" suara Jessica mulai meninggi.

"Iya, maafkan aku."

"Kamu janji gak ninggalin aku, tetapi memutuskan hubungan ini tanpa alasan yang jelas, semua bull shit!"

Wilson hanya bisa terdiam mendengarkan makian Jessica. Ia tahu bahwa dirinya salah, tetapi ia tidak ingin membuat Jessica lebih sedih lagi nantinya. Jessica terus memaki, kali ini sambil menangis, mereka seakan-akan menjadi artis yang sedang shooting film, sekelilingnya memperhatikan. 

Wilson hanya bisa terdiam, tanpa sepatah katapun.

Makian Jessica terhenti, tetapi tidak dengan tangisannya. Wilson yang sebenarnya sangat sayang dengan Jessica tidak tega melihat hal itu. Tanpa sadar Wilson memeluk Jessica lalu berkata, "maafkan aku Jes. Ini yang terbaik buat kita." kemudian ia beranjak pergi agar tidak memperpanjang tontonan orang-orang.

Malam itu, Jessica jatuh berlutut bersama dengan tangisan dan rintik hujan yang mulai turun. Kesedihan ini pertama kali ia rasakan, membuat Jessica menjadi orang yang kecewa dengan cinta.

Tiga bulan berlalu, malam-malam berat penuh rasa kecewa tak pernah menjadikan hidup Jessica sama lagi. Wilson seperti menghilang tanpa penjelasan, sama seperti keputusannya terhadap Jessica.

Sebentar lagi perkuliahan akan dimulai, Jessica sudah bersiap pindah ke Bali untuk sementara waktu. Dalam hatinya Jessica berharap dengan kepergiannya ke Bali untuk kuliah, hatinya perlahan dapat sembuh dan kembali lagi seperti semula.

Suatu malam menuju kepergiannya, handphone Jessica berdering, tertulis jelas nama Mama Wilson. Sontak jantungnya berdegup cepat, dan ragu mengangkat panggilan tersebut. Di satu sisi Jessica ingin tahu kabar Wilson, tapi di sisi lain hatinya sudah terlanjur sakit.

Akhirnya Jessica memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, benar ini Jessica?" suara Mama Wilson lirih.

"Iya, tante, ada apa ya?"

"Jes, Wilson udah nggak ada, mohon doanya ya. Tante minta maaf kalo Wilson ada salah sama kamu."

Hati Jessica kembali hancur, "ada apa ini? Semua terasa samar, semua terasa tiba-tiba," ucapnya di alam pikir.

Jessica kemudian langsung meminta alamat di mana Wilson tinggal sekarang, dan menyambangi serta melayat ke rumah itu. Dalam perjalanan, ia berharap semua hanya mimpi, soal hubungannya yang berakhir, dan Wilson yang katanya sudah tidak ada. Ia hanya berdoa semoga ini hanya 'prank'. 

Tetapi siapa sangka semua adalah kenyataan, ketika Jessica datang, Wilson memang sudah terbujur kaku dengan jas yang rapi di dalam peti. Seketika tangisan Jessica pecah, Mama Wilson yang menyadari kehadiran Jessica segera memeluknya.

"Ada apa tante? Kenapa semuanya jadi begini?"

"Sabar ya Jes, kamu harus tenang dulu. Sabar, Ini yang terbaik buat Wilson."

Jessica terus mengulang-ulang pertanyaannya, kenapa, kenapa, kenapa. Ia berada di depan peti seolah-olah Wilson masih hidup dan akan menjawab pertanyaannya. Tetapi Wilson hanya bisa diam, karena raganya saja yang ada di sana.

Ketika keadaan mulai tenang, Mama Wilson kembali mendekati Jessica, kali ini ia membawa sesuatu.

"Jes, sekali lagi tante minta maaf ya, kalo Wilson ada salah sama kamu. Tapi yang pasti Wilson udah tenang di sana, kamu harus relain."

"Iya tante." Jessica tidak dapat berkata banyak, karena hatinya hancur sampai tidak bisa pecah lagi.

"Jes, tante mungkin gak bisa jelasin semuanya, tetapi mungkin titipan surat dari Wilson ini akan membuat kamu lebih baik."

Mama Wilson memberikan surat terakhir yang dapat ditulis anaknya kepada kekasih yang sangat dicintainya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi, semua pelayat sudah pulang, tersisa Jessica dan keluarga Wilson. Dengan energi yang tersisa, Jessica membuka sepucuk surat dari Wilson, dan membacanya perlahan dalam hati.

Dear Jessica, 

wanita yang aku sayang, dan akan selalu begitu.

Jes, aku hanya bisa minta maaf. Maaf karena aku harus pergi lebih dulu, maaf karena meninggalkanmu tanpa penjelasan, maaf karena mungkin membuat hatimu teramat sakit, dan maaf karena aku tidak bisa menepati janji kita.

