“Maafkan aku. Aku stress waktu itu” Kepala Abdullah menunduk malu.
“Kamu dari Pesantren kan?”
“Iya, benar. Itu dulu.”
“Mengapa jadi seperti ini?” Maria membentak.
Abdullah terus mematung. Tak ada pembelaan apalagi pembenaran. Tapi hanya kalimat pesantren yang dia ucapkan berkali-kali dengan wajah geram. Sepertinya semasa di Pesantren dia mengalami penyeragaman pikiran bahkan dianjurkan untuk mendekati Tuhan lewat ketakutan. Surga-neraka.
Maria masih melanjutkan pembicaraan….
“Sedangkan aku, hampir setiap hari beribadah di Gereja meski sendirian. Aku khatamkan Al-Kitab ini pelan-pelan. Aku hayati kedalaman iman Kristiani. Lalu, aku amalkan dalam perbuatan untuk membuktikan bahwa Maria bukanlah sekedar Kristen turunan. Seandainya nanti akan menikah, kita mau ikut agama siapa?”
Denyut nadi Abdullah seakan terhenti. Langit-langit runtuh menimpa pikirannya. Ruang batinnya kosong, hampa, penuh debu, tak bertuan. Nasibnya hampir saja menyerupai nyawa siang yang menghembuskan nafas terakhir. Tapi, untung saja tangan halus Maria segera mengangkat wajah Abdullah yang tertunduk membisu. Kedua matanya merah, ada cairan bening mengalir disela-sela hidung. Seketika, Abdullah langsung berbalik badan. Cukup lama dia menatap patung Yesus di sebelah kursi yang mereka duduki. Maria juga mengikuti. Disaat bersamaan, segerombolan anjing dari arah Utara lewat begitu saja sambil menggoyang-goyangkan ekor dihadapan mereka berdua. Abdullah bersyukur, diantara anjing-anjing itu tidak ada yang menatap sinis lantas menggonggongginya. Itu berarti dia bukan pencuri. Tetapi, bagi Maria dia tetaplah seorang pencuri. Pencuri nama suci. Nama yang tidak diiringi kemuliaan hati.
“Kenapa menangis Abdullah? Jawablah. Pertanyaanku itu sederhana. Sesederhana cara kamu meneguk minuman keras dulu”
“Akhir-akhir ini aku trauma. Aku tidak mau lagi terlalu sering sholat di Masjid”.
“Mengapa? Bukankah sholat berjamaah itu jauh lebih baik?”