***
Tomohon, 27 Oktober 2015
Langit pagi di Kota Bunga ini adalah tanda bahwa Tanah Minahasa dalam keadaan cerah. Suhu udara yang masih begitu dingin memaksa Maria menggunakan jaket tebal merah muda sambil menyeruput teh hangat di samping meja belajar. Uap yang meloncat keluar dari mulut manisnya menyembur ke atas melewati bingkai foto Yesus Kristus. Dia baru saja selesai keramas. Aura kewanitaannya menghiasi sudut-sudut kamar. Sambil menggosok-gosok kedua tangan, mata Maria terhenti pada satu benda yang berdampingan dengan Al-Kitab. Keningnya terangkat kemudian sedikit menurun. Tampaknya, ada sesuatu yang dia renungkan. Benda itu adalah Al-Qur’an. Sudah lama Kitab Suci umat muslim itu tergeletak begitu saja. Ingin sekali dia membaca. Namun apa daya, bahasa arab terasa begitu susah dikepala.
Di bagian atas Al-Qur’an, ada nama Abdullah tertera. Memang Abdullah lah yang memberikan kepada Maria disaat ulang tahunnya. Maria pun menerima dengan senang hati tanpa risih. Meski kini, putri pertama dari Pendeta Marten itu tidak percaya mengapa sang pemberi tidak mengamalkan isi kitab sucinya sendiri. Mungkinkah dia memang muslim turunan? Separuh waktu berbuat kebaikan dan separuh waktu lagi berbuat keburukan. Mungkinkah juga ketaatan hanyalah sebuah mitos orang beriman yang disetir oleh kepentingan modal? Maria tertunduk lemas turut menyesalkan. Sedangkan Al-Quran seolah ingin berbicara untuk menjelaskan semua, tapi sayang mulutnya tidak ada. Al-Qur’an terkadang suka jengkel juga pada manusia. Punya mulut malah sering berdusta. Jijik.
“Assalammualaikum para santri yang dirahmati Allah SWT. Apa kabar kalian semua?” Tanya Kyai Taufiq di depan halaman Masjid.
“Waalaikumsalam ya ustadz, alhamdulillah sehat wal afiyat”
“Sebagai orang Islam di Minahasa, kita harus tetap menjaga keharmonisan dengan masyarakat beda agama yang ada disekitar Pondok Pesantren Hidayatullah ini. Jangan ada kekerasan. Paham?
“Tapi saya tidak bisa terima dengan penyerangan Masjid di Tolikara sana ustadz. Kita harus balas dendam. Kita bakar Gereja mereka” Sahut santri dibarisan paling belakang dengan nada lantang tanpa berpikir panjang.
“Kamu santri baru di sini kan? Siapa nama kamu?”
“Iya. Dani ustadz”.
“Kalau misalkan rumahmu terbakar api, kamu mau padamkan pakai apa?”