Semuanya berawal dari satu tahun yang lalu ketika kepalaku mulai sakit. Jika kamu sadar, aku pernah tidak masuk sekolah sekitar 2 minggu, waktu itu aku bilang kepadamu pergi liburan dengan keluarga. Sebenarnya aku sakit, dan pergi ke dokter. Dokter mendiagnosis aku menderita kanker otak stadium akhir. Paling-paling hanya bertahan beberapa bulan saja. Jujur waktu itu aku bingung, bukan soal hidupku yang akan segera berakhir, tetapi kamu Jes. Aku sebenarnya tidak rela kalau harus meninggalkan kamu secepat ini.

Aku tidak berdiam diri, segala metode pengobatan aku tempuh, mulai dari metode kedokteran sampai dengan tradisional. Sesekali aku merasakan sakit yang teramat karena obat-obatan itu, dan lagi-lagi kamu yang dapat membuat aku bertahan, bahkan sampai akhir.

Tiga bulan terakhir aku drop, sudah tidak ada harapan lagi, dokter hanya berkata 'bersiaplah'. Jujur aku takut, tetapi manusia pada akhirnya harus pulang juga kan Jes? Seperti yang aku bilang di Ranu Kumbolo, kadang memang lucu hidup itu, kita punya rencana, kita sudah berusaha sekeras mungkin tetapi takdir berkata lain. Takdir juga yang pada akhirnya memisahkan kita.

Waktu itu, aku memilih untuk mengakhiri hubungan kita. Aku tahu hatimu pasti sakit. Tapi aku berharap kamu tidak akan terlalu sedih ketika waktuku tiba. Mungkin itu jahat, tetapi itu jalan yang aku pilih.

Kalau waktunya tiba, ketika kamu membaca surat ini, kemungkinan besar, aku sudah pergi, atau mungkin kamu sedang menatap tubuhku yang sudah kaku.

Jangan menyalahkan dirimu Jes, ini sudah digariskan, yang ada di depan matamu adalah tubuhku, ragaku, bukan jiwaku. Seperti yang pernah aku bilang, sekalipun aku pergi, aku akan tetap mendoakanmu dan menyampaikan pada Tuhan agar memberikan kekasih cantikku ini kebahagiaan.

Jes, jangan larut dalam kesedihan ya, sedih boleh tetapi sebentar saja, jangan lama-lama. Hidupmu harus terus berlanjut, ingat kamu mau menjadi seniman terbaik di dunia. Belajarlah dengan giat, bertemanlah dengan baik, dan aku yakin Tuhan akan memberikan laki-laki yang lebih baik lagi.

Satu hal yang ingin aku sampaikan, bahwa aku sungguh amat mencintaimu, dan perasaanku tidak akan pernah berubah, sampai kapanpun.

Dengan cinta dan kasih sayang,

Wilson.

Tanpa sadar surat yang dipegang oleh Jessica basah ditetesi air matanya. Hati Jessica sakit, tetapi setidaknya ia tahu bahwa Wilson mencintainya, bahkan sampai saat ini. Memang lucu hidup ini, sepasang kekasih yang saling mencintai kadang tidak selalu bisa berakhir bahagia.

Jessica memejamkan matanya, berusaha merasakan kehadiran Wilson. Dalam hatinya ia berkata, "Wilson, maafkan aku sudah berpikir yang aneh-aneh. Maafkan aku juga tidak bisa memberikan kamu semangat di masa sakitmu. Pergilah Wilson, aku rela. Ingatlah juga, sampai kapanpun, kamu akan selalu memiliki tempat khusus dihatiku. Terima kasih Wilson."

Hanya doa yang dapat Jessica sampaikan. Ia membuktikan janjinya kepada Wilson untuk tetap menjalani hidup ini dengan penuh harapan. 

Lima tahun setelah Wilson pergi, Jessica menyelesaikan kuliah S1 dan S2-nya serta menjadi lulusan seni terbaik di kampusnya. Setelah lima tahun pergi meninggalkan Bogor, kota yang penuh kenangan, Jessica pulang untuk menata kembali hatinya, napak tilas perjalanan cintanya dengan Wilson.

Selepas hujan, waktu menunjukkan pukul 8 malam. Jessica tidak mengurungkan niatnya untuk berjalan keliling kota melewati Lapangan Sempur dan Jalan Otista.

Jalanan yang cukup ramai, orang-orang yang berlarian di trotoar super luas menjadi temannya malam itu. 

Setiap langkah yang Jessica tapaki membuka kembali kenangannya bersama Wilson, tanpa sadar ia merindukannya. Membayangkan tawanya yang lucu, sikapnya yang hangat, dan cara-cara unik yang selalu sukses membuat raut muka cemberut Jessica kembali tersenyum lepas.

   Malam itu, Bogor bukan lagi menjadi kota hujan, melainkan kota rindu. Jessica basah bukan karena hujan, tetapi karena rindu. Basahnya pun bukan di seluruh badan, hanya di pipinya saja, berupa tangis akibat rindu dengan Wilson.

"Hai Wilson, kamu apa kabar?"

Bogor, 19 Oktober 2019. Tamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun